Mohon tunggu...
kristina gabrellapardede
kristina gabrellapardede Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Hobi saya menulis sedari kecil dan menyukai hal hal sosial

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Trend Childfree di Generasi Z Mematahkan Stigma Kaum Tua Zaman Dahulu

4 April 2024   14:28 Diperbarui: 4 April 2024   14:40 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Siapa yang tidak pernah mendengar stigma zaman dahulu "Banyak anak banyak rezeki"?. Kaum tua zaman dahulu menganggap anak adalah rezeki untuk mereka sehingga mereka ingin mempunyai banyak anak. Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kelahiran di Masyarakat karena hadirnya stigma tersebut. Berdasarkan data dari website resmi badan pusat statistik jumlah presentasi kelahiran tahun 1971 mencapai 5.61% dan menurun drastis di tahun 2020 yaitu hanya sebesar 2.18% saja (badan pusat statistik, 2023).  Pada tahun 1971 kira kira setiap keluarga akan melahirkan enam orang anak sedangkan di tahun 2020 menurun drastis kira kira setiap keluarga akan melahirkan anak hanya dua orang saja (Antara, 2023). Hal ini merupakan salah satu tanda keberhasilan dari adanya program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan Badan  Perencanaan  Pembangunan  Nasional (BAPPENAS),  Badan  Pusat  Statistik  (BPS) serta    United    Nations    Population Fund (UNFPA) melakukan  proyeksi bahwa jumlah laju  petumbuhan  penduduk  akan  cenderung menurun hingga    tahun 2035 apalagi melihat berkembangannya trend childfree di generasi Z.

Generasi z adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997-2012. Generasi ini mendapatkan stigma sebagai generasi internet atau igeneration. Generasi ini memiliki perbedaan karakteristik dibandingkan generasi-generasi  sebelumnya. Generasi Z berani mendobrak pola-pola  pikir tradisional yang  kemudian di interpretasikan kembali   menjadi   nilai   baru(Audinovic & Nugroho, 2023). Generasi ini dikenal mandiri dan berani  dalam mengambil Keputusan. Mereka berani mengambil Keputusan tanpa menunggu orang lain walaupun tidak diajarkan kepada mereka (Fitriyani, 2018). Karena karakteristik tersebut generasi z berani mengambil perubahan dari stigma yang tertanam bertahun tahun di Masyarakat. Generasi z memilih childfree mematahkan stigma zaman dahulu "Banyak anak banyak rezeki". Hal ini dikarenakan generasi z merupakan generasi yang melek terhadap akses internet sehingga literasi yang dimiliki lebih banyak dari zaman lalu. Pemikiran childfree di kalangan generasi z sangat mempengaruhi  komposisi  penduduk Indonesia mendatang karena mereka merupakan generasi penerus bangsa Indonesia.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi kenapa generasi z memutuskan untuk melakukan childfree diantaranya yaitu karena kekhawatiran tumbuh kembang anak, masalah personal, masalah finansial dan bahkan karena isu permasalahan lingkungan (Saragih & Lubis, 2023). Trend childfree hadir dikalangan Perempuan yang ingin menegakkan kesetaraan gender dan berpendidikan. Trend ini menghadirkan pendapat pro dan kontra di Masyarakat terutama dari kalangan agamawan. Karena menurut agama bahwa seharusnya keluarga itu memiliki anak karena anak dianggap sebagai tujuan dari suatu pernikahan selain mendapatkan kebahagiaan. Yahya Zainul Ma'arif atau akrab disapa Buya Yahya, seorang tokoh agama di komunitas muslim bernama al bahjah yang merupakan doctor lulusan American Universit for Human Sciences, California, Amerika Serikat, ini berpendapat bahwa dirinya menolak childfree karena menurutnya memiliki keturunan (prokreasi) merupakan fitrah manusia, bahkan apabila ada manusia yang memilih childfree perlu didoakan, dinasehati, dan dikasihani(Saragih & Lubis, 2023).

Hadirnya Keputusan childfree adalah hasil dari pengimplementasian hak kebebasan hidup. Berangkat dari paham liberalisme dan feminisme Barat yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat di mana setiap individu mempunyai kebebasan berpikir dan perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan mengenai tubuhnya sendiri, termasuk apakah akan menikah, hamil, dan melahirkan. Sedangkan Kelompok yang menentang fenomena childfree mengambil sudut pandang childfree yang menyimpang dari budaya Indonesia karena  perbedaan prinsip dan nilai yang dianutnya terutama dalam agama(Chandra Safitri et al., 2023).  Hadirnya trend childfree belum diterima dengan baik di lingkungan Masyarakat. Orang orang yang memilih untuk childfree masih membutuhkan dukungan sosial dari sekitarnya. Dukungan   sosial   merupakan   cara   untuk   menunjukkan   kasih   sayang,   kepedulian,   dan penghargaan  untuk  orang  lain(Fitri et al., 2023).

Keputusan childfree juga harus berdasarkan Keputusan Bersama antara suami dan istri.  Karena kedua belah pihak sama sama memiliki nilai kepetingan yang setara dalam Keputusan memiliki anak.  Ada dua kelompok masyarakat yang memilih childfree. Kelompok pertama yakni orang yang  tidak dapat memiliki anak karena keadaan yang tidak dapat dihindari, dan kelompok kedua karena memilih untuk tidak memiliki anak meskipun keadaan fisiknya menghalangi mereka untuk memiliki anak (Samudra & Ferdiansyah, 2024). Trend childfree cenderung lebih banyak terjadi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Masyarakat perkotaan cenderung berfokus pada aspek pekerjaan dan ekonomi, sedangkan di pedesaan keragaman kebutuhan hidup dan aktivitasnya kurang beragam.  Oleh karena itu, masyarakat di daerah pedesaan lebih cenderung meneruskan garis keturunannya dan berbagi warisan dengan orang lain. Namun sosial media yang mudah di akses dan berkembang dengan cepat membuat banyak generasi z yang semangkin takut untuk memiliki anak.

Trend childfree di generasi z berhubungan dengan sosial media yang semangkin mudah diakses. Mereka melihat langsung video tentang betapa sulitnya menjadi orang tua. Isu stunting dan parenting yang buruk membuat mereka takut untuk melangkah menjadi orang tua belum lagi biaya Pendidikan dan makanan bayi yang mahal. Mereka memiliki ketakutan karena banyaknya video yang terekspos di media sosial. Sebenarnya, persentasi angka kelahiran yang dimiliki Indonesia sudah cukup stabil namun akan terancam penurunan dratis sampai tahun 2035. Dalam sudut pandang hak asasi manusia hamil dan melahirkan adalah hak seorang Perempuan karena mereka yang memiliki tubuh. Tubuh mereka adalah hak mereka secara utuh sehingga ingin hamil atau tidak adalah hak sepenuhnya seorang Perempuan. Stigma yang beredar di Masyarakat menjadi tekanan besar pada Perempuan untuk hamil dan memiliki keturunan padahal sepenuhnya itu adalah hak Perempuan. Sayangnya pilihan ini masih menjadi pilihan minoritas di Masyarakat karena terjebak pada stigma yang tertanam selama bertahun tahun.

Trend childfree sebenarnya tidak selalu mengarah kearah yang buruk. Kesiapan yang matang dari pasangan suami dan istri adalah hal penting dalam menjadi orang tua. Kesiapan mental dan ekonomi harus benar benar diperhatikan sebelum memiliki keturunan sayangnya masih sedikit Masyarakat yang paham tentang hal ini. Setiap anak yang dilahirkan berhak mendapatkan kehidupan yang layak dari orang tuanya baik dari segi ekonomi maupun emosi yang stabil. Mereka yang memilih childfree rata rata mempunyai alasan yang sama karena tidak memiliki kesiapan yang matang sebagai orang tua. Baik suami ataupun istri harus sama sama memiliki kestabilan emosi dan ekonomi agar anaknya memiliki kehidupan yang layak. Karena sejatinya mengurus anak adalah tugas Bersama. Membentuk keluarga sempurna adalah tugas suami dan istri yang mampu berkomitmen dengan baik sampai akhir mereka menutup mata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun