Mohon tunggu...
Krisanti_Kazan
Krisanti_Kazan Mohon Tunggu... Teman belajar

Mencoba membuat jejak digital yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saat Sekolah Tak Lagi Cukup: Barak Militer Jadi Solusi?

6 Mei 2025   14:09 Diperbarui: 8 Mei 2025   16:40 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat mengunjungi tempat pembinaan siswa bermasalah di barak militer. (Dok Dedi Mulyadi via Kompas.com)

 

"Barak militer untuk siswa bermasalah." 

Kalimat ini mungkin terdengar keras di telinga sebagian orang, namun justru menjadi harapan bagi sebagian lainnya. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menggagas kebijakan yang memungkinkan siswa dengan masalah perilaku dikirim ke barak militer sebagai bentuk pembinaan, bukan hukuman. Kebijakan ini hanya berlaku jika ada persetujuan dari pihak sekolah dan orang tua, namun tetap menimbulkan pro-kontra yang hangat. Di satu sisi, banyak orang tua merasa terbantu karena kelelahan menghadapi anak-anak yang makin sulit diatur. Di sisi lain, sejumlah pengamat menyuarakan kekhawatiran soal pendekatan militeristik yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip pendidikan yang humanis. Ada yang berpendapat bahwa kebijakan ini mencerminkan keputusasaan sistem pendidikan yang gagal mengatasi masalah perilaku siswa, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah berani yang layak diuji, guna mengembalikan disiplin dan rasa tanggung jawab di kalangan remaja. Namun, di balik kontroversi ini, ada pertanyaan penting yang perlu kita renungkan bersama: apakah ruang kelas dan metode konvensional sudah cukup untuk menjawab tantangan perilaku siswa masa kini?

Latar Belakang Kebijakan

Kebijakan yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan bahwa siswa yang bermasalah secara perilaku dapat dikirim ke barak militer sebagai bagian dari proses pembinaan. Kebijakan ini hanya akan diterapkan dengan persetujuan kedua belah pihak, yaitu pihak sekolah dan orang tua siswa. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kedisiplinan, karakter yang lebih kuat, serta rasa tanggung jawab pada siswa yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan aturan sekolah. Dengan adanya pembinaan di barak militer, diharapkan para siswa ini dapat mengubah sikap mereka menjadi lebih positif dan terstruktur.

Kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap semakin meningkatnya kasus-kasus perilaku menyimpang di sekolah, yang sulit ditangani dengan pendekatan konvensional. Kasus siswa yang melawan guru, seperti yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Barat, menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi kebijakan ini. Selain itu, tingginya angka siswa yang bolos atau terlibat dalam kekerasan baik fisik maupun verbal juga turut menjadi alasan mengapa sistem pendidikan harus memikirkan alternatif solusi yang lebih tegas dan efektif dalam mendidik anak-anak bermasalah ini. Dengan begitu, barak militer menjadi salah satu opsi yang dianggap bisa mengatasi masalah-masalah perilaku siswa di sekolah.

Suara dari Lapangan

Kebijakan ini tentunya tidak lepas dari berbagai pendapat dari berbagai pihak. Di kalangan orang tua, banyak yang setuju dengan kebijakan ini karena merasa kewalahan menghadapi anak-anak yang semakin sulit diatur. Mereka melihat barak militer sebagai pilihan yang bisa memberikan kontrol lebih besar terhadap perilaku anak, yang terkadang sulit diawasi dalam lingkungan sekolah maupun rumah. Beberapa orang tua juga berharap bahwa pengalaman di barak militer dapat memberikan kedisiplinan yang kurang mereka dapatkan di rumah, sekaligus membentuk karakter anak yang lebih baik. Menurut mereka, ini adalah langkah yang patut dicoba, mengingat bahwa mereka seringkali merasa terjebak antara mencintai anak dan tetap berusaha mendidik dengan tegas.

Di pihak sekolah, kebijakan ini sering kali dipandang sebagai opsi terakhir yang bisa diambil ketika berbagai pendekatan biasa tidak membuahkan hasil. Banyak guru yang merasa kesulitan dalam mendisiplinkan siswa yang semakin menantang otoritas mereka, terutama dengan meningkatnya perlawanan terhadap aturan sekolah. Dengan kebijakan ini, mereka merasa ada jalan keluar untuk menangani siswa yang sulit diatur tanpa harus melalui proses yang panjang dan melelahkan di dalam ruang kelas. Namun, tidak sedikit pula yang meragukan efektivitasnya jika tidak ada dukungan pendampingan yang memadai.

Namun, kebijakan ini juga mendapat kritik keras dari berbagai pengamat pendidikan. Banyak yang menganggap pendekatan ini terlalu militeristik dan tidak manusiawi. Mereka berpendapat bahwa mendisiplinkan siswa dengan cara yang terlalu keras bisa melanggar hak anak dan mengabaikan prinsip dasar pendidikan yang seharusnya mengedepankan pendekatan yang berbasis pada kasih sayang, pemahaman, dan pembinaan. Menurut mereka, kebijakan semacam ini justru dapat menimbulkan trauma pada anak, yang pada akhirnya malah merusak proses pendidikan itu sendiri. Kritik lainnya mencuat terkait kurangnya transparansi mengenai bagaimana barak militer ini akan dikelola, serta siapa yang akan bertanggung jawab atas kesejahteraan siswa selama berada di sana.

Refleksi: Saat Ruang Kelas Tak Lagi Cukup

Tidak semua anak dapat berkembang dengan metode pendidikan konvensional yang lebih menekankan pada pembelajaran teori di dalam kelas. Setiap individu memiliki cara belajar dan beradaptasi yang berbeda, dan inilah yang menjadi tantangan utama dalam sistem pendidikan kita saat ini. Sebagian anak mungkin merasa terasingkan dalam sistem yang tidak mampu mengakomodasi kebutuhan mereka secara spesifik. Ketika ruang kelas dan pendekatan yang sudah ada tidak lagi efektif untuk mendidik anak-anak dengan masalah perilaku, maka penting untuk berpikir lebih jauh tentang opsi-opsi alternatif yang lebih terstruktur dan menantang.

Salah satu realita yang perlu dihadapi adalah kenyataan bahwa beberapa anak memerlukan pendekatan yang lebih tegas dan terarah. Pendekatan konvensional yang mengandalkan komunikasi atau metode yang lebih lembut kadang tidak cukup untuk membentuk kedisiplinan dan karakter yang kuat. Dalam hal ini, program pembinaan di sekolah kedinasan, seperti di TNI, Polri, atau akademi pemerintahan lainnya, bisa dijadikan analogi. Sekolah-sekolah kedinasan ini dikenal dengan pendekatan yang lebih keras namun terstruktur, mengutamakan disiplin, rasa tanggung jawab, serta pembentukan karakter. Meskipun metode ini keras, banyak orang yang berpendapat bahwa inilah yang membentuk generasi dengan karakter yang kokoh, siap menghadapi tantangan kehidupan, dan memiliki kedisiplinan tinggi.

Dengan demikian, kebijakan untuk mengirim siswa ke barak militer bisa dilihat sebagai langkah yang mencoba untuk meniru model pembinaan yang terbukti efektif di berbagai sekolah kedinasan. Namun, tentu saja, hal ini harus disertai dengan pengawasan yang ketat dan pendampingan psikologis untuk memastikan bahwa tujuan pembinaan tercapai tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.

Belajar dari Model Semi Militer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun