Mudik ini memang termasuk ke dalam tradisi yang sudah berjalan di masyarakat Indonesia sejak tahun 70-an.
Tujuan utamanya adalah untuk silaturahmi kepada keluarga atau sanak saudara yang berada di kampung halaman.
Untuk bisa tetap silaturahmi dengan keluarga di kampung tanpa mudik, menurut Nadia Jovani tidak harus dilakukan secara langsung dengan cara mudik.
"Alternatifnya mungkin bisa dilakukan transformasi bentuk silaturahmi dari yang tadinya secara langsung menjadi ke dalam bentuk silaturahmi secara digital," ungkapnya.
Ia menambahkan terkait alternatif secara digital ini memang tidak mudah, perlu adanya ajakan dan imbauan dari tokoh agama yang dianggap memiliki legitimasi untuk menjelaskan makna utama dari silaturahmi tersebut.
Windhu juga menjelaskan bahwa agar masyarakat Indonesia bisa tertib taat aturan pelarangan mudik kali ini harus memiliki persepsi risiko yang tinggi.
"Mereka (calon pemudik) ini harus memiliki persepsi risiko yang tinggi (tentang covid-19), dan hal itu tentu harus terus dibangun melalui komunikasi publik dari pemerintah dan kita semua," jelasnya.
Terkait pelaksanaan pengetatan petugas di lapangan terhadap para pemudik yang nekat, Nadia menjelaskan bahwa harus ada kesamaan rasionalitas soal aturan pelarangan tersebut.
"Harus ada kesamaan rasionalitas soal aturan pelarangan dan pengetatan mudik ini antara pemerintah dengan pelaksana di lapangan termasuk dengan pengawas yang paling dekat dengan masyarakat, seperti petugas RT, RW, Kelurahan, dll," jelasnya.
Menurut Kompasianer Tamita Wibisono, fenomena mudik ini dalam kacamata konten kreator bisa dimanfaatkan sebagai sebuah ajang besar untuk membuat konten.
Ia juga sependapat dengan Nadia bahwa para calon pemudik harus diberikan pemahaman terkait silaturahmi juga bisa dilakukan secara digital.