Mohon tunggu...
Kristianus Ato
Kristianus Ato Mohon Tunggu... Administrasi - Pendiam

mencoba yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UPIPI - Persinggahan Sementara Menuju Keabadian Hidup

14 Januari 2018   14:35 Diperbarui: 14 Januari 2018   14:39 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu menjelang malam. Sekitar pukul 17. 48 aku berjalan seorang diri untuk menjenguk sekaligus menemani seorang teman yang lagi sakit. Informasi dari petugas yang saya dapat katanya lagi kritis anaknya. Nah berhubung keluarganya jauh di Purwodadi - Jawa Tengah, temanku itu memberi tahu nomorku kepada petugas untuk di hubungi sebagai keluarga terdekat sementara. Aku di suruh malam itu juga harus datang.

Perasaan beberapa bulan yang lalu temanku itu masih nampak sehat saja ketika kami berkaraoke ria, merayakan salah seorang teman yang lagi ulang tahun. Setelah itu kami tidak bertemu lagi karena kesibukan masing - masing. Namun sering bertegur sapa di grup WA atau chat pribadi. Ia tak pernah mengeluh kalau lagi sakit. Kenapa kok tiba - tiba informasi yang saya peroleh agak menakutkan begini ya!

"Ohh... ruang cendana di belakang mas. Poli UPIPI dekat kamar jenasah. Lurus saja mas lewat lorong ini, entar belok kanan ikuti lorong mentok belok kiri lalu belok kanan mas. Tapi biar ngk bingung entar tanya lagi di sana aja mas. Pasti ada petugas kok"

Penjelasan petugas ketika aku tanya ini cukup jelas. Cuma aku ketakutan sendiri ketika mendengar "kamar jenasah". Bulu kuduk merinding seketika. "Acchhh... kenapa juga si Dedy pilih kamarnya dekat kamar jenasah?" Batinku ketika mulai memasuki lorong panjang berpagar putih yang sunyi sepi.

Derap langkahku terasa berat ketika hendak berbelok kanan memasuki lorong panjang putih berikutnya. Dan masih belum berpapasan dengan siapapun. Hampir semua ruangan sudah berhenti beroperasi. Sehingga kesannya semakin horor karena sesekali terdengar bunyi tak jelas dari dalam ruangan. Ingin rasanya berbalik arah saja.

Di tengah kebimbangan tiba - tiba seorang wanita berkerudung coklat sudah berada di belakangku. Aku tak menyadari keberadaannya. "Lho bu... ibu!! Tunggu sebentar bu...!!" Teriakku setengah berlari kecil kearah seorang Ibu yang berumur sekitar 45 tahun ketika melewatiku begitu saja tanpa sepatah katapun. Padahal beliau tahu kalau saya tengah bingung dan takut. "Ikuti saja aku... aku juga mau ke ruang cendana!!" Katanya singkat tanpa memalingkan wajahnya. Kok seram gini ya? Batinku seraya mengikuti langkahnya.

****

Begitu tiba seseorang menghampirinya, memeluknya erat sambil meneteskan butiran kristal lalu berjalan masuk. Aku hanya membintuti dari belakang. Beberapa orang yang di duduk di lorong pemisah antara bilik laki - laki dan perempuan terlihat diam membisu tanpa ekspresi. Kalut dalam pemikirannya masing - masing.

Ibu berkerudung tadi berjalan menuju sebuah ranjang yang telah di kelilingi beberapa orang dan petugas. Mereka mengatupkan tangan seraya memohon ampunan disertai linangan kepada Yang Maha Kuasa. Ibu berkerudung mendekat ke telinga yang sedang di doakan dan membisikkan sesuatu. Beberapa menit kemudian terdengar teriakan histeris. Ranjang tersebut lalu di dorong ke kamar jenasah.

Temanku yang sedang berbaring lemah di ranjang kedua dari ujung sebelah kanan hanya pasrah menyaksikan pemandangan menakutkan itu. Kedua lubang hidungnya terpasang selang pembantu pernapasan. Pergelangan tangannya tertancap jarum infus. Serta kemauannya terpasang katteter. Pasien yang lain hampir mengalami hal serupa. Malah pasien di ranjang paling tengah deru napasnya terdengar satu - satu kayak napas kodok " hokk..hokk..hokk.." Aku berusaha menyemangati dan menyuapi makan malam kemudian di lanjut menelan beberapa butir obat. Tak seberapa lama kemudian seseorang bermasker ungu menghampiri ranjang Dedy, kemudian kami bersalaman dan Ia adalah Mbak Dwi (Supervisor di kantornya Dedy).

Dedy terlihat sangat kurus. Tubuhnya tinggal kulit pembungkus tulang. Sungguh mengagetkan sebab hanya dalam hitungan bulan semenjak pertemuan terakhir kami itu, tubuhnya mengalami penurunan drastis. Dari semula ukuran baju XXL kini mungkin memakai baju ukuran S saja masih kebesaran. Entahlah penyakit apa yang di deritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun