Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dilema Pasar Uang di Indonesia

17 November 2020   20:51 Diperbarui: 17 November 2020   21:10 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupiah memang kembali menguat. Di tengan terpaan badai Covid-19, perekonomian global, tak terkecuali Indonesia, mengalami pendarahan hebat. Untuk itu, pemerintah perlu siaga satu untuk mencover pergerakan ekonomi agar tidak jatuh terlalu jauh. Untuk segmen pasar uang, mekanisme kebijakan diupayakan antara lain dengan menjaga spirit ekspor dan daya beli masyarakat. Kehadiran Joe Biden juga diperhitungkan sebagai angin segar perubahan neraca perdagangan uang - rupiah atas dollar Amerika Serikat.

Di Indonesia, pasar uang mulai marak pada awal tahun 1990 seiring dengan iklim liberalisasi atau keterbukaan sektor finansial. Iklim liberalisasi ini sudah mulai berhembus ke Indonesia ditandai dengan peluncuran paket deregulasi perbankan yang paling dramatis dalam sejarah sektor keuangan di Indonesia. 

Mengalir masuknya dana asing ke Indonesia, baik melalui pintu investasi asing langsung (foreign direct investment), investasi portofolio di pasar uang dan pasar modal (portofolio investment), serta utang luar negeri swasta (private foreign debt) berbentuk commercial paper yang berjangka sangat pendek -- maksimal jatuh tempo dua tahun -- merupakan awal dari terbukanya kesempatan bagi para spekulan untuk "bermain" valuta asing di Indonesia.

Pihak yang memandang fenomena ini dengan sangat konservatif, pasti akan menyalahkan fenomena liberalisasi finansial ini sebagai penyebab terjadinya spekulasi atau perdagangan uang. Liberalisasi finansial dianggap sebagai biang keladi terjadinya malapetaka krisis ekonomi. Namun, di sisi lain, situasi perekonomian Indonesia waktu itu, memang tidak memungkinkan untuk menampung beban investasi asing di Indonesia. Indonesia mengalami yang nama fluktuasi beban penyerangan membabi-buta oleh gaya penanaman modal asing. 

Hal ini, jika dicermati secara mendala,  dipicu oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang terlalu fleksibel untuk menjemput bola. Zaman Suharto, segala kebijakan dalam negeri direpres oleh pemerintah. Oleh karena kebijakan tangan besi itu, perkembangan kamar dagang Indonesia bisa maksimal. 

Proses perputaran uang di Indonesia pada tahun 1999 hingga sekarang justru distir oleh kebebasan pers sebagai pilar ketiga demokrasi. Siaga pers yang gencar mengusung Indonesia di kancah global membuat Indonesia mampu bersaing. Tanpa perjuangan dan ambisi menembus selaput atmosfer kebijakan kaku, Indonesia akan terus berada di bawah tekanan otoriter pemerintahan dalam negeri. 

Pada dasarnya kebijakan ini, mengandung dua esensi dan urgensi. Pertama, memberi ruang gerak yang lebih besar kepada bank-bank,  sehingga lebih ekspansif. Di Indonesia, kemudahan ini juga diberikan pada pendirian bank-bank baru. Kedua, pemodal asing mulai diundang masuk untuk menambah gairah di pasar uang dan pasar modal. 

Selain tertarik membeli saham, para pemodal asing juga banyak menaruh minat menyimpan dananya ke dalam tabungan rupiah karena memberi return yang lebih besar -- bunganya lebih tinggi dibandingkan di luar negeri. Debat mengenai keberadaan "perdagangan" uang ini, kira-kira pararel dengan wacana yang sering berkembang mengenai kemungkinan diterapkannya rezim exchange control atau pengawasan devisa dan fixed exchange rate atau sistem kurs tetap di Indonesia. 

Ketika rupiah mulai bergejolak lagi sejak Mei 2000, orang pun mencari-cari upaya untuk meredamnya, melalui dua kebijakan tersebut. Namun, masalahnya, menerapkan rezim pengawasan devisa di saat kita masih sangat memerlukan investasi asing dan berupaya untuk mengembalikan capital flight periode krisis 1997 -- 1999 sebesar 75 miliar dollar AS, jelas sangat kontraproduktif. Pemberlakuan rezim pengawasan devisa hanya akan meningkatkan kekhawatiran investor, sehingga mereka enggan untuk datang ke Indonesia.

Inilah dilema pasar Indonesia. Di satu pihak kita memerlukan stabilitas rupiah dan di pihak lain, untuk menuju ke sana, ruang gerak spekulan harus diperkecil. Bagaimana caranya? Apakah perdagangan uang harus dilarang? Bagaimanapun sebagai "negara kecil" dalam konteks perekonomian dunia, Indonesia harus hati-hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun