Membahas mengenai RUU Cipta Kerja yang disahkan beberapa waktu lalu memang tidak ada habisnya. Terutama terkait pasal-pasal kontroversial yang dinilai merugikan masyarakat buruh. Misal soal upah per jam.
Dari permasalahan ini, Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang menarik kembali memori saat awal mengambil kesempatan mengajar di sebuah sekolah tinggi ilmu ekonomi. Rekan-rekannya yang juga menjadi dosen tidak tetap, harus "ngamen" ke berbagai perguruan tinggi demi pemasukan yang cukup.
Kompasianer Adolf Isaac Deda pada artikelnya juga menyinggung soal upah per jam. Ia menceritakan kembali pengalamannya kerja pertama kali dan metode pengupahannya.
Selain mengenai hal itu, berikut adalah konten-konten terpopuler di Kompasiana yang bisa Anda simak kembali:Â
Nasib Dosen Tidak Tetap yang "Ngamen" di Beberapa PTS
Tapi, di balik penampilan itu, sebetulnya banyak dosen tidak tetap yang kehidupannya belum mapan, dalam arti tidak banyak yang tersisa untuk menabung atau untuk berinvestasi. (Baca selengkapnya)
Rakyat Tak Kurang Literasi, Pemerintah Saja yang Minim Nurani
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja yang terkesan dipaksakan dan prosedur pengesahannya yang sangat amburadul menunjukkan mereka ingin menang sendiri. (Baca selengkapnya)
Upah Dibayar Per Jam, Pengalaman Kerja Pertama yang Tak Terlupakan
Saya digaji 40 ribu per hari selama 6 jam kerja. Berarti rata-rata 6.600 rupiah per jam. Masuk jam 9 pagi pulang jam 4 sore. Menariknya saya hanya bekerja 3 hari dalam seminggu: Senin, Rabu, dan Jumat. (Baca selengkapnya)
Bertahanlah, Meski 2020 Terlalu Berat Untukmu