Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Frasa "Namun, Tiba-tiba" dan Kekuatannya dalam Cerita Pendek

11 Juli 2018   11:35 Diperbarui: 17 September 2018   17:59 3711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anton Chekhov benar. Rasa-rasanya frasa "Namun, tiba-tiba..." adalah frasa yang sering sekali digunakan dalam cerita pendek.

Dalam frasa "Namun tiba-tiba..." itu memang acapkali untuk menandakan pergeseran dari satu situasi ke situasi lain; dari satu emosi (dalam cerita) menjadi emosi lain; bahkan untuk berpindah dari latar yang satu menuju latar yang lain.

"Namun tiba-tiba..." bisa dianggap sebagai bridging sederhana yang dilakukan penulis. Sangat sederhana, malahan, karena cerita pendek, biar bagaimanapun, adalah cerita yang cepat --atau sengaja diringkas oleh penulisnya.

Batas antara ruang (dalam cerita pendek) yang diberikan surat kabar, misalnya, paling tidak hanya 1500-2000 kata. Padahal bisa saja cerita tersebut bisa melebihi pembatasan itu.

Maka, seringkali, cara penulis mengakalinya dengan (satu di antara banyak cara lain tentu saja) menggunakan "Namun, tiba-tiba..." itu.

Relasi ini, antara cerita pendek dengan media massa yang memuatnya, menurut Saut Situmorang sebagai dialektis saling pengaruh-memengaruhi.

Dan mungkin, karena hal itu sudah terjaga --setidaknya jika memulainya dari buku-buku kumpulan cerpen Kompas terbit-- hal tersebut menjadi kebiasaan yang secara-sadar-atau-tidak dipraktikkan hingga sekarang. Hingga cerita pendek tersebut tayang di ranah dunia maya.

Dan tentu saja itu bisa menggaggu bila penggunaan frasa "Namun, tiba-tiba..." (dengan rasa yang serupa, misalnya) digunakan berlebihan. Pembaca malah disajikan sebuah cerita yang berlompatan-bersusulan antarlatar, alur dan emosi setiap karakter yang dibangun. Semisal pada cerita pendek yang ditulis Aqil Aziz 'Melawan Rumor:

Tiba-tiba, mata Sri mulai berkaca-kaca. Seakan-akan menyeret ingatannya ke masa lalu.

Kemudian, dua paragraf berikutnya, ketika tengah menceritakan kalau Ibunya jatuh di kamar mandi lalu meninggal, Aqil Aziz menggambar cerita tesebut seperti ini:

Memang itu adalah Takdir. Takdir suamiku. Siapa yang tahu, kalau suamiku yang pertama, punya penyakit jantung, ketika setelah akad, malamnya, ia mendengar kabar kalau ibunya jatuh di kamar mandi. Ia langsung meninggal. Sedangkan suami yang kedua, ketika mengajar di dalam kelas tiba-tiba ia tak bisa gerak.

Dan pada akhir cerita Aqil (seakan) meringkas cerita tersebut. Rumor-rumor pernikahan yang berkembang itu ditutup dengan baik, tentu saja, walau di sana masih ada tetangga yang sinis, tulisnya.

Hari pernikahan itu telah tiba. Sri dan teman saya tersenyum bahagia. Para tamu undangan juga memberikan ucapan selamat.

***

Tidak ada yang keliru, tentu saja, karena setiap pengarang adalah pencipta terhadap karyanya, tulisannya, cerita pendeknya.

Seperti halnya frasa "Namun tiba-tiba..." ini. Frasa tersebut bisa menjelma apa saja dalam bentuk frasa lain --namun tetap dalam fungsi yang sama: sebagai bridging.

Dalam cerpen "Al, Run!", misalnya, yang ditulis Suci Maitra Maharani. Ia menggunakan frasa Aku membayangkan untuk menjembatani atas apa yang sebelumnya Prof Rad jelaskan.

"Kita adalah penduduk yang bangga di masa lampau, Al. Negara kepulauan terbesar di dunia, potensi sumber daya alam yang lebih dari berlimpah, sampai-sampai dulu ada saja bait yang mengatakan bahwa tanah kita adalah tanah surga sebab amat suburnya, juga kehebatan lain yang memukau mata dunia."

Aku membayangkan, dulu tentu permadani di kaki langit itu bukan mustahil.

Pada fragmen ini, Suci Maitra Maharani ingin memberi jeda pada ceritanya. Untuk membandingkan: yang-dulu dengan yang-sekarang.

Lebih menarik lagi membaca cerita pendek Sri Romdhoni, Rotan Berkerut Kalut. Pertemuan dengan seorang Pak Tua yang datang ke penginapan, tulis Sri Romdhoni ini membuka lembar demi lembar alur waktu yang maju-mundur dalam cerita.

Meski dengan kepongangan, tulisnya, Sri Romdhoni membangun karakter Pak Tua ini dengan baik pula.

Meramu basa-basi menawarkan selubung pengusir dingin berbentuk oplosan cairan menengah. Mencoba memainkan peran di gelap malam.

Jembatan-jembatan yang digunakan Sri Romdhoni adalah sebuah gerak-gerik Pak Tua ini. Setiap gaya, akan membentuk alur waktu yang berbeda. Seperti ketika Pak Tua ini menceritakan ketika meninggalkan Andalas. Frasa yang digunakan yaitu "sepenggal narasi".

Lewat mulutnya keluar sepenggal narasi tentang maksud kedatangannya di kota ini. Andalas ia tinggalkan melompati selat sunda. Ribuan jangkar sempurna dijejaki. Hiruk pikuk pelabuhan, getar dingin diudara fajar, sengatan surya, infrastruktur jalan dengan limpahan lubang, razia aparatur di lekukan siang hingga hantaman keletihan memamungkasi keperkasaan raga.

Atau, ketika Pak Tua ini menceritakan alasannya mengapa bisa berkaki pincang.  Sri Romdhoni menggunakan frasa "Seperti sebuah kebanggaan" untuk kembali membawa cerita Pak Tua ini.

Emosi yang dibagun dalam cerita itu dari menyebalkan hingga semakin menyebalkan. Jembatan-jembatan kecil dalam frasa yang digunakan juga dibuat amat halus.

Masih dengan pongahnya, cikal bakal pincangmu hasil kecelakaan tunggal. Seperti sebuah kebanggaan, Mount Elisabeth-Singapura kau pamerkan mampu memulihkan otakmu yang gagal merespon angin segar dunia yang menyapa.

"Beruntung keluarga saya kaya. Kalau tidak mungkin saya mati", ujarnya sambil meneguk oplosan tengik.

***

Jika menempatkan cerita pendek dalam sebuah media massa, misalnya, selain keterbatasa ruang tentu saja, pengarang cenderung, mengutip pengantar Budiarto Danujaya dalam Cerpen Pilihan KOMPAS 1994, mengulang-ulang rekaman peristiwa yang acapkali terlalu tergesa-gesa.

Frasa-frasa seperti yang dijelaskan di atas, barangkali, adalah cara paling sederhana dalam mengakali itu. Jembatan-jembatan kecil yang, disadari-atau-tidak, memiliki fungsi penting.

Atau, dalam sepakbola, biasa disebut dengan istilah "gelandang pengangkut air". Ia yang berfungsi membangun transisi dari bertahan ke menyerang; menahan serangan balik dari lawan untuk bertahan. Dan, frasa "Namun. tiba-tiba..." barangkali. (HAY)

*) Ucapan  Anton Chekhov tentang frasa "Namun, tiba-tiba" diambil dari cerita pendek Si Pengarang Muda yang ditulis Sungging Raga (Kompas, 08 Juli 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun