Melihat-lihat foto-foto lama, membuat saya kangen Wonosobo. Ih aneh ya … orang Sunda kangen Wonosobo. Tapi serius, perjalanan ke Wonosobo sangat berkesan bagi saya sampai sekarang. Kami berangkat dari Jakarta ke Jogja lalu kurang lebih selama 3 jam dengan mobil sewaan langsung menuju kota Wonosobo. Keluar dari Jakarta, sebagai satu-satunya kota Megapolitan di Indonesia, yang selalu padat penduduk, macet, panas menginjakkan kaki untuk pertama kali di kabupaten ini, saya langsung seperti disiram rasa adem ayem, tentram.
Hal ini mungkin bisa jadi karena cuacanya, dingiiiinnn mirip Puncak antara 10-15°C, kemudian lalu lintas lancar, tak ada kemacetan dan ditambah alun-alun yang terawat dan fungsional. Bengong menikmati alun-alun Wonosobo seperti de ja vu akan suasana tengah kota di kota-kota kecil Eropa. Di alun-alun, kehidupan terkesan berjalan tenang dan alami. Anak-anak sekolah terlihat sedang berolahraga dan beberapa penduduknya sedang membaca koran dinding dan berlalulalang. Penduduk yang membaca bagi saya menandakan penduduk yang melek dan mau maju.
[caption id="attachment_193058" align="aligncenter" width="557" caption="Alun-alun Wonosobo (dok pribadi)"][/caption] Beberapa orang penduduknya malah ada yang mengatakan : “Wonosobo itu kabupaten hijau, bu … bahkan kami pernah mendapat penghargaan Adipura dan Adipura Kencana”. Ternyata, Wonosobo sudah lima kali berturut-turut mendapatkan penghargaan Adipura. Bravo Wonosobo !! Adipura merupakan penghargaan tertinggi untuk kebersihan dan pelestarian lingkungan Kota. Sedangkan penghargaan Adipura Kencana diberikan setelah melalui beberapa tahapan dan tidak hanya terfokus pada masalah pengelolaan kebersihan dan penghijauan saja, tetapi termasuk pengelolaan lingkungan serta pengelolaan transportasinya. Kepada kota yang telah 4 kali berturut-turut mendapatkan Adipura atau tahun sebelumnya mendapatkan Adipura dan tahun berikutnya semakin bergiat, akan mendapatkan pula penghargaan ini. Penilaian Adipura terbaru didasarkan atas Peraturan Menteri LH no 7 tahun 2011, di mana bobot penilaian Adipura terletak pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan sampah (75 persen), air (15 persen), dan udara (10 persen). Untuk RTH dan sampah, penilaian fisik (75 persen) dan nonfisik (25 persen). Sedangkan, untuk fisik air dan udara (70 persen) dan nonfisik (30 persen). Selain itu, Wonosobo termasuk kota hemat energi. Keuntungan kota atau kabupaten dingin tentu saja secara umum lebih hemat energi, karena perumahan dan gedung kantor tidak membutuhkan alat pendingin ruangan. Pada dasarnya pemakan energi terbesar dalam satu rumah atau gedung pendingin ruangan. Ditambah tidak ada kemacetan maka konsumsi bbm kabupaten ini pun menjadi rendah, apalagi banyak ditemukan di sekitar Wonosobo ini pembangkit listrik tenaga air dan mikro hidro. Beberapa ruas jalan di kabupaten Wonosobo ini berjalan satu arah. Bila di Bandung jalan dibuat searah untuk mengatasi membludaknya kendaraan, di Wonosobo saya lihat untuk kenyamanan pengendara saja, terutama pengendara yang baru melewati alun-alun. Wonosobo dikelilingi beberapa gunung, yang paling menyolok bagi saya adalah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, karena kalau saya berdiri di alun-alun Wonosobo, kedua gunung inilah yang tampak kelihatan. [caption id="attachment_193061" align="aligncenter" width="559" caption="Pemandangan menuju Dieng (dok pribadi)"]
[/caption] Tujuan utama para turis yang datang ke Wonosobo biasanya adalah Dieng. Dieng ada di ketinggian kurang lebih 2000 m dpl (di atas permukaan laut). Dieng adalah pelat vulkanik yang masih aktif. Menuju Dieng, kita akan melewati pemandangan hijau dan sejuk. Jalan-jalannya juga relatif baik, yah walaupun saat itu ada satu jembatan yang sedang diperbaiki dan cukup ngeri juga saat melalui jembatan daruratnya.
Satu hal yang saya sayangkan selama perjalanan menuju pelat Dieng adalah pipa-pipa air yang melewati di pinggir dan di atas jalan cukup mengganggu dan merusak keindahan pemandangan hijau di Wonosobo. Beberapa desa yang kami lewati bertanam di lereng bukit, sehingga tampaknya memaksa penduduk sekitarnya untuk menyirami ala tarzan seperti ini. Mereka menyedot air dari sungai di kaki bukit dan memompanya ke atas, baik untuk menyiram tanaman mereka di tengah bukit atau untuk kebutuhan rumah-rumah mereka yang ada di pinggir jalan di atas. Sayang sekali penyelesaian secara kolektif menjadi njelimet, karena sebetulnya penanaman di bukit itu ilegal, bila diselesaikan pada tingkat pemda menjadi kontradiktif. Begitulah, masalah kecil tidak langsung diselesaikan dan akhirnya masalah menjadi terlalu besar untuk diselesaikan … Kami pun melalui beberapa pelataran candi-candi. Candi-candi pandawa lima ini terlihat sporadis tersebar dalam area yang cukup luas, harusnya masuk peninggalan budaya dunia UNESCO nih karena konon candi Dieng atau candi pandawa lima ini adalah candi Hindu paling tua di Jawa. Umurnya mungkin sudah lebih dari 1000 tahun dan konon katanya dibuat saat Dinasti Sanjaya antara abad ke-7 dan abad ke-9. Candi Dieng ditemukan pertama kali tahun 1800-an oleh tentara Inggris dalam keadaan tertutup air. Kemudian candi tersebut dikeringkan dari air dan didokumentasikan oleh seorang Belanda-Belgia Isidore Van Kinsbergen pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Isidore van Kinsbergen ini juga orang yang pertama memotret candi Borobudur sehingga kemudian candi Borobudur direstorasi. Mudah-mudahan peninggalan ini terus terjaga karena tiba-tiba saja saya ingat : “Wer aus der Geschichte nicht lernt, der ist dazu verdammt sie zu wiederholen” (”Siapa yang tidak belajar dari sejarah, maka ia dikutuk untuk mengulanginya”)
[caption id="attachment_193064" align="aligncenter" width="559" caption="Kawah Sikidang (dok pribadi)"]
[/caption] Sesampai di pelat Dieng, mungkin karena bukan hari libur, terasa sepi. Bau belerang cukup mendominasi. Para penjual yang tampak lesu tidak terlalu tertarik pula menjajakan dagangannya. Kebetulan bagi saya, karena saya sering merasa terganggu oleh paksaan membeli penjaja.
Kami susuri pelat Dieng sambil menikmati letupan-letupan panas kawah Sikadang yang keluar dari perut bumi. Kolam-kolam kecil vulkanik juga tersebar di beberapa tempat. Cerita-cerita mengerikan pun muncul. Bahkan ada orang yang menyebarkan foto mengerikan saat ada orang nyemplung ke kolam panas vulkanik ini. Ih … dengarnya saja ngeri, mana mau lihat fotonya segala. Dieng dengan Sunda sebetulnya tidak terlalu asing, konon kata Dieng berasal dari bahasa Sunda di Hyang, karena Dieng pernah dikuasai oleh kerajaan Galuh, yang ibukotanya di kota Kawali Ciamis. Sepulang dari Dieng, kami mampir ke Telaga Warna. Saat itu seperti di Dieng sedang sepi pengunjung. Baguslah, jadi kami bisa menikmati danau yang menampilkan variasi warna putih, biru, hijau dengan puas. Seorang pemandu yang sedang menemani turis dari Jepang cukup ingin tahu dari mana kami datang. Eh … ternyata dia dari Jawa Barat. Agak janggal juga ditegur dalam bahasa Sunda (ketika pemandu itu tahu kami dari Jawa bagian Barat) di tanah Jawa dan di tengah-tengah orang Jawa hehehe. Hari berikutnya kami mengunjungi Telaga Menjer. Telaga Menjer ini terletak di Utara Wonosobo. Sesampainya saya kehabisan kata-kata. Keindahan alam, udara bersih, kesenyapan dan hijau sejauh mata memandang membuat saya terkesima. Pemandangan alam Telaga Menjer ini tidak kalah cantik dari pegunungan Allgäu. Menurut sejarah, telaga ini terbentuk dari letusan vulkanik kaki gunung Pakuwaja. Di bawah telaga ini telah dibuat bendungan untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga air Garung. Lumayan juga listrik yang dibangkitkan sampai 2 x 13 MW dan telah beroperasi sejak tahun 1982. Tentu melebihi kebutuhan penduduk kabupaten Wonosobo ini yang hanya kurang lebih 100.000 orang [caption id="attachment_193068" align="aligncenter" width="561" caption="Telaga Warna dan Telaga Menjer (dok pribai)"]
[/caption] Berwisata kuliner tentu juga masuk dalam acara. Selain kripik jamur, makanan khas Wonosobo adalah buah carica, yang konon asalnya dari pegunungan tinggi Andes di Amerika Selatan. Sekilas pandang mirip pepaya, sepanjang dari Wonosobo ke Dieng banyak terlihat ditanam pohon Carica ini.
Manisan carica juga membuat ketagihan, rasanya manis dan lebih kenyal dari pepaya matang, membuat lahapan demi lahapan tidak terasa menenangkan lambung. Makanan khas Wonosobo lainnya adalah mie ongklok. Hm … perkawinan antara mie kental dan sate, ternyata tidak terlalu menendang saya. Penggabungan dua jenis makanan ini, terasa janggal, walaupun saya suka sate dan saya juga suka mie bakso, tapi menggabungnya membuat orientasi rasa jadi tidak jelas bagi saya. Apalagi ditambah tempe kemul, gorengan tempe dibalut gandum ini, satu lagi makanan khas Wonosobo, rasanya memberikan sensasi yang terlalu ramai. [caption id="attachment_193069" align="aligncenter" width="557" caption="Buah Carica dan Mie Ongklok (dok pribadi)"]
[/caption] Makanan atau minuman favorit saya selama di Wonosobo adalah ronde, hm saya suka sekali. Berbeda dengan yang sering saya beli di Bandung. Ronde dan kuahnya sangat pas, tidak terlalu berjahe dan tidak terlalu manis.
Slurpp nyam nyam … pokoknya. Hampir tiap malam kami selama di Wonosobo menikmati ronde di pinggir jalan, sambil membincangkan dunia dan permasalahannya (ih .... seperti suhu-suhu silat dari perguruan Antah Berantah yang baru turun gunung saja … huehehehhe). Selamat menikmati alam Indonensia !!!
(ACJP) Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Lihat Travel Story Selengkapnya