BRISBANE, KOMPAS.com - Suatu hari di tahun 1965 Iman Partoredjo yang saat itu berusia 33 tahun berpikir keras. Medio itu ekonomi Indonesia memang sedang terguncang hebat.
Rumah tangga Iman pun terdampak ekonomi negara yang morat-marit.
"Dulu inflasi sampai 650 persen," kata Iman saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Brisbane, Queensland, Australia, Kamis (8/3/2017).
"Gaji saya cuma cukup untuk enam hari," tutur dia.
Iman kala itu bekerja sebagai pembantu dosen di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia).
Pria kelahiran Majenang, Jawa Tengah 1 Januari 1932 ini kemudian memutuskan untuk mencari tempat kerja lain. Sebetulnya ada beberapa tawaran, seperti mengelola IKIP di Bali atau menjadi dosen di Sumatera Selatan.
"Tapi itu saya tolak," kata dia. Alasannya, istri yang tak setuju.
Lalu, ada tawaran dari perusahaan minyak asal Amerika Serikat yang beroperasi di Kalimantan Timur. Iman ditawari jadi kepala di sekolah yang didirikan perusahaan tersebut di lingkungan tempat tinggal karyawannya.
Tak berpikir panjang, Iman kemudian mengetik surat lamaran untuk ditujukan ke perusahaan itu.
"Namun saat saya membuat surat itu datang sebuah surat tawaran dari Monash University di Melbourne (Australia) yang menawari saya mengajar bahasa Indonesia di universitas tersebut," ujar Iman.
Iman langsung setuju. Surat yang tadinya ditujukan kepada perusahaan Amerika Serikat di Kalimantan Timur diubah jadi untuk Monash University.