Mohon tunggu...
de Gegan
de Gegan Mohon Tunggu... Petani - LAbuan Bajo | Petani Rempah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis apa saja dari kampung. Agar dibaca oleh orang orang kampung lainnya, yang kebetulan berada di kota atau di sebelah lingkaran bumi ini.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gengsi dan Konsumtif, Penyebab Lain Kemiskinan di NTT

23 Oktober 2019   01:32 Diperbarui: 24 Oktober 2019   00:13 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Virus kemiskinan di Nusa Tenggara Timur( NTT) sudah menggurita dan menjalar kemana-mana. Kemiskinan akut ini seakan-akan sengaja dipelihara secara turun temurun baik oleh pemerintah maupun masyarakat NTT sendiri.

Naif memang, belenggu kemiskinan sudah berpuluh-puluh tahun mendera provinsi kami, dan oleh karena saking daruratnya ketimpangan ekonomi yang terjadi, membuat sejumlah stakeholder didaerah NTT  kewalahan untuk keluar dari lingakaran 'setan' ini.

Tepatnya seminggu yang lalu, saya pernah menulis dan mengangkat masalah yang sama disini, dengan judul "Kemiskinan dan Diskurus Buruk Pertanian di NTT", karena memang basis kuat dan atau imun kemiskinan di NTT rata-rata dikantongi oleh masyarakat tani yang bermukim didaerah-daerah dan perdesaan.

Kondisi kemiskinan di NTT dalam anggapan banyak pihak disebabkan oleh faktor seperti alam yang tandus, infrastruktur yang buruk/kurang baik, SDM yang minim, perilaku korup para pejabat publik serta minimnya penerapan prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola pemerintah.

Berbeda dengan pandangan diatas, tulisan ini saya racik melalui pendekatan sosial ekonomi dan budaya kemasyarakatan. Yang berusaha menilik kembali perilaku minimalis dan konsumtif masyarakat NTT ditengah kemiskinan akut.

Pada sisi lain, penulis juga berpikiran bahwa kemiskinan yang menguliti masyarakat NTT saat ini bukan hanya terletak pada 'kepincangan' penerapan program pemerintah, melainkan sebab persepsi dan perspektif masyarakat NTT yang masih jauh dari produktif, inovatif dan kreatif.

Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, selain perilaku konsumtif tersebut, pada tataran yang sama dalam konteks sosiologi tradisional (prestise adat istiadat, gensi sosial) lebih dikedepankan ketimbang menegasikan diri pada kegiatan-kegiatan yang lebih produktif.

Sebagai contoh, hampir semua masyarakat di reksa wilayah NTT rela menghabiskan dan menghambur-hamburkan uang puluhan hingga ratusan juta untuk sebuah acara adat, pesta pernikahan/ sekolah maupun acara-acara seremonial lainnya demi motif dan atau gengsi sosial.

"Praktek-praktek seperti inilah yang saya sebut sebagai "pesta pora diatas kemiskinan". Mungkin, biar rating dan pamor keluarga naik ko apa?!".

Karena itu hemat saya, sehebat apapun program pemerintah provinsi/daerah, Jika mental kita sebagai masyarakat masih akrab dengan hal-hal demikian, pasti intepretasinya akan lamban dalam mendongkrak peningkatan kesra dan menumbuhkan daya saing di daerah.

Jika merujuk data yang diolah dari Survei Sosial Ekonomi( Susenas) bulan Maret 2019, jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 1. 146, 32 ribu orang. Jika dibandingkan dengan keadaan pada September 2018, maka jumlah penduduk miskin meningkat sekitar 12,21 ribu orang. Sementara jika dibandingkan lagi dengan keadaan yang sama tahun lalu, yaitu Maret 2018, jumlah penduduk miskin meningkat 4, 15 ribu orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun