"Kamu seperti,Ibu?" tampak jelas ibu bahagia dengan pilihan pekerjaan anaknya.Â
Memang, setelah tamat SMA hampir 1,5 tahun lalu, Tantri pamit pada ibunya, berniat belajar bekerja ke kota kecamatan. Ibu mengijinkannya. Hanya satu nasihat ibunya, jaga kehormatan diri baik-baik. Tantri memegang teguh pesan ibunya hingga saat ini.
"Baguslah, dirimu juga senang mengajar. Tapi bekali dirimu dengan ilmu yang lebbih luas. Berkuliah saja di kampus swasta dengan fakultas yang sesuai dengan kesenanganmu mendidik.Â
Bukannya dia tak ingin, tapi bagaimana mungkin dia berkuliah sementara gaji ibu hanya mencukupi untuk hidup sehari-hari mereka bertiga. Ayah terlalu egois pergi tinggalkan Ibu, saat Tantri kelas 5 SD. Â
Badai di atas kepala mereka sangat membekas.Â
Tantri kecil tak tahu persis apa yang terjadi atas kehidupan Ibu dan Bapaknya, tapi kenyataan itu...
Tantri sangat mengingatnya, sore sesudah berhujan. Bapaknya datang dari luar kota setelah menyelesaikan urusan bisnis dengan koleganya, yakni jual beli hasil palawija, tiba-tiba bersujud, bersujud memohon ampun di kaki istrinya. Ya, ibunya Tantri.Â
Bapaknya harus menikahi perempuan lain yang tengah mengandung anak mereka tetapi tak ingin berpisah dengan ibunya Tantri. Dunia terasa gelap. Tantri menjerit-jerit saat badan ibunya menjadi kaku oleh pengakuan bapaknya. Tantri menjerit memanggil neneknya. keluarga menjadi panik pada sore sesudah berhujan itu.
Tentu saja, keluarga ibunya tak bisa menerima semua ini. Terlebih ibunya, perempuan kesayangan Tantri. Padahal selama ini ibunya mengira semua baik-baik saja, saling percaya dan setia. Tetapi....
"Tantri , Ibu masih bisa membiayaimu. Ibu sudah menabung selama ini untuk kuliahmu," Ibu menguatkan Tantri.Â
Tantri menangis.Â