Mohon tunggu...
Engkos Koswara
Engkos Koswara Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah/ SMA Negeri Situraja

Semakin Berisi Semakin Merunduk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangkitkan Gelora Nasionalisme Bangsa Melalui Sastra

7 Juni 2023   17:31 Diperbarui: 7 Juni 2023   17:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan
Karya sastra mengalami perkembangan yang terus dinamis dari masa ke masa. Setiap zamannya memiliki ciri khas tertentu yang menjadikannya sebagai faktor pembeda. Mulai dari angkatan Balai Pustaka sampai dengan era Reformasi sekarang, pastinya para sastrawan terus berproses dalam menghadapi tantangan di zamannya. Jiwa zaman dewasa ini adalah zaman perkembangan teknologi Informasi dan komunikasi yang begitu pesat, membuat bangsa-bangsa di dunia seakan-akan tidak ada lagi batasan ruang dan waktu untuk berinteraksi. Tentunya sastrawan sebagai para pemikir harus mampu menjawab tantangan di zaman ini serta memberikan solusi terkait masalah-maslah yang mengiringinya.

Salah satu yang harus dicarikan solusinya adalah bagaimana caranya mencari solusi atas mulai lunturya semangat nasionalisme dan rasa kebangsaan sebagai konsekuensi dari pesatnya arus modernisasi dan kosmopolitanisme. Oleh karena itu saya merasa perlu mengkaji bagaimana sastra di masa pasca perang revolusi berhasil menumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme yang kuat di kalangan bangsa Indonesia. Akhirnya saya mencoba untuk menuangkan hasil kajian saya ini dalam bentuk artikel yang sekarang sedang anda baca, semoga dengan hadirnya tulisan ini bisa membuat saya, anda, dan siapa pun yang tergerak setelah membaca tulisan sederhana ini untuk  kembali menulis, kembali berkepribadian bangsa Indonesia, serta mampu menjawab tantangan abad ini.

Pembahasan

Sastra sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan alat yang efektif dalam mentransformasikan setiap ide, gagasan, kritikan, saran, dan bentuk pemikiran lainnya secara lebih komunikatif. Dalam sejarahnya, sastra lahir dan muncul di Indonesia sebagai bentuk dari adanya kesadaran para intelektual Indonesia akan suatu kondisi ingin melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan. 

Adanya keinginan untuk menjadi bangsa yang bebas mengemukakan gagasan tanpa adanya tekanan dari penjajah membuat sastra dijadikan sebagai salah satu bentuk media perjuangan. Kelahiran dan perkembangan sastra Indonesia modern sesungguhnya tidak terlepas dari sejarah perkembangan pemikiran dan pembentukan kebudayaan Indonesia (Dahana, dkk, 2012, hlm. 73). Sastra yang biasanya disebarluaskan melalaui lisan dari mulut ke mulut atau hanya disalin dalam bentuk tulisan tangan. Mengalami perkembangan sejalan dengan bermunculannya surat kabar-surat kabar dan majalah dalam Bahasa Malayu pada masa kolonialisasi Belanda. Dengan begitu di Indonesia mulai bermunculanlah sastra-satra yang diterbitkan dan disebarluaskan dalam bentuk cetakan kertas.

Pada masa kolonialisasi Belanda, sastra yang berkembang dengan bahasa Melayu adalah cikal bakal dari lahirnya sastra dalam Bahasa Indonesia. Dimana Bahasa Melayu sendiri kita ketahui adaah induk dari Bahasa Indonesia, unsur-unsur dari Bahasa Melayu diadopsi dan diserap ke dalam Bahasa Indonesia, selain ada pula serapan dari bahasa daerah lainnya dan bahasa asing. Sastra berkembang dalam dua tujuan utama pada masa itu, pertama untuk tujuan komersial dan kedua untuk tujuan ideologis. 

Pertama, dalam hal komersial satra dijadikan sebagai cara untuk meningkatkan daya jual dari surat kabar dengan jalan menyediakan kolom-kolom khusus untuk karya sastra seperti cerita pendek dan cerita bersambung. Sedangkan secara ideologis, sastra dijadikan sebagai media untuk menggugah kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah. Hal ini tentunya dilakukan oleh para kaum pergerakan untuk meneyebarluaskan ide, gagasan, dan pemikirannya dalam rangka menghapuskan segala bentuk penjajahan terhadap bangsa yang dicintaiya ini, salah satunya melalui tulisan-tulisan satra. 

Menurut Kartodirdjo (2014, hlm. 287) gerakan kebudayaan telah memperkuat kesadaran nasional dan merupakan tambahan bagi gerakan ekonomi yang bebas bagi rakyat. Sehingga jelas jika perjuangan melalui budaya, salah satunya karya sastra telah menjadi barometer tumbuh kembangnya kesadaran nasional bangsa Indonesia kala itu.

Akan tetapi kebebasan untuk menuangkan pemikiran dalam bentuk sastra di zaman kolonialisasi Belanda mendapat hambatan yang berarti, terlebih setelah Pemerintah Kolonial Belanda menyadari jika dengan adanya sastra-satra yang mengggah kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia, hal tersebut akan menjadi ancaman bagi keberlangsungannya di tanah jajahan. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial Belanda membentuk suatu badan yang bertugas sebagai "polisi" terhadap karya-karya sastra pujangga Indonesia, lembaga itu bernama Balai Pustaka. Dimana Balai Pustaka berwenang untuk melakukan sensor, sampai pada pemberhentian terbit terhadap surat kabar-surat kabar yang mengarah pasa suatu tulisan yang berbau perjuangan untuk melawan penjajahan.

Tidak hanya di masa kolonialisasi Belanda saja hal ini terjadi, pada masa Pendudukan Jepang pun pembredelan surat kabar menjadi hal yang biasa dilakukan oleh Djawa Shimbun Kai sebagai pihak yang berwenang melakukan sensor terhadap setiap tulisan yang mengancam eksistensi Jepang di Indonesia. Tetapi, kita bisa mengambil sisi positif dari pendudukan Jepang ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahin (2013, hlm. 188-189) bahwa:

Konsekuensi lain dari pendudukan Jepang, konsekuensi yang sangat penting dalam mengembangkan sentimen nasionalisme di kalangan orang Indonesia, dan khususnya hasrat mereka untuk merdeka secara politik, muncul peningkatan rasa percaya diri orang Indonesia secara besar-besaran, serta rasa percaya diri individu di kalangan orang Indonesia terpelajar.

Sehingga benih-benih nasionalisme muncul dengan sendirinya pada diri orang Indonesia yang salah sangka terhadap Jepang. Pada awalnya bangsa Indonesia menganggap Jepang adalah saudara Asia nya yang akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, tetapi malah sebaliknya Jepang adalah penjajah ulung yang berkedok persaudaraan Asia Raya.

Setelah Indonesia merdeka, lebih tepatnya setelah masa revolusi fisik berakhir, peran sensor yang dilakukan baik oleh Balai Pustaka maupun oleh Djawa Shimbun Kai tersebut sudah tidak nampak lagi. Karena bangsa Indonesia telah bebas mengatur pemerintahannya sendiri tidak lagi ditekan dan datur setiap langkahnya oleh negara penjajah. Oleh sebab itu pada masa awal-awal kemerdekaan di tahun 1950-an banyak bermuculan karya sastra yang beragam, dengan tidak adanya sensor dan pembredalan terhadap tema-tema sastra yang berbau perjuangan, kritik pedas terhadap pemeritah, dan nasionalisme. Maka tahun ini adalah tahunnya bagi karya sastra kreatif di Indonesia. Para pujangga-pujangga baru bermunculan dengan mengangkat latar belakang cerita yang heroik dan penuh kepahlawanan. Bermunculannya karya-karya sastra bertema nasionalisme dan semangat kebangsaan dapat dimaknai sebagai gambaran umum mengenai situasi dan kondisi pada zamannya yang berkaitan dengan faktor-faktor berikut ini (Dahana, dkk, 2012, hlm. 79) :

Pengalaman perang revolusi disadari sebagai lahan yang kaya sehinga dapat dimanfaatkan sebagi lattar dan tema cerita;
Sastra indonesia pada masa itu memperlihatkan potret masyarakat yang sesuai dengan reaitas sosial yang ada;
Terlihat dari tema-tema karya sastra pada masa itu, mencerminkan ideologi dan amanat pengarangnya yang tidak terlepas dari semangat zamannya;
Semangat zaman yang tumbuh dan berkembang serta mendominasi kehidupan masyarakat indonesia pada masa itu adalah semangat kebangsaan.
Dengan begitu, tema-tema sastra yang berhubungan dengan semangat kebangsaan, kepahlawanan, peperangan, dan nasionalisme menjadi bahan yang banyak beredar di masyarakat yang tidak lagi dikekang oleh sensor penjajah.  
Kesusasteraan Indonesia pada tahun 1950-an ditandai dengan tema-tema yang berhubungan dengan kegetiran yang terjadi pada perang kemerdekaan (Dahana, dkk, 2012, hlm. 77). Contohnya, ada novel karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Keluarga Gerilya (Pembangunan, 1950) yang bercerita tentang kegetiran hidup keluarga pada masa revolusi fisik. Selanjutnya Pramoedya juga menulis novel yang berjudul Perburuan (Balai Pustaka, 1950) yang menceritakan tentang sisi gelap akibat perang revolusi. Kemudian karyanya yang lain adalah Dia jang Menjerah (Balai Pustaka, 1950), Mereka jang Dilumpuhkan (Balai Pustaka, 1951), dan Di Tepi Kali Bekasi (Gapura, 1951). Lattar dan tema yang diangkat oleh seorang Pramoedya Ananta Toer sendiri berasal dari catatan kehidupannya yang kelam, sebagai seorang sastrawan yang sering membuat karya-karya yang kritis terhadap kolonialisasi Belanda, ia sering kali dijebloskan ke dalam penjara, kegetiran hidupnya itu dijadikan sebagai lattar dari hampir semua karya sastranya tersebut.
Ada pula Mochtar Lubis, seorang sastrawan kawakan yang menulis novel berjudul Tak Ada Esok (Gapura, 1950), sebuah novel yang menceritakan tentang perjuangan fisik maupun psikis yang dialami oleh seorang pejuang, yaitu Kapten Johan dalam menghadapi pasukan Belanda. Mochtar Lubis juga menulis novel yang berjudul Djalan tak Ada Ujung (Balai Pustaka, 1952) yang mengungkap bagaimana nasionalisme, keberanian bahkan pengkhianatan pada diri salah seorang tokohnya yaitu Guru Isa. Sejumlah novel lain yang bertema perang revolusi adalah Akibat Perang (1950) dan Zaman Gemilang (1950) karya Matu Mona dan ada juga novel berjudul Yogya Diduduki (1950) karya Muhammad Dimyati.
Tema nasionalisme sendiri coba diangkat oleh Abdul Muis melalui karya sastranya yang berjudul Surapati (Balai Pistaka, 1950) dan Robert Anak Surapati (Balai Pustaka, 1950). Di dalam novel yang pertama diceritakan bagaimana  perkawinan Surapati dengan puteri bangsawan Belanda bernama Suzanne, dan perjuangan Surapati dalam melawan Belanda. Novel yang kedua menceritakan bagaimana Robert sebagai anak dari dua bangsa, ibunya orang Belanda dan ayahnya orang Indonesia. Robert yang berpihak pada ibunya harus melawan ayahnya sendiri di medan perang, dan akhinya harus terbunuh di peperangan dengan ayahnya tersebut. Jelas sekali jika pengalaman para sastrawan di atas selama hidup di masa perang kemerdekaan menjadi bahan dalam setiap karya sastranya. Peristiwa perang kemerdekaan menjadi suatu cerita yang menarik, heroik sekaligus mengharukan, dimana para sastrawan tersebut pada dasarnya mencoba memasukan nilai-nilai kepahlawanan, semangat kebangsaan, dan rasa nasionalisme dalam setiap karya sastranya untuk menggambarkan betapa patriotik dan heroiknya perjuangan bangsa Indonesia pada masa itu.
Simpulan
Jika sastra dalam hal-hal tertentu bisa dianggap sebagai dokumen sosial, potret masyarakat, atau semangat zamannya, maka sejumlah karya sastra yang mengangkat tema-tema sekitar peristiwa pada zaman Jepang dan perang kemerdekaan menunjukkan hal tersebut (Dahana, dkk, 2012, hlm. 79). Pada dasawarsa tahun 1950-an para sastrawan Indonesia telah memanfaatkan kemerdekaan kreatifnya untuk mengangkat dan menguak masalah-masalah yang nyata dialami bangsanya. Jika dilihat dari peran yang dilakukan oleh sastrawan pada dasawarsa tahun 1950-an, terlihat jelas bahwa sastrawan telah memainkan peran dalam menumbuhkan semangat kebangsaan dan jiwa kepahlawanaan melalui karya-karya yang pruduktif. Slogan-slogan seperti "Merdeka atau Mati", "Maju Terus Pantang Mundur", "Sampai Titik Darah Penghabisan:, atau bahkan "Maju Tak Gentar" berhasil diterjemahkan ke dalam bentuk-benuk karya sastra yang bergelora pada kala itu. Sekali lagi peran sastrawan sangat krusial dalam menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia melalui karya sastranya.
Karya-karya sastra di era sekarang, yang boleh kita sebut sebagai masa reformasi. Sudah selayaknya kembali mengangkat rasa kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dari pada hanya mengangkat tema-tema percintaan, kegalauan remaja, atau hanya mengangkat tema humor belaka. Mengingat bangsa ini akan dan bahkan sedang menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang begitu pesat. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang lupa akan sejarahnya, kehilangan jati diri, dan tidak berbudaya. Melalui sastra, semoga bisa menjadi media yang efektif untuk kembali menggelorakan nasionalisme dan patriotisme bangsa Indonesia. Dengan begitu maka tantangan dari mana pun, dari negara mana pun, atau dari pihak mana pun pastinya siap kita hadapi. Karena kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang tidak hanya menghargai sejarah dan pahlawannya, tetapi bangsa yang mampu meneruskan perjuangan pahlawannya terdahulu demi kegemilangan di hari ini dan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Dahana, dkk. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid VI. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kahin, M. G. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II. Yogyakarta: Ombak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun