Mohon tunggu...
Mas Mpep
Mas Mpep Mohon Tunggu... -

Pernah tinggal di Lampung, Solo dan Tegal, serta intim dengan Jogja dan Banjarnegara. Berminat pada Sosiologi, Gerakan Mahasiswa, buku, dan film, termasuk jalan-jalan untuk mengagumi kota, kuliner, sejarah, dan budaya pada umumnya. Selalu belajar menulis meskipun sebagian besar naskahnya ditolak banyak redaktur. Saat ini hastiyanto.wordpress.com dan masmpep.wordpress.com menjadi mainan barunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Bawah Bendera Warteg

11 November 2009   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir setiap kita pernah mendengar idiom Warteg, melihat ujud Warteg, sampai menjadi pelanggannya. Namun ketika ditanya bagaimana karakteristik Warteg, kiranya tak banyak dari kita yang mampu menjawabnya secara memuaskan. Realitas ini mengindikasikan bahwa Warteg merupakan ‘sesuatu yang ilmiah’, yang dapat diidentifikasi menurut metodologi riset seperti pengamatan, studi literatur hingga in depth interview hingga observasi partisipan. Warteg, dan kuliner pada umumnya ternyata tak sekedar soal makanan, namun telah menjadi satu ilmu.

Semenjak Bondan Winarno menjadi host Wisata Kuliner di Trans TV beberapa tahun lalu, kuliner tidak lagi dianggap sebagai persoalan makan dan pemenuhan kebutuhan subsistensi dasar belaka. Kuliner telah naik kelas menjadi satu ‘disiplin ilmu’ dan ‘layak’ didiskusikan secara ilmiah. Saat ini ada disiplin ilmu yang disebut gastronomi, yakni disiplin ilmu yang mencari perhubungan antara kebudayaan dan makanan. Gastronomi berasal dari kata gastros yang dapat kita artikan sebagai perut atau lambung, serta nomos, semacam logos, yang umum diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan. Kuliner kemudian dikenal publik sebagai karya yang direproduksi dari tradisi, sistem nilai, dan budaya yang panjang. Begitu juga ketika kita hendak membincangkan Warteg. Warteg, sebagaimana Rumah Makan Padang, Lapo (Lepau) Tuak Medan, Lesehan Jawa (Sunda, Yogyakarta atau Solo), Warung Kopi, Warung Bubur Kacang Hijau (Burjo) atau Kedai sejatinya merupakan manifestasi dari budaya yang terangkum dalam tradisi kuliner.

Kekaguman saya pada kuliner bermula dari dapur rumah saya. Semenjak kecil ruang favorit saya saat pagi atau sore hari bukan di depan televisi, melainkan di dapur. Menemani ibu saya memasak. Saya umumnya menonton ibu memasak, sambil bercerita rupa-rupa hal. Sampai kini, ketika berkesempatan mudik di dapurlah secara efektif kami sekeluarga dapat bercerita. Selepas dari dapur, umumnya kami memiliki agenda sendiri-sendiri. Karena itu saya mengapresiasi tradisi saudara-saudara kita di Manado, yang kabarnya mengikat persaudaraan di rumahnya melalui meja makan.

Selain ibu, tak salah lagi saya mengagumi kuliner melalui Bondan Winarno, meskipun selain Bondan terdapat sejumlah nama yang juga dapat kita dudukkan sebagai pakar kuliner. Bondan dikenal publik lewat idiom mak nyus, satu idiom yang menurut pengakuannya ia kutip dari Umar Kayam. Bagi saya idiom mak nyus sangat pas komposisinya secara estetik dan melodius didengar. Karena itu saya tak pernah habis pikir, bagaimana mulanya dan bagaimana bisa sejumlah anak muda (dan selebriti) melafalkannya sebagai mak nyos. Mak nyos saya rasakan sebagai idiom yang dingin, hampa, dan tak melodius sama sekali.

William (Wirjaatmadja) Wongso, tentu satu nama yang harus disebut sebagai pakar kuliner terkemuka tanah air. Wongso yang dikenal luas setelah memandu Cooking Adventure with William Wongso di Metro TV ini termasuk yang jarang saya tonton. Bukan tak senang pada Pak Wongso, tetapi segmentasi Pak Wongso bagi saya terlalu tinggi. Acara masak-memasaknya umumnya menyajikan menu-menu yang tak sehari-hari, menggunakan bumbu-bumbu yang hampir tak ada di dapur ibu saya. Selain Pak Wongso ada Onghokham, sejarawan Universitas Indonesia (UI) yang gemar makan dan memasak. Pak Ong tak secara khusus menjadi ‘pakar kuliner’ yang dikenal publik, ia lebih tepat disebut sebagai ‘koki’ dan ‘penikmat kuliner’ alias ‘tukang makan’ yang kampiun. Menurut kata koran yang saya baca, Pak Ong selalu memasak makanan yang enak-enak saat ulang tahunnya. Sayang, karena saya sudah pasti berada di lingkaran luar-jauh kehidupannya, tak pernah sekalipun saya diundang dalam setiap pestanya. Sayang memang.

Tak lupa Hermawan Sulistyo. Bapak satu ini saya kenal betul melalui konsentrasi studinya, yakni gerakan sosial (dan gerakan mahasiswa), satu bidang kajian yang menarik hati saya. Saya selalu tak puas membaca buku-buku gerakan mahasiswa yang hanya berisi ‘sejarah’ dan ‘kutipan data’. Namun melalui bukunya Lawan! Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Soeharto (2002), saya memperoleh gambaran lapangan, bagaimana ‘kelakuan’ mahasiswa di jalanan. Bagaimana satu demosntrasi di-setting, bagaimana muncul pertama kali istilah korlap atau jenlap, bagaimana mahasiswa bersitegang dengan aparat. Buku itu, dan Palu Arit di Ladang Tebu (2000) bagi saya adalah satu features yang paling enak dibaca. Setelah saya tahu Hermawan memandu Jejak Kuliner di TV One, minat saya pada kulinari semakin membuncah.

Sebelumnya, saya menyukai kuliner melalui acara memasak di televisi. Tak salah lagi, Sisca Suwitomo host Aroma di Indosiar adalah favorit saya. Acara memasaknya demikian hidup. Yang saya maksud hidup tak hanya cara penyampaiannya, tetapi apa yang dimasaknya. Bila ada acara memasak, namun yang dimasak aneh-aneh, sesuatu yang baru didengar ibu saya dan tak akan pernah direncanakan akan dimasaknya, segera saya tak tertarik pada acara itu. Bu Sisca favorit saya, di samping Haryo Pramoe, yang memandu Harmoni Alam di Trans TV. Haryo saya nikmati melalui cara memasaknya yang mengindikasikan saya bahwa Haryo mantan ‘anak Mapala’. Cara masak yang alami, mendekati ‘jorok’, dan suka melempar-lempar kompor serta penggorengan yang habis dipakai bagi saya khas, jantan. Tentu saya mengagumi acara Haryo, tak sampai mengagumi kejantanannya, agar anda tak salah persepsi.

Dengan tak mengurangi rasa hormat, saya masih sesekali menonton Bara Patiradjawane dalam Gula-Gula yang tayang di Trans TV, Ala Chef-nya Farah Quinn, dan beberapa acara Rudi Choirudin, terutama yang dulu di RCTI. Termasuk Benu Boelo di Trans TV, sebagai acara makan-makan yang kadang buat ngiler. Ngiler pada masakannya, bukan pada cara mengonsumsi Bang Benu.

Kembali ke Warteg. Sejarah Warteg dapat dilacak menurut beberapa versi. Sejauh ini, sebagian besar kalangan percaya Warteg bermula sejak tahun 1950-an hinggan 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat dijangkau koceknya: murah, dan banyak.

Peluang ini rupanya dibaca secara kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka mampu menjual produk yang murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg: berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerja boro yang umumnya laki-laki.

Ada catatan menarik soal karakteristik Warteg ini. Umumnya Warteg diusahakan oleh kelompok keluarga (family) yang bergantian mengelola. Bila tak kebagian mengelola, mereka pulang ke kampung mengelola lahan pertanian yang ada. Berbeda dengan Rumah Makan Padang yang juga umumnya dikelola oleh tenaga kerja laki-laki, pemanfaatan tenaga kerja laki-laki pada Warteg disebabkan oleh alasan praktis, tidak memperhitungkan sistem nilai matriarkhi di Minang yang kabarnya mendudukkan perempuan dalam posisi kultural yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun