Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memahami Panggilan Hidup dari Kisah Kitab Suci

17 Januari 2021   04:36 Diperbarui: 17 Januari 2021   05:48 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Katekese keluarga Katolik. Sumber: komkat-kwi.org.

Konteks lainnya, dalam hidup kaum religius, kisah panggilan juga lahir karena adanya kebutuhan melihat. Pertama-tama, mungkin saya ingin melihat seperti apa para biarawan-biarawati berdinamika dalam hidup bersama. Atau, saya pertama-tama masuk biara untuk melihat bagaimana Tuhan memanggil saya dengan cara hidup selibat.

Untuk itu, saya berusaha menemukan cara agar saya mampu memenuhi kebutuhan melihat. Caranya, saya memilih masuk dalam dinamika hidup para religius, dengan tinggal bersama, lalu memutuskan untuk bekerja sama dalam memenuhi target misi.

Lalu, pertanyaannya: "Apakah jenis panggilan lain tak punya rentetan proses demikian dalam hidup harian?" Saya pikir, hal yang sama juga jamak terjadi di lingkungan masyarakat sekarang. Kebutuhan untuk melihat -- apa saja sesuai keinginan dan rasa kepo masing-masing -- membuat seseorang menemukan cara-cara tertentu.

Misalnya, karena tingginya kebutuhan melihat, manusia bahkan kemudian berusaha menciptakan satu mesin pencari raksasa bernama Google. Mesin ini dipakai oleh setiap orang khusus untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal melihat. Dengan mesin pencari raksasa bernama Google, seseorang dapat mengetik apa saja dan dengan mudah mendapatkan apa saja yang ingin dilihat.

Ketiga, konsistensi peran. Dalam kisah panggilan Samuel, hadir sosok pendamping bernama Eli. Ketika Samuel mendengar panggilan Tuhan, Eli tak membiarkan Samuel berdinamika sendiri. Eli justru hadir menemani Samuel untuk memaknai dan mencermati kisah panggilan Samuel. 

Upaya pendampingan Eli tak berhenti pada kepuasan pribadi. Dalam hal ini, jika Eli merasa terganggu dengan kehadiran Samuel karena terus-terus datang memastikan sumber suara, bisa saja Eli akan menipu Samuel. Ia bisa saja menjawab: "Nak Samuel, iya betul, bapa yang memanggil kamu."

Jika hal itu terjadi - demi kenyamanan pribadi -- tugas Eli, dalam hal ini, tentunya tidak mencirikan konsistensi peran dalam proses pendampingan. Eli justru bertindak seolah-olah seperti Tuhan dan membuat Samuel kehilangan panggilan yang sesungguhnya.

Hal yang sama juga bisa direnungkan dari kisah Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis, jika dicermati dengan baik, sudah banyak memberikan kontribusi dalam alur kehadiran Yesus. Sebelum Yesus lahir, Yohanes Pembaptis sudah menunjukkan perannya yang konsisten sebagai pembuka jalan. Yohanes dalam hal ini, tahu peran dan konsisten dengan perannya.

Bahkan, ketika banyak orang menanyakan prihal perannya di hadapan publik, Yohanes dengan tegas menjawab: "Saya bukan Mesias yang kalian nanti-nantikan." Selain sebagai pembuka jalan, Yohanes Pembaptis membuktikan konsistensi perannya hingga Yesus dibaptis dan memulai karya-Nya di muka umum. Ia bahkan mengantar kedua murid terbaiknya kepada Yesus untuk berdinamika bersama. Inilah tuntutan konsistensi peran dalam menekuni sebuah panggilan.

Dalam hidup berkeluarga, konsistensi peran ini sangat penting untuk dihidupi. Sebagai contoh, peran kedua orangtua dalam pendampingan anak. Kehadiran orangtua, umumnya tak hanya berhenti pada tahap melahirkan lalu setelahnya membiarkan anak bertumbuh tanpa adanya pendampingan.

Seorang ayah atau ibu, meskipun anaknya berlaku buruk atau bertindak di luar batas-batas kewajarannya, akan tetap konsisten hadir untuk melakukan pendampingan. Orangtua, dengan kata lain, konsisten menghidupi peran sebagai pendidik kapanpun, di manapun, dan dalam situasi apapun. Aspek ini penting, agar dalam dinamika formasi, anak benar-benar tumbuh sebagai pribadi yang baik di kemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun