Mohon tunggu...
kresnap
kresnap Mohon Tunggu...

IG: middleclasstraveller Website: middleclasstraveller.weebly.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Indonesia Punya Keroncong, Jepang Punya Enka

5 September 2013   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara mengenai musik Jepang, biasanya yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah Japanese pop alias J-pop. Sulit dipungkiri, pengaruh J-pop di dunia musik tanah air dan di penjuru dunia lainnya memang luar biasa. Namun tahukah Anda bahwa jauh sebelum J-pop meledak, pangsa pasar musik Jepang didominasi oleh sebuah aliran musik mirip keroncong yang bernama "enka"? Saya sendiri tidak tahu, hingga sepuluh tahun lalu. Ya, sepuluh tahun lalu perjalanan kisah cinta saya dengan aliran musik yang satu ini berawal. Ketika itu saya kebetulan bermukim di Negeri Sakura. Pada suatu hari, entah bagaimana secara tak sengaja saya "terdampar" di sebuah laman yang membahas mengenai aliran musik yang satu ini. Dasar usil, saya pun iseng mengunduh potongan-potongan lagu yang terdapat di sana dan... langsung jatuh cinta pada pendengaran pertama! Sejak itu hampir setiap hari saya memutar lagu enka di CD player, sampai-sampai teman-teman Jepang saya keheranan dibuatnya. Maklum saja, sebagaimana keroncong di Indonesia, enka juga dianggap sebagai aliran musik milik generasi kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah ketinggalan zaman. [caption id="attachment_276585" align="aligncenter" width="384" caption="Saburo Kitajima - salah satu maestro enka (japaneseatdrake.edublogs.org)"][/caption] Apa sih enka? Enka, lagi-lagi seperti keroncong, merupakan musik campuran alias fusion antara gagrak tradisional dengan Barat (biasanya diiringi paduan instrumen keduanya; harmoni antara biola, piano, gitar, saksofon, dengan alat musik tradisional seperti koto, shamisen dan shakuhachi) dan menganut skala pentatonik. Enka biasanya dibawakan dalam kesempatan-kesempatan formal dalam balutan kimono atau pakaian resmi a la Barat (gaun panjang atau jas lengkap). [caption id="attachment_276587" align="aligncenter" width="280" caption="Yoko Nagayama - seorang penyanyi enka yang piawai memainkan shamisen (lang-8.com)"]

13783356321504070129
13783356321504070129
[/caption] Salah satu kekhasan enka adalah strukturnya yang umumnya terdiri dari tiga bait dengan irama berulang (hanya liriknya yang berubah) tanpa refrain seperti lagu-lagu Barat. Kalaupun ada pengulangan lirik, umumnya ia ditempatkan pada baris terakhir setiap baitnya, tidak berdiri sendiri. Uniknya, walaupun versi aslinya terdiri dari tiga bait, biasanya yang dibawakan dalam acara-acara konser hanya dua bait saja (kecuali pada konser tunggal), mungkin supaya penonton tidak bosan mendengar irama yang berulang-ulang tersebut ya. Enka memang nyaris tidak mengenal variasi, lagu-lagunya biasanya dibawakan dengan cengkok dan aransemen yang tidak jauh berbeda antara versi album dan versi konsernya. Tema yang diangkat dalam musik enka cukup beragam, namun umumnya tidak jauh-jauh dari patah hati atau jatuh cinta, kesepian, hingga penderitaan dan perjuangan hidup, walaupun ada juga yang menggambarkan kehidupan secara umum. Bahasa yang digunakan pun puitis dan menggunakan pilihan kata yang berkaitan dengan alam (salju, bunga, daun, burung, laut, hujan, sungai, dll). Mengingat banyak lagu enka seputar kisah-kisah menyayat hati, sering juga ditemukan kata-kata seputar dunia malam (bir, wiski, sake, bar, dll). Perkembangan enka yang dinamis menjadikan jenis dan langgamnya bercabang-cabang, dari yang amat tradisional hingga yang memadukan aliran lain seperti pop, jazz, atau blues ke dalamnya. Secara garis besar, mayoritas lagu enka dapat dibagi menjadi dua aliran: Tokyo dan Osaka. Gagrak Osaka pembawaannya cenderung "garang" dan ekspresif, seringkali dengan berbagai gerak tubuh yang sangat dramatis. Simak saja lagu "Anko Tsubaki Koi no Hana (Anko Camelia, Bunga Tanda Cinta)" yang dibawakan salah seorang penyanyi enka legendaris, Harumi Miyako (tonton di sini). Anda yang menggemari kebudayaan Jepang mungkin juga pernah mendengar salah satu lagu enka gaya Osaka terkenal "Kawachi Otoko Bushi (Lelaki dari Kawachi)" milik Mitsuko Nakamura, yang sering dimainkan sebagai musik pengiring tarian Bon Odori di berbagai festival musim panas (tonton di sini). Adapun enka gagrak Tokyo yang lebih populer cenderung lembut mendayu-dayu dan sentimental tanpa banyak menggunakan gerak tubuh (lebih banyak menonjolkan dramatisasi ekspresi wajah), seperti lagu "Kyoto Ninenzaka (Bukit Ninen di Kyoto)" yang dibawakan Natsuko Godai (tonton di sini). [caption id="attachment_276588" align="aligncenter" width="204" caption="Harumi Miyako (search.seesaa.jp)"]
13783359221805631885
13783359221805631885
[/caption] Para penyanyi enka juga gemar berbagi lagu (lagi-lagi mirip keroncong), jadi jangan heran kalau sebuah lagu populer memiliki versi yang sangat banyak. "Kawa no Nagare no You Ni (Bagaikan Sungai Mengalir)" milik penyanyi legendaris, Hibari Misora, misalnya  (tonton di sini). Sejak wafatnya sang biduanita pada tahun 1989 (tak lama setelah ia merilis singel tersebut), lagu ini kerap kali dibawakan oleh penyanyi-penyanyi enka lain dalam berbagai acara. Uniknya, kalau di dunia musik Barat setiap musisi berusaha menonjolkan identitasnya dengan menambahkan berbagai bumbu dan variasi ketika membawakan lagu orang lain, musisi enka justru tetap setia dengan gaya penyampaian penyanyi aslinya, konon sebagai sebuah bentuk penghormatan. Kendatipun demikian, warna suara dan ekspresi yang berbeda-beda senantiasa membawa roh dan nuansa baru bagi lagu-lagu tersebut. [caption id="attachment_276589" align="aligncenter" width="248" caption="Hibari Misora - penyanyi enka paling legendaris (metropolis.co.jp)"]
13783362141200309518
13783362141200309518
[/caption] Senasib dengan musik keroncong, enka mulai ditinggalkan penggemarnya seiring mencuatnya popularitas musik Barat dan juga J-pop menjelang akhir abad kedua puluh. Namun belakangan ini ia mulai bangkit kembali, terutama dengan munculnya musisi enka generasi baru. Salah satunya adalah Kiyoshi Hikawa yang melejit dengan singel perdananya, "Hakone Hachiri no Hanjirou (Hanjirou dari Hakone)", yang bisa ditonton di sini. Penampilan sang biduan yang modis dan supel bak anggota boyband berhasil menggaet perhatian gadis-gadis remaja walaupun lagu yang dibawakannya tersebut bernuansa tradisional. [caption id="attachment_276590" align="aligncenter" width="218" caption="Kiyoshi Hikawa (hikawakiyosi.seesaa.net)"]
13783364481600441238
13783364481600441238
[/caption] Fenomena lain yang tidak kalah menarik adalah Jerome Charles White Jr., alias Jero, musisi enka berkulit hitam pertama (tonton di sini). Sebenarnya Jero bukanlah artis enka pertama yang bukan berkebangsaan Jepang. Pada masa kejayaannya, dunia enka sempat diwarnai oleh beberapa artis asing seperti Kye Eunsok dan Kim Yonja dari Korea, Teresa Teng dari Taiwan (juga sangat populer di Indonesia), dan lain-lain. Namun penampilan Jero yang sangat kontras dengan tipikal musisi enka kebanyakan (selain fisiknya yang berbeda, Jero selalu tampil dengan kostum hip hop yang kemudian menjadi merek dagangnya) hingga berbagai koreografi hip hop yang selalu dibawakannya menjadikan penyanyi muda ini cukup populer. [caption id="attachment_276591" align="aligncenter" width="181" caption="Jero - membawa nuansa hip hop ke dalam khazanah enka (www.japanprobe.com)"]
13783366471906455574
13783366471906455574
[/caption] Saat ini jumlah penjualan musik enka diperkirakan hanya mencapai 5% dari seluruh pangsa pasar musik Jepang dengan penggemar mayoritas generasi paruh baya. Namun ia sepertinya akan masih mendapat tempat khusus di hati banyak masyarakat Jepang, apalagi dengan dukungan pemerintah yang menempatkannya sebagai salah satu warisan budaya nasional. Para musisi enka secara teratur diundang dalam acara musik tahunan Kouhaku Uta Gassen yang diselenggarakan oleh televisi nasional NHK. Mereka juga aktif wara-wiri di layar kaca sebagai bintang tamu, maupun memenuhi undangan konser di seluruh Jepang. Bahkan di luar negeri, musik yang sering dianggap kolot oleh generasi muda Jepang ini ternyata cukup banyak menarik peminat kebudayaan Jepang. Nah, bagaimana dengan nasib musik keroncong? Dulu ketika TVRI masih berjaya, musik keroncong masih memiliki jumlah penggemar yang cukup banyak. Saat ini, walaupun beberapa artis generasi baru mencoba untuk mempopulerkannya kembali (termasuk dengan membawakan lagu-lagu jazz dan blues internasional dengan langgam keroncong), kelihatannya musik keroncong masih sulit bersaing. Mudah-mudahan kekayaan seni budaya keroncong juga dapat segera bangkit dari kubur dan kembali mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Sayang kan? [caption id="attachment_276592" align="aligncenter" width="216" caption="Sundari Soekotjo - keroncong, akankah bertahan (musik.kapanlagi.com)"]
137833680314330290
137833680314330290
[/caption]

Tulisan Lainnya - Humaniora:

Indonesia Punya Keroncong, Jepang Punya Enka - terbaru!

Ketika Umat Muslim & Nasrani Mencari Pengampunan – populer!

Dakwah Komik A La Perancis – populer!

Menikah Beda Agama? Mari Jadi Contoh Yang Baik! – populer!

Kehidupan Malam di Dubai: Antara Mitos dan Fakta – populer!

Dunia Tanpa Batas

Kanji: Huruf Jepang yang Ruwet & Njlimet – populer!

Nasionalisme Berbuah Denda

Repotnya Awet Muda!

Belajar Bahasa Inggris? Jangan ke Dubai! (1)(2) – populer!

From the Bling-Bling Land Called “Dubai”

Tulisan Lainnya - Wisata dan Kuliner:

Menelusuri Kota Bawah Tanah di Turki - terbaru!

Yuk, Mengintip Rumah Ibadah Umat Sikh di Dubai! Mengintip Festival Musik Jalanan di Dubai

Dubai Miracle Garden: Pesona Taman Bunga di Tengah Gurun

Frankfurt: Saksi Bisu Kebangkitan Jerman - populer!

Berkemah Mewah di Gurun Pasir – populer!

The Ivy: Kuliner Inggris Klasik di Dubai

Hidangan Arab a la Haute Cuisine

Semaraknya Bertahun Baru di Dubai

Burj Al Arab, Pesona “Hotel Berbintang Tujuh” – populer!

Nobu, Dubai: Saat Kuliner Jepang dan Peru Berpadu

Merayakan Ramadan di Dubai – populer!

Hatta: An Oasis Amidst Rock Mountains

Ke Hong Kong? Yuk, Minum Teh Bersama Sang Nyonya Besar!

Mezze: Berbeda-beda Tetapi Satu Jua! – populer!

Yas Hotel: The World’s First Formula 1 Hotel

Benkay: The Real Teppanyaki? – populer!

Mesjid Agung Sheikh Zayed Abu Dhabi (1)(2) – populer!

Farriers: Santap Malam Bernuansa Pacuan Kuda

Yuk, Menyantap Dimsum Sepuasnya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun