Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

6 Desember 2017   06:15 Diperbarui: 6 Desember 2017   15:19 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat Parmalim saat melangsungkan ritual Sipaha Lima.

Selain orang dewasa, tindakan diskriminasi juga dialami oleh anak-anak penghayat kepercayaan.

Dewi menuturkan, anak-anak Sunda Wiwitan sering mengalami perundungan atau bullying dari teman-temanya di sekolah.

Pihak sekolah, kata Dewi, seringkali melakukan hal yang sama. Dewi mencontohkan, satu kasus di mana seorang anak Sunda Wiwitan dipaksa mengenakan pakaian khas salah satu agama. Hingga akhirnya anak itu disidang oleh pihak sekolah karena menolak.

"Kami sebagai pendamping warga juga sering mengadvokasi anak-anak penghayat kepercayaan di sekolah mereka. Ada yang dipaksa untuk memakai baju muslim ketika hari-hari tertentu atau saat bulan puasa. Kami akhirnya melakukan pendekatan kepada pihak sekolah. Sampai kami minta perlindungan kepada KPAI," kata Dewi.

"Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh guru itu luar biasa dampaknya. Jadi anak itu disidang di depan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru kesiswaan, jadinya anak-anak itu seperti pesakitan," tuturnya.

Anak-anak dan para remaja penghayat Ugamo Malim atau disebut sebagai kaum Parmalim mengikuti lomba menari tortor di pelataran Bale Pasogit, pusat peribadatan Parmalim di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (20/2/2015).
Anak-anak dan para remaja penghayat Ugamo Malim atau disebut sebagai kaum Parmalim mengikuti lomba menari tortor di pelataran Bale Pasogit, pusat peribadatan Parmalim di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (20/2/2015).
Tindakan diskriminatif yang diungkapkan oleh Dewi juga dialami oleh sebagian besar warga penghayat kepercayaan.

Dalam permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Nggay Mehang Tana, seorang penganut kepercayaan Marapu di Sumba Timur menuturkan, dengan tidak diisinya kolom agama bagi penghayat kepercayaan, mereka dicap kolot, kafir dan sesat.

Hal itu berimbas pada pelanggaran terhadap hak konstitusional dalam pelayanan administrasi kependudukan.

Perkawinan antarpemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara adat tidak diakui negara.

Akibatnya, anak-anak mereka sulit mendapatkan Akta Kelahiran. Demikian pula dengan persoalan KTP elektronik.

"Untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik," tulis Nggay.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun