Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alasan Hokkien Menjadi "Bahasa Persatuan" Tionghoa Medan

22 Desember 2021   10:44 Diperbarui: 22 Desember 2021   11:17 2888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alasan Hokkien Menjadi "Bahasa Persatuan" bagi Tionghoa Medan (backdrop: stock.adobe.com / pic: bartzap.com, grid.id, bbc.com, gosipnya.blogspot.com, 

Sejak berteman dengan beberapa orang Tionghoa Medan, diri selalu diliputi dengan sebuah pertanyaan; Mengapa bahasa (dialek) Hokkien bisa menjadi bahasa persatuan di Medan?

Bukan hanya dipahami oleh kalangan Tionghoanya saja, tapi juga teman dari suku Batak, Melayu, bahkan mungkin Jawa atau Ambon yang telah lama bermukim di sana.

Tentu saja, keberadaan bahasa Hokkien tidak dimaksud untuk menyaingi bahasa Indonesia. Yang saya maksud dengan "bahasa persatuan" di sini adalah bahasa sehari-hari. Khusunya di bidang perdagangan yang didominasi oleh orang-orang Tionghoa Indonesia.

Bahkan jargon mata uang yang paling terkenal juga beredar dalam bahasa Hokkien. Sebutkanlah gocap (lima puluh), cepek (serratus), dan cebang (sepuluh ribu). Ini berlaku se-Nusantara.

Dugaan pertamaku, karena kota Medan banyak dipenuhi oleh suku Hokkien perantauan. Tapi, pernyataan Sutopo, sahabat saya dari Medan, membuatku terpana.


Sutopo dari suku Kanton, tetapi ia sekeluarga tidak lagi memahami dialek moyangnya. Lucunya lagi, orang Tionghoa di sana juga merasa penting untuk mengajarkan anak-anaknya berbahasa Hokkien. Menurutnya selain mudah untuk bersosialisasi, juga untuk menjaga tradisi.

"Mau dari suku Kanton, Hakka, Teochiew, semua harus bisa berbahasa Hokkien," pungkas Sutopo.

Sebenarnya asimilasi bahasa daerah itu terjadi secara natural. Namun, menarik untuk melihat mengapa dialek Hokkien itu bisa sangat berpengaruh di kota Medan dan sekitarnya.   

**

Kembali kepada sejarah, saat perantauan Tionghoa pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Nusantara dan Asia Tenggara.

Sebelum awal abad ke-20, gelombang imigrasi tionghoa ke Asia Tenggara berasal dari daerah Minnan yang berlokasi di provinsi Fujian (hokkien) bagian Selatan.

Imigrasi besar-besaran dari Minnan ini seiring dengan invasi Manchu ke Tiongkok, awal terbentuknya Dinasti Qing. Di masa itu orang-orang Minnan terkenal sebagai pendukung Dinasti Ming yang fanatik. Khususnya dari wilayah Chang-cow.

Dengan invasi Manchuria, mereka membentuk perlawanan dalam kelompok bawah tanah yang bernama Tiandihui (Kelompok Langit dan Bumi).  

Di tempat perantauan, mereka mendeklarasikan diri sebagai orang Hokkien. Bahasa yang digunakan tentu saja dialek keseharian mereka, yakni Chang-cow.

**

Perlu diketahui, provinsi Fujian adalah salah satu provinsi terbesar di pesisir selatan Republik China, dengan luas sekitar 121.400 km persegi. Dengan luasnya daerah dan kondisi topografi yang sulit, membuat masyarakat Fujian memiliki budaya dan bahasa yang berbeda-beda.

Fujian Selatan (Minnan) sendiri memiliki tiga wilayah dengan dialek lokal yang tidak persis mirip. Tiga dialek lokal tersebut adalah: Chang-cow, Xia-men, dan Cuan-ciu.

Antara Hokkien Cuan-ciu dan Chang-cow, kemiripannya 80%. Sementara dialek Xia-men adalah pencampuran dari kedua lainnya, dengan 90% kemiripan.

Namun, karena pendatang dari wilayah Chang-cow yang pertama kali mendarat di Asia Tenggara, maka dialek Chang-cow lah yang paling berpengaruh dalam perkembangan bahasa awal diaspora Tionghoa di Indonesia.

Seiring waktu berjalan, datanglah orang-orang Fujian perantauan dari wilayah lainnya. Mereka disebut sebagai Hokkien Hok-ciu dan Heng-hua (Pu-tien). Dengan kedatangan mereka, istilah Sing-khek pun muncul. Arti bahasa Indonesianya adalah "pendatang baru."

Dengan munculnya istilah ini, maka dengan sendirinya pendatang baru ini tidak pantas menyandang gelar sebagai orang Hokkien. Padahal secara geografis dan antropologis, mereka juga adalah suku Hokkien.

Rombongan suku Hokkien Chang-cow ini telah berada jauh sebelum abad ke-17. Komunitas ini berasal dari kelompok pedagang yang memutuskan untuk tidak kembali ke kampung halamannya lagi.

Mereka membaur dengan orang-orang lokal dan membentuk keluarga bersama. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama peranakan, yang berasal dari bahasa Melayu yang artinya "berketurunan."

Tapi, keberadaan mereka baru tercatat dalam sejarah seiring dengan dimulainya masa pendudukan Portugis, Inggris, dan Belanda di Asia Tenggara.

Bukti literasi tentang ini tertulis pada Encyclopaedia van Nederlandsch-Indie. Isinya adalah; "De eerste dier emigranten waren stellig afkomstig uit het departement Chang Chow"

Terjemahannya: "Tak perlu dipungkiri, imigran yang paling awal berasal dari wilayah Chang-cow.

Ada pula beberapa bukti makam yang memperkuat hipotesis ini. Salah satu yang tertua adalah 5 makam di Kelapa Dua Tangerang dari tahun 1661-1670. Tidak bernama tapi tertulis kelahiran Chang-cow.

Selain itu ada juga tiga batu nisan Kapitan Tionghoa dari Banten (1759,1791,1836). Juga 18 Kuburan di Pecinan Barat, 11 di Kasunyatan, Banten (1693-1721), dan dua di Cirebon (1701-1702). Makam-makam yang ditemukan ini, semuanya berasal dari Chang-cow.

Orang Hokkien Chang-cow sendiri adalah pedagang ulung. Kiprah mereka di Malaya hingga Sumatera telah meninggalkan warisan jejak kemahsyuran. Salah satu yang terkenal dari Penang, adalah Souw Beng Kong (1580-1644).

Penang memang memberikan kisah kemahsyurannya tersendiri. Jika Anda pernah berkunjung ke sana, ada warisan dari Lima Marga Besar Hokkien. Kemegahan rumah kongsi mereka begitu memukau, sehingga juga menjadi objek turis.

Kelima rumah kongsi tersebut adalah;

  • Marga Khoo/ Leong San Tong Khoo Kongsi
  • Marga Cheah/ Seh Sek Tong Cheah Kongsi
  • Marga Yeoh/ The Sit Teik Tong Yeoh Kongsi
  • Marga Lim/ Kew Leong Tong Lim Kongsi|
  • Marga Tan/ Eng Chuan Tong Tan Kongsi

**

Sampai di sini kita sudah bisa melihat bagaimana dominasi orang Hokkien Chang-cow di Asia Tenggara. Mereka telah hadir sejak abad 17-18 dan terus berkiprah.

Mereka adalah Crazy Rich Peranakan yang memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat. Mereka menjadi panutan, andalan, bahkan impian bagi setiap pendatang yang berada di sana. Apapun sukunya.

Termasuk mengikuti gaya berbahasa mereka yang menggunakan dialek Chang-cow bahasa Hokkien. Keren gayanya. Mungkin mirip kemingrisan di zaman sekarang.

Kontribusi mereka terhadap ekonomi tidak main-main. Pada pertengahan abad ke-19, Penang telah menjadi pusat perdagangan yang penting di Asia Tenggara.

Para pesohor ini menjadikan Penang sebagai bandar distribusi dan pusat perdagangan bagi Malaya dan sekitarnya. Mereka memiliki segalanya, mulai dari beras, gula, minyak, pakaian.

Mereka menjadi pemasok utama bagi pertambangan Timah di Phuket dan juga Perak. Mereka memiliki perkebunan tembakau di Medan. Mereka juga mengekspor berbagai hasil bumi dari olahan ratusan hektar perkebunannya. Bahkan, mereka juga terlibat dalam perdagangan opium yang legal.

Para lingkar elit ini memiliki kedekatan dengan lingkar kekuasaan. Di zaman kolonial, mereka mampu memantapkan diri sebagai penguasa-penguasa lokal.

Tidak sebagai kapitan di Penang saja, tapi juga berhasil memonopoli perkebunan dan perdagangan. Mulai dari Sumatera, Kedah, hingga Siam (Thailand).

Kelompok persaudaraan ini begitu besarnya, sehingga persaingan pun terasa susah. Para saudagar ini tidak segan-segan melakukan ekspansi dan agresi terhadap siapa pun yang dianggap lawan.

Hokkien Chang-cow juga memiliki jaringan sesama teman sekampung yang berhasil membentuk komunitas besar di berbagai tempat, antara lain; Melaka, Batavia, Cirebon, Banten, hingga Banjarmasin.

**

Penang bukan hanya pusat perdagangan saja, tapi mereka adalah pemasok kuli kontrak yang diimpor dari China. Para pekerja kasar ini kebanyakan berasal dari Guang-zhou dengan mayoritas etnis Theocew, Kanton, dan Hakka.

Para etnis lainnya yang datang belakangan dijadikan "budak pekerja" dan diperjual belikan kepada sesama saudagar dan juga pemerintah kolonial.

Konon dalam kurun waktu 1880-1890, elit Hokkien ini telah memiliki lebih dari seratus ribuan imigran yang disebar ke seantero wilayah Asia Tenggara.

Kisah ini sedikit menjawab pertanyaanku dan pernyataan Sutopo bahwa "Mau dari suku Kanton, Hakka, Teochiew, semua harus bisa berbahasa Hokkien."

Kekuasaan adalah jawabannya. Meskipun Hokkien jumlahnya lebih kecil dari suku lainnya, dialek Chang-cow tetap dianggap sebagai lingua franca bagi para pendatang Tionghoa.

Namun, ada hal yang lebih menarik lagi. Menurut ayah yang mahir berbahasa Hokkien, bahasa Hokkien orang Makassar lebih halus dan sama dengan dialek yang digunakan di Taiwan.

Ayah mengatakan bahwa bahasa Hokkien Medan adalah bahasa kasar yang tidak murni lagi. Sebagai bukti, ia mengatakan bahwa orang Taiwan masih mengenal tulisan yang berasosiasi dengan bahasa Hokkien. Sementara Hokkien Medan tidak ada tulisannya. Alias buta huruf.

Ternyata memang bahasa itu berevolusi. Dialek "hokkien kasar" yang dimaksud ayah ini adalah hasil percampuran dari dialek Hokkien asli, bahasa pribumi Melayu, hingga kosakata yang diperkenalkan oleh para pendatang dari suku non-hokkien. Makanya tidak ada bahasa tulisnya, bisa dimaklumi.

Hokkien "abal-abal" ini telah menjadi sub-dialek Hokkien yang merupakan cerminan kompromi dan pembauran dari berbagai komunitas yang eksis di masanya.

**

Tingginya mobilitas para pedagang Hokkien ini juga memberikan pengaruh tidak langsung bagi para imigran Tionghoa di berbagai tempat, termasuk di Medan.

Pada abad ke-19, Medan yang dulunya bernama Tanah Deli adalah pusat perkebunan tembakau. Pemerintah kolonial Belanda kemudian turut bertanggung jawab untuk pembangunan ekonomi di sana.

Pembangunan pusat pemerintahan hingga rel kereta api memerlukan jaringan orang Tionghoa sebagai pemasok keperluan, komoditas, dan kuli kontrak yang berpengalaman.

Adalah keluarga Tjong A Fie, saudagar terkenal dari Medan. Ialah yang memiliki kedekatan dengan para pesohor dari Penang. Jadilah ia menjadi penguasa swasta lokal.

Jejak-jejak kemahsyuran Tjong A Fie ini masih bisa ditemukan di Jalan Ahmad Yani, Medan dalam bentuk rumah dua lantai.

Meskipun dari berasal dari suku Hakka, namun dalam kesehariannya, Tjong A Fie dan keluarganya telah terbiasa menggunakan dialek Hokkien. Hal ini penting untuk menjaga kedekatan jaringan dengan para bos-bos dari Penang.  

Ditambah lagi dengan berkembangnya ekonomi di Medan, tidak sedikit pula para keturunan Hokkien dari Penang dan berbagai tempat di Malaya yang hijrah ke Tanah Deli ini.

Dengan sendirinya, Kota Medan menjadi "medan pertempuran" yang sengit di antara para pedagang yang hebat. Menurut saya, faktor sejarah ini yang sedikit-banyak telah mempengaruhi etos kerja para pedagang Tionghoa Medan.

Selain Tjong A Fie, adalagi beberapa nama besar orang Tionghoa yang berasal dari rumpun yang sama. Sebutkanlah; 1) Khoe Tjin Tek (1876-1896), Cheah Soon Heng (1848-1912), Yew Say Kheng (-1930), Cheah Choo Yew (1841-1931), Khoo Cheow Teong (1840-1916), dan Quah Beng Kee (1872-1952).

Kamu, kamu, dan kamu bisa menyusur rekam jejaknya di dunia maya. Betapa pengaruh mereka ternyata sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara, terkhusus di Malaya dan Sumatera.  

Dan yang terpenting, para tokoh ini telah setuju (tanpa formalitas) untuk menggunakan dialek Hokkien Chang-cow sebagai "bahasa pemersatu."

**

Di zaman Soeharto, penggunaan bahasa Indonesia menjadi salah satu hal yang paling wajib. Saya bisa merasakannya sendiri di Makassar, bagaimana generation gap membuat bahasa Mandarin yang sebelumnya adalah lingua franca bagi para pedagang Tionghoa Makassar, kini lenyap sudah.

Tapi, tidak di Medan. Menurut Sutopo, orang Medan susah-susah diatur. Namun, saya punya teori tersendiri. Bisa saja orang Tionghoa Medan sudah tidak perlu bahasa persatuan lagi. Dialek Hokkien Medan telah menjadi simbol kesatuan bagi mereka.

Dengan berbahasa Hokkien, orang-orang Tionghoa Medan tidak akan kehilangan identitas mereka sebagai bangsa Indonesia. Dengan dialek Hokkien yang berseliweran, kota Medan telah mampu bertransformasi menjadi kota Metropolitan.

**

Pada akhirnya, bahasa Hokkien Medan telah menjadi penutur sejarah terhadap bagaimana bangsa ini terbentuk. Pembauran yang berlapis-lapis, evolusi budaya tipis-tipis, hingga sejarah tumbuh kembangnya satu bangsa yang dinamis. Semuanya tertaut dalam bahasa Hokkien Medan.

Bahasa Hokkien Medan telah menjadi bahasa daerah. Ia telah ada jauh sebelum bahasa menjadi Indonesia. Ia telah ada berabad-abad sebelum Indonesia menjadi Indonesia.

Jadi, besok-besok, jika kamu, kamu, dan kamu ke Medan. Ingatlah bahwa bakpao, bakpia, bakso, angpao, hingga bokek adalah serapan dari bahasa Hokkien.

Belajarlah dari sekarang, asal jangan sampai keplesetan kata "pukimak." Eh...

Referensi: 1 2 3 

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun