Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

"Deja Vu" di Kota Merah dan Uniknya Kota Biru Maroko

30 Mei 2018   09:27 Diperbarui: 30 Mei 2018   14:53 2666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keunikan kota biru Chefchaouen (dokumentasi pribadi)

Setiap tempat memiliki kelebihan dan kekurangannya. Catatan perjalanan akan menjadi lembaran kenangan. Di bawah ini catatan kesan dan perjalanan kami di dua kota Maroko.

Marrakech

Kota Merah adalah sebutan untuk kota Marrakech, di Barat Daya Maroko. Kota dengan penduduk hampir 1 juta jiwa ini, namanya berarti Tanah Tuhan". Dari nama kota ini pula, konon nama negara Maroko berasal. Marrakech adalah satu dari 4 Kota Raja Maroko (Fes, Meknes, Marrakech, Rabat), artinya kota-kota yang pernah jadi ibu kota dalam sejarah Maroko. Ibu kotanya sekarang Rabat.

Ikon kota Marrakech, Mesjid Koutoubia (dokumentasi pribadi)
Ikon kota Marrakech, Mesjid Koutoubia (dokumentasi pribadi)
Memasuki Marrakech dari Ait Ben Haddou dan Merzouga membuat terkejut. Kaget karena biasanya kota-kota yang dilewati cukup tenang dan tidak terlalu padat. Marrakech, sangat padat dan lalu lintasnya dipenuhi sliweran semua jenis kendaraan dan pasar, terutama jalan-jalan menuju ke Medina (kota tua) Marrakech. Pasar yang membludak sampai ke pinggir jalan besar, sehingga membuat macet jalan, seperti deja vu.

Kami memang sengaja mencari penginapan tradisional yang disebut Riad di dalam kota tua (Medina) Marrakech. Akibatnya, kami tidak bisa parkir di depan Riad, tapi untunglah kami bisa menemukan tempat parkir di depan gang menuju ke Riad. Setelah check in, kami pergi jalan kaki mencari makan siang di tengah Medina.

Rongrongan Tawaran di Marrakech

Alun-alun Marrakech Djemaa el Fna yang ramai oleh pengunjung (dokumentasi pribadi)
Alun-alun Marrakech Djemaa el Fna yang ramai oleh pengunjung (dokumentasi pribadi)
Di Marrakech, kita memang harus tegas mengatakan tidak karena akan banyak orang menyapa dan berusaha menawarkan jasa atau restoran. Kami pun termakan oleh tawaran untuk masuk ke warung kecil di perempatan jalan yang luarbiasa ramai. Untung makanannya lumayan enak, jadi tidak terlalu kecewa. Yang kami pesan adalah Tajin Kefta dan Tajin Daging sapi buah plum.

Setelah makan siang di warung kecil itu, kami akan istirahat dulu di Riad, tapi rongrongan untuk segera ke tengah kota tua karena ada pasar terakhir suku Berber sungguh gencar, dengan susah payah kami tidak lakukan. Ketika kami tanya ke pengurus Riad, yang juga orang Berber, tentang pasar terakhir itu ternyata berita itu tidak betul.

Tapi kami termakan juga ajakan orang lokal lain, yang kebetulan jalan kaki satu arah dengan kami menuju Riad. Katanya tidak jauh dari situ ada tempat penyamakan kulit. Sebetulnya, kami tidak berencana melihat tempat penyamakan kulit di Marrakech tapi akhirnya kami ke sana juga karena kami kira betul-betul dekat.

Memang harus hati-hati di Marrakech, dari seluruh perjalanan kami, Marrakech bagi kami paling tidak meninggalkan kesan positif. Bila belanja souvenir, carilah toko yang mencantumkan harga dengan jelas dan masuk akal. Urusan tawar-menawar bila tidak tahu harga wajarnya, bisa sial.

Demikian juga dengan urusan uang saat di alun-alun paling terkenal di Maroko, Djemaa el Fnaa. Di sini harus sangat hati-hati, karena tempat ini luar biasa penuh oleh manusia. Bila makan di salah satu tendanya, jangan pernah mau terima makanan yang tidak dipesan, karena di akhir nanti kita ditagih juga. Lalu setiap uang kembali dicek lagi. Orang-orang di alun-alun ini, luar biasa penetran dan licin.

Bila ingin shalat di Mesjid tertua Koutoubia di Marrakech, harus pas jam shalat, karena bila bukan jam shalat masjid dikunci. Mesjid yang dibangun tahun 1158 ini merupakan ikon kota Marrakech.

Chefchaouen

Mesjid terbesar di alun-alun kota tua Chefchaouen dengan minaret bersegi delapan (dokumentasi pribadi)
Mesjid terbesar di alun-alun kota tua Chefchaouen dengan minaret bersegi delapan (dokumentasi pribadi)
Bila sepanjang jalan ke selatan, kami disuguhi bangunan kotak-kotak berbahan lempung, di kaki pegunungan Rif Maroko Utara. Lempung ini dipoles warna putih dan biru muda terlihat kontras di tengah pegunungan yang hijau. Bila di Semarang ada Kampung Pelangi, di TangSel ada Kampung Bekelir, nah di Maroko kota Biru Chefchaouen. Kota tersebut tidak hanya enak dipandang tapi juga jadi penyedot turis mancanegara karena sangat instagrammable.

Kota biru berpenduduk kurang lebih 45 ribu jiwa ini, jadi terasa bersih dan cerah. Nama Chefchaouen, yang artinya dua ujung tanduk, mengekspresikan pemandangan dari kotanya ke dua puncak gunung dari pegunungan Rif.

Konon kenapa bangunannya dicat biru ini, ada beberapa versi. Versi satu karena biru menjauhkan nyamuk, versi ke dua versi religius supaya warnanya sama seperti langit untuk mendekatkan ke Maha Pencipta dan versi ketiga warna biru itu untuk menghindarkan pandangan tidak baik.

Betul sih, di Chefchaouen tidak ada nyamuk. Tapi saya lebih condong ke versi religius. Dari sejarahnya, Chefchaouen ini pernah tertutup untuk non muslim sampai tahun 1920. 

Tahun 1492 Chefchaouen banyak menampung pelarian Muslim dari Granada, Spanyol Selatan. Sangat berbeda dengan Marrakech yang hiruk pikuk, Chefchaouen tenang dan turis tidak direcoki oleh rongrongan beribu tawaran.

Sumber air minum banyak ditemui di Chefchaouen (dokumentasi pribadi)
Sumber air minum banyak ditemui di Chefchaouen (dokumentasi pribadi)
Medinanya yang bernafaskan Arab dan Andalusia ini, sangat tradisionil dan terawat rapi. Naik turun menyusuri gang-gang di Chefchaouen selalu menemukan sudut-sudut menarik. Anak-anak yang baru keluar dari sekolah Quran tampak ramai memenuhi jalan-jalan di pagi itu. 

Penduduk setempat tampaknya sudah biasa dengan sesi pemotretan para turis ke pintu atau rumah-rumah mereka. Bahkan satu rumah membuka halaman kecilnya untuk dipotret dengan membayar 10 Dirham.

Ramainya pasar di Chefchacouen (dokumentasi pribadi)
Ramainya pasar di Chefchacouen (dokumentasi pribadi)
Blusukan di gang-gang dalam Medina memang seperti blusukan dalam labirin. Masuk di A keluar bisa di B atau bahkan di K. Awalnya kami ingin kembali ke tempat kami datang tapi kami malah muncul di pasar. Ya kebetulan karena kami suka blusukan dalam pasar.

Satu hal menarik di Maroko, cafe-cafe tidak menjual makan siang. Dan yang duduk-duduk di sana kebanyakan bapak-bapak. Jadi bila mencari makan siang, di restoran bukan di Cafe. Silakan menikmati foto-fotonya, ya. Selamat berpuasa dan salam. (ACJP)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun