Lantas, noise kemudian datang mengusik. Selama 2021 voice yang muncul banyak yang menggelitik. Sebagian dalam bentuk artikel, sebagian lagi dalam bentuk komentar.
Hati tergugah saat membaca tulisan empat seri dari Kners Dewi Puspasari. Menanyakan Kompasiana ada apa (?). Ditambah dengan banyaknya tulisan sebelumnya yang berseliweran tentang K-Rewards dan K-Awards.
Komunikasi dianggap sebagai sumber masalah. Penulis pun merasa demikian, meskipun bukan termasuk Kners yang agresif bertanya. Hanya sekali-dua saja.
"Cinta itu bagaikan jam pasir, ketika hati terisi, otak mulai kosong."
Inilah yang menggambarkan suasana hati penulis dengan banyaknya kritik yang berseliweran tentang admin Kompasiana dan pengelola. Mungkin saja juga mewakili sebagian Kners.
Tapi, tunggu dulu. Otak kosong bukan beratri dungu atau katrok. Otak kosong di sini menandakan emosi. Tidak terbendung, karena ucapan dan kata seringkali tidak sesuai lagi dengan hati.
Jadinya ingat mantan yang dulunya ribut melulu. Cinta tak bersambut, makian pun menyahut.
Namun, seperti komentar penulis pada tulisan Dewi Puspasari. Kners itu militan karena memang K telah dianggap sebagai markas pertahanan suara hati. Benteng literasi untuk berekspresi.
Masih banyak benteng perlindungan lainnya di luar sana. Tapi, Kompasiana memang berbeda. Bukan berarti lebih baik, tapi setiap entiti itu memang unik. Begitu pula di K.
Hati terusik ketika melihat beberapa teori konspirasi. Suara berisik memang nyata, tapi sekali lagi itu adalah bentuk ekspresi yang memang selalu terdengar asyik.
Kompasiana sudah pasti adalah tempat menuangkan seluruh isi kepala yang somplak melalui hati penuh gejolak.