Mohon tunggu...
Kris da Somerpes
Kris da Somerpes Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

pendiri dan pengampu media sastra online: www.floressastra.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

REVOLUSI KITA, Dari Flores NTT untuk Indonesia

11 Juli 2014   03:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:42 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14049975201113471595

Di antara hal-hal yang kontroversial, barangkali Revolusi-lah yang paling kontroversial. Dia dicintai oleh satu kelompok, ditakuti oleh kelompok lainnya. Dia diperjuangkan oleh sebagian, sekaligus ditindas dan diberantas oleh bagian lainnya. Bagi penguasa yang membangun kejayaannya di atas dominasi dan penindasan, revolusi itu paling menakutkan; dan karena itu ditindas bahkan ketika masih berada dalam pikiran. Sedangkan bagi yang tertindas, revolusi itu dirawat dan digelorakan, di dalam pikiran, di dalam kata-kata, dalam puisi dan nyanyian, dalam pamphlet dan buku, dan bahkan dalam tindakan nyata.

Dalam sejarah politik Indonesia, kata revolusi muncul di saat-saat genting. Setelah meraih kemerdekaan, para pendiri Bangsa menggelorakan semangat revolusi: revolusi belum selesai! Kemerdekaan hanyalah pintu gerbang, yang masih harus diperjuangkan adalah kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian budaya kita.

Tetapi revolusi itu pun redup. Datanglah pembangunanisme dan otoritarianisme orde baru. Kita memang tinggal landas, pertumbuhan ekonomi meningkat, dan kita dipuja-puji sebagai contoh keberhasilan proyek pembangunan. Tetapi di tengah semarak pembangunan itu, kita tidak memiliki kedaulatan politik, kemandirain ekonomi, dan kepribadian budaya. Aset-aset utama dan sumber daya alam kita dikuasai asing. Kapitalis lokal meraja-lela demi kepentingan mereka sendiri dan kepentingan tuan-tuan yang mereka jilat. Pencaplokan sumber daya. Rakyat kita terus menerus terperangkap dalam pemiskinan sistemik. Sistem demokrasi kita mengantar penguasa ke puncak kekuasaan untuk menguasai rakyat. Orang muda kita mengabdi tuan mereka, membela yang bayar, tidak bekerja untuk kedaulatan. Sekolah-sekolah kita menghasilkan pesuruh. Kesadaran kritis dibelenggu. Hanya segelintir yang tetap menggelorakan revolusi. Tetapi mereka pun dibunuh. Kita terkenang Munir, Baharudin Lopa, Udin, Theis dan masih banyak lagi.

Lalu datanglah masa revolusi. Teriakan revolusi bergema di jalan. Bukan dari kekuatan politik utama, tetapi dari orang muda, buruh dan rakyat biasa. Maka Soeharto pun hancur. Dan terbuka peluang bagi Indonesia baru yang berdaulat, adil, dan berkepribadian.

Tetapi 16 tahun sudah, tidak ada perubahan substansial. Reformasi hanya prosedural. Penegakan hak asasi manusia tidak terwujud. Pembangunan yang mencaplok diperluas dan dipercepat. Korprasi global dan lokal terus merangsek masuk di semua lini, tertutama di sektor paling menguntungkan seperti tambang, perkebunan, dan turisme. Elit kita trus terlilit korupsi. Parlemen dan biroraksi menjadi sarang penyamun. Pendidikan kita mengalami krisis multi dimesi. Agama-agama berselingkuh dengan Negara, dan gagal menjadi kekuatan moral. Adat tidak lagi menjadi sumber nilai, tetapi dipakai untuk meraih kuasa dan kekayaan.

Tetapi gelora revolusi itu tidak mati. Banyak di antara kita dengan berbagai cara dan bentuk menggelorakan semangat revolusi mental itu. Sampai sekonyong-konyong muncul dari antara kita seorang lelaki sederhana yang dalam kata dan perbuatannya berkomitment untuk revolusi mental itu. Mula-mula, kepadanya rakyat percayakan jabatan kecil sebagai walikota. Rakyat kemudian mempercayainya menjadi gubernur di ibukota negara. Revolusi digelorakannya dengan cara-cara sederhana. Dan pada saat kita hampir putus asa dengan kebangkrutan system politik kita, ketika pemilu dikuasai oleh politik uang, ketika partai-parati digerogoti oleh system dinasti, ketika korupsi merajalela di birokrasi dan parlemen, ketika rakyat begitu muda dibeli, dia menyampaikan pikirannya. Dia adalah Joko Widodo. Dia menggagas Revolusi Mental.

Dan laki-laki itu tidak sendiri. Bersamanya ada jutaan anak bangsa yang terus merawat api revolusiitu dalam sanubari dan pikiran mereka, dan mewujudkannya dalam kata dan tindakan.

Kami, para penulis buku ini, adalah bagian dari gerakan revolusinoer itu. Salam revolusi.

(Editor: Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somerpes)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun