Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Umat Buddha Tidak Membunuh Nyamuk?

10 Mei 2021   06:27 Diperbarui: 24 Mei 2021   17:26 4131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa Umat Buddha Tidak Membunuh Nyamuk? (kompas.com)

Saya melontarkan pertanyaan ini kepada para siswa agama Buddha, dalam acara Pembinaan Moderasi Beragama, yang diselenggarakan oleh Pembimbing Masyarakat Buddha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulsel.

"Anak-anak, ada yang suka membunuh nyamuk di sini?" Suasana hening, artinya tidak ada.

"Nah, kalau begitu, siapa yang tidak punya obat nyamuk di rumah?" Suasana masih hening, artinya tidak ada.

Ini adalah sebuah pertanyaan sederhana, tapi kadang sulit dijawab. Mengapa bagi Umat Buddha, membunuh makhluk hidup, termasuk hewan dan para serangga adalah kesalahan?

Tentu para siswa sudah memahami, bahwa tidak membunuh adalah bagian dari Pancasila Buddhis, atau lima moral (sila) yang harus dipatuhi oleh umat Buddha.

Keempat sila lainnya adalah tidak mencuri, berzinah, berbohong, dan mabuk-mabukan.

Namun, dalam prakteknya susah untuk tidak dilakukan. Bayangkan jika kamar dipenuhi nyamuk. Pilihannya hanya dua. Semprot obat nyamuk atau tidak tidur semalaman.

Kalau aku sih, pilih yang pertama. Lah, bagaimana dengan sila pertama, tidak membunuh mahluk hidup? Boro-boro dipikirin, yang penting diriku tidur nyenyak malam ini.

Lha, tidak takut?

Seorang "bijak" pernah berkata kepadaku. Kalau bunuh nyamuk, nanti kamu akan terlahir sebagai nyamuk.

Bodo amat. Kalau memang demikian, ya udah. Aku bunuh raja saja, biar nanti akan terlahir sebagai raja.

Orang "bijak" lainnya juga pernah berkata. Nyamuk itu bisa bereinkarnasi. Andai ia terlahir sebagai monster Godzilla, kita tinggal menunggu waktu dimangsanya.

Bodo amat. Kalau memang demikian, aku juga bisa bereinkarnasi menjadi King Kong. Tunggu pembalasanku!

Mungkin setelah ini, saya akan digebukin umat Buddha sekampung. Mempromosikan pembunuhan di Kompasiana. Tapi, kemunafikan juga kesalahan. Hidup adalah pilihan. Sebagaimana menyemprot atau tidak tidur semalaman.

Nah, sebenarnya pelaksanaan Pancasila Buddhis adalah latihan kemoralan. Demikian juga mengenai aturan tidak membunuh. Bukan karena hak azasi nyamuk, tapi semuanya demi diri kita sendiri.

Seperti apakah itu?

Makna pelatihan sendiri berarti mempermahir sesuatu. Jika kita sudah terbiasa berlari 10 kilometer tanpa henti, berjalan kaki satu kilometer akan terasa mudah. Jika kita sudah terbiasa angkat beban 30 kilo, maka 5 kilo sudah terasa biasa.

Latihan untuk tidak membunuh nyamuk dan sejenisnya, tujuannya untuk mempermahir empat sifat luhur dalam diri kita, yaitu;

Keseimbangan Batin (Upekha), Simpati/Empati (Mudita Citta), Cinta Kasih (Metta), dan Welas Asih (Karuna). Keempat Sifat Luhur ini disebut dengan Brahma-vihara.

Upekkha (Keseimbangan Batin)

Menyadari bahwa nyamuk juga adalah makhluk hidup. Ia ada di sekitar kita. Ia juga butuh makan layaknya manusia. Ia adalah makhluk kecil yang kurang berdaya di tengah-tengah superiotas kita.

Dengan mengembangkan sikap ini, bukan berarti kita menghargai nyamuk. Namun, akan membantu diri kita untuk menghargai kehidupan. Ciptaan Tuhan yang beraneka ragam.

Sikap ini membantu kita untuk mengembangkan sikap "nrimo." Menerima kenyataan hidup tanpa harus bersikap marah atau emosi.

Empati dan Simpati (Mudita Citta)

Halusnya begini, latihan tidak membunuh nyamuk adalah cara melatih diri untuk berempati terhadap kehidupan. Kasarnya begini, nyamuk saja enggan ditepuk, apalagi manusia yang lebih bernilai.

Dengan berempati terhadap kehidupan, manusia akan menumbuhkan sifat toleransinya. Menghargai seluruh makhluk tanpa membedakan jati dirinya.

Cinta Kasih (Metta)

Nyamuk tidak perlu dicintai, ia tak memiliki hati. Namun, nyamuk bisa melambangkan kehidupan. Mencintai nyamuk artinya mencintai kehidupan.

Orang yang mencintai kehidupan cenderung menjadi orang yang pemaaf. Menyelesaikan masalah tanpa harus "melenyapkan" kehidupan. Menyelesaikan konflik dengan saling memahami.

Bukankah semua indah jika kita hidup dalam perdamaian?  

Welas Asih (Karuna)

Mengembangkan cinta kasih akan melatih diri kita menjadi orang yang penyayang. Di saat yang sama, juga berlatih untuk menjauhi kebencian yang menjadi dasar dari segala kejahatan.

Pada saat sikap ini sudah terbentuk, maka diri kita akan mampu melihat semua hal dari sisi positif.

Mengembangkan kesadaran bahwa setiap orang pasti memiliki alasannya sendiri. Dan di saat yang sama melihat situasi, tanpa harus membenci. Bagaikan kasih seorang ibu kepada anaknya yang tunggal.

Jika seseorang bisa mengembangkan sikap ini, maka ia akan terhindar dari sikap bermusuhan. Karena pada dasarnya, musuh terbesar manusia adalah diri kita sendiri.

Sebab Akibat

Sebuah perbuatan berasal dari keinginan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang lama, maka muncullah kebiasaan.

Membunuh nyamuk adalah kebiasaan. Tersebab solusi yang paling mudah agar bisa tidur nyenyak adalah dengan membunuhnya. 

Nah, sekarang tikus mulai datang menyerang. Seluruh perabotan rumah rusak digigitnya. Solusinya? Racun tikus yang bisa membunuh. Itu adalah kebiasaan yang umum dilakukan. 

Setelah nyamuk dan tikus beres, kini tetangga datang menyerang. Semuanya dikepoin. Dari urusan kerja hingga urusan rumah tangga. Serangan nyamuk dan tikus takada artinya. Sakitnya tuh, di sini.

Solusinya? Kalau bisa dibunuh saja! Eits, jelas tidak mungkin. Membunuh manusia itu biadab, tidak bisa dimaafkan, ada KUHP-nya, neraka hukumannya.

Membunuh nyamuk memang kelihatannya sederhana. Tapi jika terus menerus dikembangkan, maka tanpa kita sadari akan menumbuhkan jiwa pembunuh dalam diri kita.

Konon ada juga tetangga yang membunuh tetangga. Penyebabnya? Masalah sepele. Mungkin karena ketersinggungan, mungkin karena utang, mungkin juga karena kedengkian.

Nah, jika diurut, semuanya berasal dari kebiasaan. Jangan sampai sikap yang "sedikit-sedikit melenyapkan" itu sudah menjadi kebiasaan yang tak kita sadari.

Membiasakan diri untuk tidak membunuh makhluk hidup, akan melatih diri untuk menekan sifat "pembunuh" dalam diri kita.

Apa hubungannya dengan moderasi Agama?

Nyamuk yang merupakan serangga kecil yang menjengkelkan saja enggan dibunuh. Apakah perbedaan suku, agama, dan ras masih menjadi masalah?

Lantas bagaimana jika sang nyamuk terus mengganggu? "Lenyapkanlah" tanpa kebencian, karena kita juga butuh tidur yang nyenyak.

Semoga Seluruh Mahluk Hidup Berbahagia.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun