Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Learning facilitator

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Junior Berkarya, Senior Bertanya: 'Kenapa Bukan Saya?'

1 Agustus 2025   10:52 Diperbarui: 1 Agustus 2025   11:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah lomba lari, peluit sudah ditiup. Semua peserta berlari, tapi ada satu pelari yang terus menoleh ke belakang-bukan untuk melihat lawan, tapi untuk memastikan semua orang tahu bahwa dialah yang paling lama ikut lomba ini. Sayangnya, pelari muda yang fokus ke depan, latihan diam-diam, dan jarang berkomentar di grup, justru sampai garis finis lebih dulu. Dan ketika dia naik podium, pelari lama itu justru sibuk bertanya-tanya, "Kok bisa dia? Kenapa bukan saya?"

Fenomena ini bukan hanya terjadi di lintasan lari. Saya menyaksikannya sendiri di tempat kerja, ketika rotasi yayasan menempatkan seorang rekan junior sebagai pemimpin baru, menggantikan senior yang harus rela turun jabatan. Bukan karena tak kompeten, tapi karena sudah saatnya. "Semua orang ada masanya," kata ketua yayasan kami. Sebuah kalimat sederhana yang seharusnya membebaskan, tapi justru terasa menghujam bagi mereka yang belum siap menerima kenyataan.

Alih-alih mendukung, segelintir senior mulai mempertanyakan keputusan tersebut, menilai prestasi si junior, dan-dalam versi yang lebih halus-tidak hadir sepenuh hati dalam ruang kolaborasi. Bukan karena juniornya tak layak, tapi karena mereka belum berdamai dengan kemungkinan bahwa ada yang lebih muda, lebih siap, dan lebih layak dipercaya saat ini.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, terkadang ancaman terbesar bagi prestasi seseorang bukan datang dari luar, tapi dari sesama rekan sendiri-yang merasa kalah bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak siap disalip.

Realita yang Tak Bisa Ditolak: Yang Muda Makin Melaju

Dunia kerja saat ini tidak lagi hanya menilai siapa yang paling lama bertahan, tapi siapa yang paling adaptif dan memberi dampak nyata. Generasi muda datang dengan kecepatan belajar yang mencengangkan. Mereka tumbuh bersama teknologi, terbiasa berpikir lintas disiplin, dan tak segan menyuarakan ide-meskipun statusnya masih "anak bawang".

Tak sedikit dari mereka yang mampu membaca kebutuhan zaman lebih cepat, mengambil inisiatif, dan menciptakan solusi yang membuat perubahan nyata di lapangan. Bahkan, mereka yang belum genap lima tahun bekerja bisa saja dipercaya memimpin proyek strategis, hanya karena satu alasan sederhana: mereka menunjukkan bahwa mereka bisa.

Fenomena ini bukan berarti mengecilkan peran senior. Justru sebaliknya, ini menunjukkan bahwa sistem kerja ideal mestinya memberikan ruang bagi semua orang untuk bersinar, terlepas dari usia atau lama kerja. Namun dalam praktiknya, keberhasilan junior sering kali ditafsirkan sebagai pengambilalihan tahta, bukan sebagai regenerasi alami.

Sayangnya, alih-alih menjadi mentor yang membimbing, sebagian kecil dari para senior justru berubah menjadi komentator dari tribun-yang lebih sibuk mengkritik daripada memberi kontribusi. Mereka lupa, bahwa kecepatan zaman memangkas privilese "senioritas otomatis", dan memberi tempat bagi siapa pun yang benar-benar siap dan mau kerja keras.

Ego Senioritas: Ketika Lama Diterjemahkan sebagai Lebih Layak

Dalam banyak budaya kerja, masih ada keyakinan diam-diam bahwa semakin lama seseorang bekerja, semakin besar haknya atas posisi, penghargaan, atau pengaruh. Lama kelamaan, senioritas tak lagi sekadar pengakuan atas pengalaman, tapi berubah menjadi klaim tak tertulis: "Saya lebih dulu di sini, jadi saya lebih layak."

Inilah titik rawan munculnya ego. Saat seseorang merasa masa kerjanya adalah tiket menuju posisi tertentu, datangnya junior berprestasi bisa terasa seperti ancaman pribadi. Padahal, realitasnya tidak sesederhana itu. Organisasi menilai berdasarkan hasil, bukan sekadar jejak kehadiran.

Ironisnya, ego semacam ini jarang diakui secara terbuka. Ia muncul dalam bentuk-bentuk halus: ketidakhadiran dalam rapat penting, komentar sarkastik di balik layar, atau menolak inisiatif junior dengan dalih "sudah pernah dicoba dulu dan gagal." Padahal konteks sudah berubah, dan solusi lama mungkin memang tak lagi relevan.

Lebih dari itu, ego ini juga bisa menjelma jadi narasi tak adil: bahwa junior hanya "beruntung", punya "kedekatan dengan atasan", atau "pintar membangun citra." Semua ini lahir bukan dari observasi objektif, tapi dari ketidakmampuan menerima bahwa ada orang lain-yang lebih muda-yang memang sedang lebih unggul.

Lucunya, mereka yang paling vokal soal keadilan justru sering kesulitan menerima kenyataan bahwa keadilan juga berarti memberi ruang bagi yang kompeten, bukan hanya yang lebih dulu datang.

Saat Pengalaman Tidak Lagi Jadi Tameng

Pengalaman adalah aset, tapi bukan tameng untuk menolak perubahan. Di masa lalu, pengalaman kerja panjang sering dianggap jaminan mutlak atas kecakapan dan kepemimpinan. Tapi hari ini, pengalaman tanpa pembaruan kompetensi justru bisa menjadi beban-baik bagi pemiliknya maupun bagi tim yang harus terus menyesuaikan diri.

Dunia kerja berubah terlalu cepat untuk hanya mengandalkan "dulu saya begini". Tren pendidikan, teknologi, pola komunikasi, hingga manajemen tim berubah drastis. Maka, pengalaman yang tidak dibarengi dengan semangat belajar ulang (relearning) dan membuka diri terhadap pendekatan baru, bisa membuat seseorang justru tertinggal.

Yang ironis, ketika hasil kerja junior lebih berdampak atau cara kerjanya lebih efektif, sebagian senior justru memilih berlindung di balik label pengalaman. Padahal, bila ditilik lebih jujur, pengalaman seharusnya menjadi bahan bakar untuk membimbing, bukan alasan untuk menolak realita.

Senior yang matang secara emosional dan profesional biasanya justru merasa bangga ketika juniornya bersinar. Mereka melihat itu sebagai warisan kontribusi. Tapi senior yang menjadikan pengalaman sebagai klaim kekuasaan, akan sulit berdamai dengan kenyataan bahwa orang lain-yang lebih muda-bisa lebih cepat menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Toh, tidak ada yang meragukan pentingnya pengalaman. Tapi dunia tak lagi memberi tempat hanya karena "pernah", melainkan karena "masih relevan". Dan relevansi bukanlah soal usia, tapi soal kesiapan untuk terus belajar.

Menjadi Dewasa dalam Menyikapi Dinamika Generasi

Tidak semua orang siap melihat peran lamanya digantikan. Tapi menjadi dewasa bukan tentang terus memegang posisi tertinggi, melainkan tentang tahu kapan waktunya mundur satu langkah untuk memberi jalan-dan tetap memberi makna dari posisi baru.

Di sinilah letak kematangan sejati. Ketika seseorang bisa membedakan antara ambisi pribadi dan kebutuhan organisasi, antara luka ego dan fakta objektif, maka kolaborasi lintas generasi bisa benar-benar terwujud.

Penting untuk disadari bahwa regenerasi bukan pengkhianatan. Kepemimpinan yang berpindah tangan bukan bentuk penggusuran, melainkan proses alamiah dalam ekosistem sehat. Dan jika dilakukan dengan kepala dingin dan hati besar, momen ini justru menjadi ajang untuk berbagi pengalaman, mewariskan nilai, dan membentuk pemimpin yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

Untuk para senior, bertanyalah dengan jujur:

"Apakah saya kecewa karena junior lebih berprestasi, atau karena saya belum selesai berdamai dengan keinginan untuk tetap di atas?"

Dan untuk para junior, jangan cepat besar kepala. Hormatilah jalan panjang yang sudah dilalui senior. Karena tanpa jejak mereka, kita tak punya pijakan. Tapi tetaplah melangkah, karena masa depan bukan tempat untuk diam demi menjaga perasaan orang lain.

Kolaborasi hanya bisa terbangun jika semua pihak belajar melepaskan ego-baik yang lama maupun yang baru.

***

"Kenapa bukan saya?"-sebuah pertanyaan yang bisa melahirkan dua jalan: menyalahkan, atau memperbaiki diri.

Jika pertanyaan itu muncul dari rasa ingin berkembang, maka ia akan menjadi bahan bakar untuk belajar kembali, berbenah, dan tetap relevan. Tapi jika ia lahir dari luka ego yang tak mau menerima kenyataan, maka ia akan tumbuh menjadi bisikan sinis yang merusak kerja sama dan menghambat kemajuan bersama.

Setiap orang punya masanya. Dan masa itu bukan hukuman atau hadiah, melainkan bagian dari alur kehidupan yang terus bergerak. Di titik tertentu, kita bukan lagi pemeran utama, tapi justru menjadi penulis naskah di balik layar-yang tetap punya peran penting bagi keberlangsungan cerita.

Maka, saat melihat yang muda mulai bersinar, berhentilah bertanya "Kenapa bukan saya?" dengan nada getir. Mulailah bertanya, "Bagaimana saya bisa tetap berarti meski bukan lagi di depan panggung?"

Karena pada akhirnya, di dunia kerja yang sehat, tidak ada yang benar-benar tersisih-selama kita memilih untuk tetap tumbuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun