"Satu klik bisa jadi jalan belajar, atau malah celaka. Maka rumah jadi pagar pertama."
Hari ini, anak-anak tumbuh di dunia yang serba digital. Gadget bukan lagi barang mewah, melainkan sudah jadi bagian sehari-hari-untuk belajar, bermain, hingga bersosialisasi. Tapi, di balik semua kemudahan, ada tantangan besar: bagaimana orang tua bisa memastikan anak-anak tidak tersesat di lautan informasi tanpa batas?
Mendidik anak di era digital bukan hanya soal membatasi layar. Lebih penting dari itu, orang tua perlu membimbing anak supaya bisa membedakan mana kebutuhan, mana sekadar keinginan. Rumah pun jadi "sekolah pertama" untuk melatih kebiasaan digital yang sehat dan bertanggung jawab.
Saat Anak Bertanya, "Boleh Pinjam HP, Ma?"
Di rumah kami, kalimat ini sudah seperti lagu sehari-hari: "Boleh pinjam HP, Ma?"
Anak saya memang tumbuh dengan gadget di sekelilingnya, tapi sampai usia 12 tahun, ia belum punya HP sendiri. Semua akses masih lewat perangkat saya, dan selalu dengan syarat: izin dan kejelasan.
Sebelum meminjam, ia harus menyebutkan tujuannya dan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Misalnya: "Ma, boleh pinjam laptop buat cari info sejarah kemerdekaan, 30 menit aja."
Awalnya sulit, apalagi saat teman-temannya sudah punya HP sendiri. Tapi kami sepakat: akses digital harus dikawal, bukan dilarang total. Dan tidak semua tren perlu diikuti. Perlahan, ia belajar bahwa izin bukan sekadar aturan, melainkan proses bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Membatasi Bukan Berarti Melarang
Banyak orang tua mengira membatasi gadget sama dengan melarang. Padahal di rumah, kami tidak melarang, hanya mengajarkan untuk memilah.
Kalau gadget dipakai untuk mencari bahan tugas, membaca artikel pengetahuan, atau menonton video sejarah, silakan. Tapi kalau tujuannya hanya scroll tanpa arah, kami kembali berdiskusi: "Ini kamu butuh, atau cuma ingin?"
Cara sederhana ini membuatnya terbiasa menimbang setiap keputusan. Tidak semua keinginan harus dituruti, dan tidak semua kebutuhan datang tanpa batas. Dari sini, ia belajar bahwa teknologi itu alat, bukan zona bebas tanpa kontrol.
Peran Ibu di Garda Depan
Di banyak rumah tangga, ibu biasanya yang paling dekat dengan anak, sehingga punya peran sentral dalam membentuk kebiasaan digital mereka.
Saya percaya, ibu bukan hanya penjaga gizi dan waktu tidur, tapi juga penjaga akses digital. Perannya mirip kurator: menyaring, mengarahkan, dan mendampingi anak menjelajahi dunia maya. Bukan dengan menakut-nakuti, tapi lewat kepercayaan dan komunikasi terbuka.
Kebiasaan anak saya yang selalu minta izin saat meminjam HP adalah hasil dari proses panjang-percakapan yang jujur, aturan yang konsisten, dan kesadaran bahwa tidak semua informasi di internet layak dikonsumsi.
Hasil yang Mulai Terlihat
Setelah bertahun-tahun, saya melihat buahnya. Anak saya tidak cemas meski tidak punya HP pribadi. Ia juga tidak mudah tergoda tren game atau media sosial. Justru ia lebih suka membuka kanal edukatif, membaca artikel sejarah, atau menonton dokumenter.
Pernah suatu kali, ia meminjam laptop hanya untuk menonton dokumenter tentang Hari Pahlawan. Setelahnya, ia bahkan membuat konten berjudul "Perang Surabaya: Kisah di Balik Hari Pahlawan" di kanal YouTube kami.Â
Yang membuat saya bahagia bukan sekadar kontennya, tapi sikap yang terbentuk: bertanggung jawab, bisa mengendalikan diri, dan menghargai aturan sebagai proses, bukan beban.
Orang Tua dan Sekolah: Berjalan Beriringan
Sekolah memang tempat utama anak belajar, tapi tanpa dukungan orang tua, pendidikan tidak akan utuh. Guru bisa menanamkan ilmu dan nilai di kelas, tapi orang tualah yang memastikan itu hidup di rumah.
Dalam literasi digital misalnya, sekolah berusaha mengenalkan teknologi secara bijak lewat platform belajar atau literasi media. Namun tanpa pendampingan orang tua, anak bisa menjadikan gadget hanya hiburan. Maka, orang tua perlu jadi mitra: meneruskan, memperkuat, dan menjaga konsistensi kebiasaan baik yang ditanamkan guru.
Kalau sekolah membentuk budaya literasi, maka rumah memastikan budaya itu tidak "bubar jalan." Anak pun tidak hidup di dua dunia yang bertolak belakang-satu tertib di sekolah, satu bebas di rumah-melainkan tumbuh dalam pola pendidikan yang selaras.
Bersama Dukung Anak Raih Pendidikan Berkualitas
Pendidikan berkualitas tidak lahir dari sekolah saja. Ia lahir dari kerja sama: guru yang membimbing di kelas, orang tua yang mendampingi di rumah, dan anak yang belajar mengambil tanggung jawab.
Maka, ketika anak saya bertanya "Boleh pinjam HP, Ma?" saya melihatnya bukan sekadar permintaan, tapi sebuah momen belajar. Di baliknya ada disiplin, tanggung jawab, dan literasi digital. Nilai-nilai inilah yang jadi fondasi pendidikan berkualitas-bukan hanya pintar akademis, tapi juga matang dalam karakter.
Sebagai orang tua, saya percaya: mendukung sekolah berarti ikut hadir dalam pendidikan anak-menjadi pagar, mitra, dan teladan. Karena pada akhirnya, pendidikan terbaik bukan hanya soal kurikulum di sekolah, tapi juga soal konsistensi pola asuh di rumah.
Dan di titik itulah kita bisa berkata: Bersama dukung anak, raih pendidikan berkualitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI