Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Kekuasaan Beroperasi Melalui Seksualitas

15 Februari 2021   07:02 Diperbarui: 15 Februari 2021   07:24 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi begaimana kekusaan beroperasi melalui seksualitas. Foto: lifestyle.okezone.com.

Bentuk kekuasaan seringkali diilustrasikan dengan piramida dimana raja pada bagian atas, pelayan raja di bagian tengah, dan rakyat paling bawah. Secara tradisional, kekuasaan dimengerti sebagai "being at the top of the pyramid." Di sini, jelas dipahami bahwa kekuasaan disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan, antara lain agama dan negara. Perihal ini, sejatinya mengindikasikan bahwa kekuasaan itu bisa dimiliki, atau dengan kata lain, ada kecenderungan akan klaim kepemilikan terhadap kekuasaan.

Adanya paham kekuasaan seperti ini, melegitimasi dan melegalkan fenomena maraknya korupsi di Indonesia. Daya hukum tidak dapat menangkal para koruptor karena di antara mereka ada tokoh penting yang "mempunyai" kekuasaan. Singkat kata, upaya hukum selalu mengalami jalan buntu akibat adanya konspirasi beberapa pihak yang mampu menyetir keputusan di pengadilan. Kondisi ini, jelas memperlambat penanganan kasus-kasus korupsi hingga tuntas.

Selain fenomena korupsi, juga ditemukan maraknya diskriminasi di Indonesia. Fenomena ini selalu muncul di media sosial, dengan korban utamanya adalah kaum perempuan. Sepanjang sejarah peradaban manusia, persoalan ketidakadilan sosial, umumnya menimpa kaum feminis. Mereka semata-mata diasosiasikan pada peran domestik dan reproduksi. Kultur dan tradisi dituduh sebagai biang keladi yang menciptakan pelabelan atau stereotipe tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat.

Gender dipandang sebagai konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Gender menjadi suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dengan mudah diklasifikasi.

Adanya instansi agama sering dituduh sebagai penyebab diskriminasi terhadap kaum feminis akibat dualisme cara berpikir yang diterapkan. Kaum feminis sering dilihat sebagai objek pelampiasan libido. Mereka hanyalah sarana pemuas kebutuhan kaum maskulin. Dengan kata lain, perempuan adalah korban pemerkosaan dan pengkhianatan. 

Hal ini nyata, ketika pada (11/1/2018) lalu, terjadi pelecehan seksual di Jalan Kuningan Datuk, Beji, Depok. Perbuatan tidak pantas ini terekam kamera CCTV dan videonya viral di media sosial. Dalam video itu, tampak seorang wanita berkerudung menjadi korbannya. Selain itu, kasus serupa juga terjadi di Jatinegara. Polisi berhasil menangkap pelaku kekerasan seksual yang terekam kamera CCTV di Jatinegara, Jakarta Timur. Tersangka, Rifki melakukan aksi ini pada Selasa, 6 Februari 2018.

Saat ini para perempuan dan anak marak menjadi target penculikan. Para pelaku kejahatan melakukan aksi ini dengan modus melucuti hartanya. Selain itu, perempuan juga menjadi korban kekerasan seks khususnya buruh migran. 

Data yang dimiliki Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, dari 274 kasus kekerasan yang dilaporkan tahun lalu (2017), 199 di antaranya merupakan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut 104 di antaranya merupakan kekerasan fisik dan 69 merupakan kekerasan psikis, 17 kasus pelecehan seksual, dan 9 kasus perkosaan (Radar Jogja, 5/2/2018).

Selain diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak, kasus diskriminasi juga marak dialami oleh kaum LGBT (lesbian, gay, biseks, dan transgender) di Indonesia. Hal ini dapat ditunjukkan dengan beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang tidak memihak kaum LGBT, misalnya pertama, Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat. 

Kedua, Perda Kota Palembang No. 2 tentang Pemberantasan Pelacuran. Kedua Perda ini mengkategorikan kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Ketiga, Perda Kota Batam No.6 Tahun 2002. Peraturan ini mendiskriminasi perkumpulan atau organisasi dengan orientasi seksual yang berbeda. 

Keempat, Perda DKI Jakarta No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Deny J. A, 2014). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan informal yang dilakukan oleh kaum miskin termasuk kelompok LGBT. Dengan demikian, perda-perda ini secara tegas meniadakan hak-hak kelompok preferensi seksual LGBT untuk menentukan pilihan sikap seksualitasnya.

Lebih lanjut, agama dituduh sebagai biang keladi diskriminasi terhadap kaum LGBT. Agama dinilai menghambat dan membatasi ruang gerak kaum LGBT. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapat pembenaran dari masyarakat.

Menguatnya fundamentalisme agama belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti undang-undang perkawinan yang tidak mengakui perkawinan sejenis.

Selain itu, Pandangan umum (ideologi) yang beredar dalam masyarakat umumnya menegaskan bahwa LGBT adalah soal gangguan kejiwaan. Hal demikian, tidak lepas dari peran ilmu-ilmu klinis: medis, psikiatri, psikologi, dan psikoseksual. Label gangguan kejiwaan pada LGBT ini memiliki dasar hukumnya, yakni Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dalam undang-undang tersebut, terdapat dua pengelompokan, yakni Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Perbedaannya, ODMK memiliki resiko mengalami gangguan jiwa, sedangkan ODGJ sedang mengalami gangguan jiwa. Kaum lesbian, gay, biseksual masuk dalam kelompok ODMK, kalau transgender masuk ODGJ yang perlu mendapat terapi. Masuknya kaum lesbian, gay, dan biseksual dalam kelompok ODMK bertujuan mengklasifikasi gangguan psikologis yang dialami.

Diskriminasi (eksploitasi) juga bisa terjadi dalam bentuk iklan. Dalam dunia advertisement, tubuh perempuan ditampilkan sebagai yang berkulit putih, langsing, anggun, seksi, buah dada montok, dan bokong besar. Urusan kecantikan dan pemeliharaan tubuh ini telah menjadi industri (kapitalisme). Stereotipe kecantikan adalah bagian dari konstruksi pasar, sehingga industri kecantikan dan perawatan tubuh dapat dilihat sebagai sebuah big business.

Untuk itu, tidak heran jika wacana kecantikan seperti inilah yang akan mewarnai era baru sehingga senam aerobik, yoga,  salon kecantikan, dan fitness-center (gym) sangat marak di Indonesia, juga industri-industri produk diet, kosmetik, dan pakaian semakin pesat. Selain itu, make up, hair show, workshop, hingga seminar kecantikan juga sangat laku di era sekarang.

Di Indonesia, maraknya iklan dengan menggunakan perempuan sebagai model merupakan hal yang lazim di era kemajuan teknologi sekarang. Tubuh perempuan sering tampil sebagai simbol kenikmatan minuman, keindahan produk furnitur, keanggunan dan kecantikan produk mobil, dan image pada iklan sabun cuci yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa yang bisa mencuci bersih adalah perempuan, dan serangkaian iklan yang menampilkan sosok perempuan untuk pekerjaan di dapur dan merawat anak-anak (Surajiyo, 2011).

Untuk sekarang, kita bisa dengan mudah menemukan iklan produk kecantikan dari sabun mandi, shampo, lotion, sampai pengharum ketiak perempuan (deodorant). Untuk itu, kita dengan mudah mendapatkan nama-nama selebriti yang sedang tenar di tanah air (stasiun televisi swasta) seperti Luna Maya, Dian Sastrowardoyo, Sandra Dewi, Carrisa Puteri, Bunga Citra Lestari, Rianti Carwright, bahkan Tamara Blezinky dan Alya Rohali, mantan Puteri Indonesia tahun 2002. Mereka adalah artis-artis yang sangat marak menjadi bintang iklan perawatan tubuh perempuan (Zuly Qodir, 2010). Hal demikian, merupakan tren budaya populer (populer culture).

Selain itu, fenomena menjamurnya Closed Circuit Television (CCTV) di berbagai instansi swasta maupun negeri, tentu sedang menyingkapkan sesuatu di baliknya. Hal ini tampak dalam pemasangan 3000 CCTV untuk memantau kegiatan warga Jakarta, terutama menyangkut pelayanan publik.

 Ahok menargetkan CCTV akan ada di seluruh sudut kota Jakarta, termasuk dipasang di seluruh taman di wilayah Jakarta agar bisa memantau PKL (Pedagang Kaki Lima) liar dan pelaku perusakan taman secara jelas. Kamera CCTV banyak dipasang di tempat-tempat publik, namun pengguna terbanyak adalah hotel, bank, dan mall. Pemantauan lewat kamera pengintai ini jelas menunjukkan upaya tertentu dalam kerangka strategi tertentu pula.

Fenomena di atas merupakan gambaran bagaimana kekuasaan beroperasi. Praktik kekuasaan, umumnya merangkak dari aspek seksualitas. Seksualitas menjadi peta pembagian kekuasaan dijalankan. Antara pria dan wanita, sejatinya ada rentang jeruji penjara yang memisahkan. Kadang yang satu mendominasi, dan yang lain didominasi. Korban lahir dari relasi kekuasaan demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun