Akhir-akhir ini banyak diberitakan tentang siswa yang melakukan tindakan kekerasan, baik antarteman ataupun dengan guru. Tentu hal ini sangat miris, dunia pendidikan yang seharusnya sebagai tempat  di mana anak terdidik menjadi pribadi yang baik malah situasinya bertolak belakang. Siswa sepertinya mengalami hambatan emosional yang serius sehingga norma-norma dalam masyarakat dilanggar dan  seolah dunia pendidikan berada dalam kubangan munculnya berbagai tindakan anarkis kelak.Â
Tanggapan masyarakat pun beragam, ada yang mengatakan bahwa siswa yang melakukan tindakan tersebut dikembalikan kepada orangtua untuk dididik dan dibina di keluarga, dan mencetak rapor sendiri, ada juga yang mengharapkan pelajaran PMP kembali diajarkan di sekolah, dan yang tak kalah menariknya memasukkan anak ke barak TNI untuk dididik secara militer ala KDM (Kang Dedy Mulyadi), Gubernur Jawa Barat. Tentu semua ini adalah solusi terbaik sesuai konteksnya masing-masing, namun kiranya perlu dilihat lebih dalam substansi dari persoalan yang muncul atau berkembang saat ini.Â
Problem sekarang itu sangat kompleks, mulai dari pengaruh gadget yang tak terbendung, dimana siswa memiliki waktu yang cukup banyak bemain game, sosmed tanpa pengawasan yang ketat dari orangtua, sehingga perilaku anak terbentuk dengan sendirinya berdasarkan tontonan atau informasi yang tersedia secara luas tanpa filter. Kemudian lingkungan sosial baik secara langsung ataupun lewat media seperti  TV dan media mainstream lainnya yang menawarkan berbagai bentuk kekerasan. Pergaulan di tengah masyarakat termasuk keluarga membentuk pola pikir, pola rasa, dan  pola tindakan siswa yang jika kurangnya pendampingan maka mereka bertumbuh tanpa arah.Â
Lalu apa yang harus dilakukan oleh sekolah dalam menghadapi hal ini?  Yang paling utama adalah bagaimana menciptakan Ekosistem Sekolah yang Aman dan Nyaman bagi siswa dan segenap warga sekolah.  Mencipatakan situasi aman dan nyaman ini butuh perjuangan yang optimal karena terkait pola komunukasi sebagai dasar dalam Membangun Hidup Bersama. Pola Restitusi dalam memecahkan masalah sangat perlu dalam menghadapi berbagai tindakan kekerasan, sehingga siswa dilatih untuk menyampaikan alasannya dan bertanggung jawab terhadap setiap perilaku atau keputusan yang dibuat. Peran BK dalam konteks ini sangat penting dalam menganalisis perilaku siswa dan mengusulkan  pendekatan apa yang cocok dalam menghadapi siswa. Selain itu, komunikasi dalam proses belajar mengajar sangat butuh Komunikasi Dialogis, dimana siswa ditempatkan sebagai subyek pembelajaran, bukan obyek pembelajaran. Mereka diberi kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan gagasannya secara bebas namun tetapi menjunjung tingggi etika, sementara guru bertindak sebagai fasilitator, bukan penentu dalam pembelajaran (Top-Down).
Untuk menjalankan semua ini sangat tidak mudah karena butuh kerendahan hati untuk berefleksi diri terus menerus, karena sejatinya menjadi pendidik bukan lagi soal transfer ilmu tetapi sebagai "Teman" dalam belajar bersama siswa. Butuh skill komunikasi efektif dan pendekatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan siswa karena siswa datang dari berbagai macam latar belakang, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, maupun pendidikan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI