Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Reformasi Lutheran

5 Agustus 2021   22:15 Diperbarui: 5 Agustus 2021   22:41 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Martin Luther menunjukkan 95 dalih. Foto: kumparan.com.

Dalam sesi Seminar Bulanan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma-Yogyakarta, Selasa, (22/3), Rm. Eddy Kristiyanto, OFM mengatakan bahwa Reformasi Protestan bukanlah sebuah peristiwa kebetulan. Menurutnya, Reformasi Martin Luther atau Reformasi Protestan adalah peristiwa yang tidak pernah kontingen -- serba kebetulan atau tanpa ada faktor yang membantu persalinannya.

Konteks lahirnya gerakan reformasi selalu diapiti oleh unsur-unsur lain, seperti politik dan nasionalisme. Dalam tulisan-tulisan pamungkasnya, Luther banyak kali menyinggung orang Yahudi. Artinya, selain ingin menunggu sebuah pembaruan dalam tubuh Gereja -- yang nantinya berujung pada istilah Reformasi Protestan -- Luther juga berusaha untuk mengembalikan identitas nasionalismenya. Karekater anti-Semitis mewarnai tulisan-tulisan akhir Luther.

Maka, jelas bahwa reaksi atas Reformasi Martin Luther ini, bermuatan ganda, yakni disyukuri (sikap yang dinyatakan baik oleh orang perorangan maupun lembaga yang menanggung beban atas ajaran dan praksis para klerus dan para pejabat negara yang pro-Roma) dan mengutuki (sikap ini diperlihatkan oleh para pemegang otoritas yang dilawan oleh imam muda Agustinian itu dan para pendukungnya).

Gereja menyambut baik reaksi Luther  terutama untuk menciptakan pembaruan dalam Gereja dan di sisi lain seharusnya Luther tidak harus membelot dari Gereja Katolik, yakni dengan mendirikan Gereja lain. Dalam 95 dalil yang ditulis, ketidakkonsistenan posisi Luther bisa terlihat jelas, misalnya "Tidak masuk akal mengajarkan bahwa arwah yang berada dalam api penyucian dapat diselamatkan dengan uang" (Dalil 27) dan dalam dalil berikutnya ia menulis "Paus seharusnya membangun Gereja Santo Petrus dengan uangnya sendiri" (Dalil 86).

Akan tetapi, hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa faktor pemicu reformasi pertama-tama dan terutama bukanlah persoalan ortodoksi melainkan ortopraksis. Apa yang dipersoalkan Luther berkaitan erat dengan praktik harian ajaran Gereja pada masanya, misalkan praktik penjualan surat indulgensi yang akhirnya dikritik oleh Luther dengan dalilnya "Hanya Allah yang dapat memberikan keselamatan, bukan seorang imam" (Dalil 2).

Semua bentuk protes Luther mengarah pada satu pintu, yakni keterbukaan dan kejujuran otoritas Gereja. Dengan meminjam istilah Pilatus, Quod scripsi, scripsi! Luther menginginkan pihak Gereja menerapkan ajarannya (ortopraksis) sesuai dengan apa yang diajarkan (ortodoksi). Kritik Luther atas Gereja melahirkan tiga pendirian, yakni sola scriptura, sola fide dan sola gratia.

Menurut Luther, 1) Alkitab adalah ajaran satu-satunya yang diterima oleh Gereja. Maka konsili-konsili tidak bisa dijadikan doktrin Gereja. Selain Alkitab, 2) umat beriman hanya mendapat keselamatan berkat imannya, bukan karena kemampuannya melunasi prasyarat otoritas Gereja; dan 3) rahmatlah yang membantu orang untuk memahami wahyu Allah -- maka rahmat adalah harta Gereja (Dalil 68).

Harapannya melalui peristiwa historis ini, Gereja semakin terbuka dan membaraui diri, bukan sebaliknya semakin mencurigai dan mencela. Adanya perbedaan antara Katolik dan Protestan seyogianya menjadi jembatan untuk saling bekerja sama dalam menghadapi tantangan-tantangan masa kini. Jika, peristiwa 31 Oktober 1517 lalu selalu dilihat sebagai biang keterpecahan, baik Gereja Katolik maupun Protestan tidak akan melebar dan bertahan hingga sekarang.

Menurut, Rm. Eddy, OFM, obat dari luka masa lampau adalah menerima kenyataan (openness), mempelajari (learning) dan belajar untuk rendah hati (learn to be humble). Hal ini merupakan bentuk sikap toleran terhadap kemajemukan. Keterbukaan untuk menerima kenyataan pada akhirnya menelurkan banyak pengikut Kristus. Dalam tubuh Gereja Protestan sendiri banyak aliran menjamur dan siap melayani. Hal ini berarti kemajemukan mendorong anak-anak Allah untuk semakin bebas mengungkapkan imannya. Akan tetapi, semuanya harus dilakukan secara bertanggung jawab. Inilah gerakan futuris dari proyek pembaruan 500 tahun yang silam -- reformasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun