Latar pendapatnya adalah ketika ia pernah menonton cuplikan pementasan teater Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. "Imajinasi pada semua tokoh inipun runtuh."
Maka ia berharap pada ekranisasi "Bumi Manusia", nantinya diharapkan mampu menghadirkan ide dan pesan utama dalam novel aslinya. Jangan terjebak pada satu sudut pandang, sehingga membiaskan ide pokok novel tersebut.
Namun yang kemudian menjadi diskursus yang menarik: ketika gelombang generasi milenial atau lebih muda dari itu mulai memburu buku-buku Pram di toko buku.
Satu hari pasca Hanung Bramantyo mengumumkan film Bumi Manusia beserta para pemain, buku "Bumi Manusia" mendadak habis. Habis. Bukan seperti nasib buku-buku Pramoedya Ananta Toer terdahulu yang dibuang atau dibakar.
Para pemburu buku-bukunya Pram sendiri nampaknya tidak lagi memedulikan reaksi warganet di media sosial. Sebab, menurut Priesda Dhita Melinda, "memancing" keributan apalagi dunia media sosial itu sangat "kejam".
"Satu pancingan kalimat negatif akan memancing kalimat negatif berikutnya," lanjutnya.
Walau sepertinya ada yang dilupa dari keriuhan film Bumi Manusia: bahwa Bumi Manusia bukanlah kisah roman belaka.