Setiap Ramadan, momen berbuka puasa selalu menjadi yang paling ditunggu. Setelah seharian menahan lapar dan haus, rasanya tidak lengkap kalau tidak diawali dengan segelas es teh manis yang menyegarkan dan gorengan yang renyah. Ditambah makanan manis seperti kolak atau kue-kue takjil, berbuka jadi semakin nikmat. Pola ini sudah bertahun-tahun saya jalani, tanpa berpikir panjang soal dampaknya pada kesehatan.
Namun, semuanya berubah setelah sore tadi saya iseng melakukan cek kolesterol. Hasilnya? 232! Angka yang cukup bikin saya tercengang dan akhirnya berpikir ulang tentang kebiasaan makan saya. Ternyata, tubuh saya sudah memberi sinyal bahaya, dan Ramadan kali ini harus jadi momen perubahan. Saya pun memutuskan untuk berbuka dengan lebih bijak---tanpa gorengan, tanpa es teh manis, dan lebih fokus pada makanan yang benar-benar bermanfaat bagi tubuh.
Angka 232 pada hasil cek kolesterol mungkin sekilas hanya terlihat sebagai deretan angka, tetapi bagi perempuan, ini bisa menjadi alarm penting untuk lebih memperhatikan kesehatan. Kolesterol tinggi bukan hanya soal makanan berlemak atau kurang olahraga, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh hormon, metabolisme, dan gaya hidup sehari-hari. Perempuan, terutama yang mendekati usia paruh baya, lebih rentan mengalami perubahan kadar kolesterol akibat faktor seperti menopause, stres, dan pola makan yang tidak seimbang. Jika dibiarkan, kadar kolesterol yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke---dua hal yang sering kali dianggap jauh, padahal bisa dicegah sejak dini.
Lebih dari sekadar angka di kertas lab, kolesterol 232 adalah pengingat bahwa tubuh butuh perhatian lebih. Ini bukan sekadar larangan makan gorengan atau menghindari makanan enak, tetapi tentang bagaimana kita bisa lebih bijak dalam merawat diri sendiri. Menjaga kesehatan bukan hanya untuk sekarang, tetapi juga untuk memastikan kita bisa tetap aktif, kuat, dan menikmati hidup lebih lama bersama orang-orang tercinta.
Perjalanan ini tentu tidak mudah, mengingat godaan makanan lezat selalu ada di sekitar. Tapi, demi kesehatan yang lebih baik, saya siap menghadapi tantangannya!
Kebiasaan Lama yang Harus Ditinggalkan
Sejak dulu, gorengan dan es teh manis selalu jadi "ritual wajib" saat berbuka. Entah kenapa, rasanya baru sah berbuka kalau sudah menikmati tahu isi yang masih hangat atau pisang goreng yang renyah. Apalagi dipadukan dengan es teh manis yang segarnya seperti oase di tengah padang pasir. Kebiasaan ini begitu mengakar, mungkin karena sejak kecil, berbuka dengan makanan seperti ini sudah jadi tradisi di keluarga. Ditambah lagi, makanan ini mudah ditemukan dan murah meriah, jadi semakin sulit untuk menolaknya.
Tapi di usia 45+, tubuh ternyata punya cara sendiri untuk "protes" kalau diperlakukan sembarangan. Selama ini, kurangnya olahraga dan pola makan yang kurang seimbang mulai terasa dampaknya. Berat badan bertambah pelan-pelan, stamina tidak seprima dulu, dan setelah makan gorengan berlebihan, perut sering terasa begah. Yang paling terasa, setiap bangun tidur badan rasanya kurang fit---kadang pegal-pegal, kadang terasa lebih lelah dari sebelum tidur.
Hasil cek kolesterol yang mencapai 232 akhirnya jadi wake-up call. Jelas sudah, kalau saya tidak segera mengubah kebiasaan ini, dampaknya bisa lebih serius. Ramadan kali ini harus jadi titik balik. Saya tidak mau lagi berbuka dengan sesuatu yang justru merugikan kesehatan sendiri.
Strategi Berbuka Lebih Waras dan Sehat
Setelah menyadari betapa pentingnya menjaga pola makan, saya mulai menerapkan strategi berbuka yang lebih sehat dan masuk akal. Ramadan kali ini, saya benar-benar ingin memanfaatkan momen puasa untuk membangun kebiasaan makan yang lebih baik. Berikut beberapa perubahan yang saya lakukan:
1. Memilih Kurma dan Air Putih Hangat sebagai Pembuka
Dulu, berbuka tanpa es teh manis rasanya hambar. Tapi kali ini, saya menggantinya dengan kurma dan air putih hangat. Kurma tetap memberikan rasa manis alami, kaya serat, dan cukup untuk mengembalikan energi setelah seharian berpuasa. Air putih hangat juga membantu pencernaan agar tidak "kaget" setelah kosong seharian.
2. Beralih ke Makanan yang Lebih Sehat
Setelah berbuka dengan kurma dan air putih, saya mulai memperhatikan makanan utama. Saya mencoba memperbanyak buah, protein, dan sayur. Karbohidrat tetap ada, tapi dengan porsi sepertiga dari lauk dan sayur.
3. Mengontrol Porsi dan Tidak Makan Berlebihan
Biasanya, rasa lapar saat berbuka membuat saya kalap. Semua makanan ingin segera disantap dalam satu waktu, tanpa berpikir panjang. Kali ini, saya mencoba makan bertahap dan lebih mindful. Saya berusaha mendengarkan tubuh dan berhenti makan sebelum benar-benar kenyang. Ternyata, makan dengan porsi lebih kecil tapi bernutrisi justru membuat tubuh terasa lebih nyaman.
Memang tidak mudah, tapi setelah beberapa hari menjalani pola ini, tubuh mulai terasa lebih ringan dan energi lebih stabil. Ramadan ini bukan hanya tentang menahan lapar, tapi juga belajar mengendalikan diri dan membuat pilihan yang lebih baik untuk kesehatan.
Harapan Setelah Ramadan
Saya sadar, tantangan sebenarnya bukan hanya menjaga pola makan selama Ramadan, tetapi juga konsisten setelahnya. Godaan untuk kembali ke kebiasaan lama pasti ada, apalagi setelah Lebaran dengan berbagai hidangan khasnya. Tapi saya berharap bisa mempertahankan pola makan sehat ini, minimal dengan tetap menghindari gorengan berlebihan dan mengurangi konsumsi gula.
Saya juga ingin mulai lebih aktif bergerak dan berolahraga secara rutin, karena menjaga kesehatan bukan cuma soal makanan, tapi juga pola hidup secara keseluruhan. Jika Ramadan kali ini bisa menjadi titik balik, kenapa tidak diteruskan untuk seterusnya?
***
Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga kesempatan untuk membangun kebiasaan yang lebih baik---termasuk dalam pola makan. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa berbuka dengan cara yang lebih sehat tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tapi juga membantu tubuh lebih kuat dan bugar dalam jangka panjang.
Angka kolesterol 232 mungkin adalah alarm kesehatan yang saya butuhkan. Tapi perubahan ini bukan hanya tentang angka, melainkan tentang menghargai tubuh dan memberi yang terbaik untuk kesehatan saya sendiri. Ramadan kali ini, saya berbuka dengan lebih waras---dan saya berharap bisa terus melanjutkannya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI