Yang salah menjadi manusia sepertinya adalah tidak adanya keberanian. Namun apakah keberanian itu harus kuat menanggung malu ketika cinta itu tidak terbalas?Â
Tentu Bani bukanlah pribadi yang kuat, hanya saja ketika ia sudah malu dalam menjadi dirinya yang ingin mencinta orang lain dan ditolak, ia bahkan tidak akan pernah mempunyai kuasa untuk tetap berteman dengannya.Â
Misalnya: "jika ada gebetannya dan ia tertolak sebagaiamana hal yang sangat tidak diinginkannya".
Merasa bersalah dan mengapa itu terjadi? Adalah pertanyaan Bani pada dirinya sendiri, tetapi jika memang manusia harus mencintai orang yang salah terlebih dahulu, apakah mencintai orang yang benar akan menjadi kenyataan di hari berikutnya?
Tentang pikiran manusia yang terus bertrasformasi melihat konteks jaman, bahkan untuk mencinta secara apa adanya saja sulit, apakah cinta sendiri tidak akan pernah menuntut?
Ya benar, inilah yang terkadang menjadi wacana pemikiran Bani, apakah ada dalam kesejatian cinta yang bermodal hanya ketertarikan saja?
Pernah Bani berkata dan bertanya pada wanita; tetapi Bani sendiri masih agak riskan membuktikan bahwa itulah kebenarannya. Bani bertanya, apa yang menjadi tolak ukur wanita dalam suatu ketertarikannya terhadap pria?Â
Ia: wanita itu menjawab; fisik. Mungkinkah hanya fisik, atau embel-embel nyaman, nyambung, dan segala macamnya yang terlihat remeh itu faktor krusial?
Itu semua bukan hanya  sedang dicari kebenaranya oleh Bani, tetapi apakah itu sudah cukup merepresentasi ketertarikan wanita terhadap pria?Â
Membingungkan, ibarat tesis yang tidak pernah selsai yaitu; perkara antara pria dan wanita dalam memandang ketertarikan, kekaguman, bahkan cinta itu sendiri yang justru ditunggu setiap orang. Â Â
Bani bukan tidak mampu menunujukan sebagai yang menarik itu; Pria sensitive memang bebal, ya kebebalan itu merupakan pria-pria dengan terus berpikir akan dirinya sendiri. Apakah ia pantas dengan yang mereka kagumi itu? yang dicintai?