Mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung, sehingga siswa merasa aman untuk berbicara dan meminta bimbingan.
Namun, pendekatan ini juga memiliki risiko: jika terlalu longgar, siswa bisa merasa bahwa aturan tidak benar-benar harus dipatuhi, yang pada akhirnya dapat mengurangi efektivitas kedisiplinan di sekolah.
Sebaliknya, peran "Bad Cop" diisi oleh guru yang dikenal tegas, disiplin, dan tidak ragu memberikan hukuman bagi siswa yang melanggar aturan.
Guru dengan pendekatan ini biasanya berpegang teguh pada aturan sekolah, memastikan ketertiban, dan menegakkan konsekuensi atas setiap pelanggaran.Â
Mereka sering kali kurang fleksibel dalam memahami konteks di balik perilaku siswa, karena fokus utama mereka adalah menanamkan kedisiplinan yang ketat.
Meskipun strategi ini dapat menciptakan keteraturan dalam jangka pendek, dampaknya bisa membuat siswa merasa takut, enggan berkomunikasi, atau bahkan cenderung memberontak jika mereka merasa bahwa kedisiplinan yang diterapkan tidak adil.
Pola "Good Cop, Bad Cop" dalam sekolah dapat berdampak beragam pada lingkungan belajar.
Di satu sisi, pendekatan ini mungkin membantu menciptakan keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan, karena siswa tahu ada guru yang bisa memberikan pengertian dan guru lain yang akan menegakkan aturan dengan ketat.
Namun, dalam jangka panjang, pola ini bisa menimbulkan kebingungan bagi siswa, karena standar kedisiplinan terasa tidak konsisten.
Selain itu, ketergantungan pada sistem ini bisa menghambat perkembangan disiplin mandiri pada siswa, karena mereka cenderung menyesuaikan perilaku tergantung pada siapa yang mengawasi.
Oleh karena itu, sekolah perlu mencari pendekatan yang lebih holistik dan konsisten dalam menerapkan disiplin, tanpa harus membagi peran secara ekstrem antara "Good Cop" dan "Bad Cop."