Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mimpi, Kuliah, dan Sebuah Kesalahan

21 Mei 2020   12:15 Diperbarui: 21 Mei 2020   18:28 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: civimi.com

Apa yang benar-benar harus dipandang dalam hidup ini, seperti yang akan berlalu pada akhirnya. Mimpi-mimpi seperti buaiyan imajinasi semu manusia di dalammnya. Apakah benar mimpi-mimpi itu benar ada bagi manusia? Terangan, mimpi hanyalah ada di dalam angan-angan manusia.

Inilah yang bukan saja akan menjadi problematika bagi manusia dengan pertanyaannya itu, tetapi Saya di dalammnya juga mendambakaannya mimpi-mimpi tersebut, supaya tercapai segala apapun yang menjadi cita-cita saya. Namun pertanyaannya: setidaknya seperti apa? Dan ada di mana mimpi-mimpi itu, untuk orang-orang dapat mencari dan mewujudkannya?

Kebuntuan akan mimpi dan akan hidup itu sendiri, seperti akan menjadi hal yang tampak di hari depan semua manusia. Lalu lalang orang dengan membawa tas itu, sungguh-sungguh pertanda masuk di sebuah gedung kuliah (kampus), apakah mereka sedang mencari mimpi-mimpinya sendiri di balik catatan-catatan yang akan memenuhi bungkus-bungkus tempe atau gorengan di pinggir jalan nantinya?

"Ini bukan saja perkara nasib yang akan manusia cari dan wujudkan, tetapi juga apa yang mereka ingini sebagai bahan dari manusia mencari segala macam bentuk dari mimpi-mimpinya tersebut, supaya menjadi nyata dalam cita di waktu kehidupannnya".

Namun dengan Ijazah atau gelar berderet-deret yang mereka punya, apakah tidak untuk hiasan saja sebagaimana baju yang disimpan di lemari pojok belakang rumah? Atau buku-buku di perpustakaan kampus yang jarang dibaca oleh mahasiswanya, alih-alih dibaca; karena ada kepentingan skripsi harus memuat referensi buku bacaan? Jadi untuk apa buku-buku itu ada? Tetapi akan matikah buku itu dalam lingkungan sekolah, yang hanya memenuhi estalase perpustakaan yang jarang terkunjungi, kini termakan asyiknya membaca-baca artikel di smartphone mereka?

Menjadi sangkalan yang tidak dapat ditampik, jalan panjang menuju kampus tahun 2013 yang lalu, saya seperti menggebu dalam mimipinya bahwa, saya harus dapat kuliah karena saya telah mempunyai ijazah paket C, yang saya dapat dari ujian kesetaraan di Sawangan, Depok, Jawa Barat waktu itu; diselah-selah bekerja di tanah perantauan yang jauh dari kampung saya di Cilacap.

Bukan untuk menjadi mahasiswa terpintar, bukan pula untuk kepuasan gelar yang ada, tetapi motivasi itu datang salah satunya adalah: saya harus kuliah karena penasaran dengan bangku kuliah, seperti apakah orang kuliah itu, mungkinkah menjadi manusia kuliah sudah secara otomatis akan naik kelas sosialnya? Atau dengan pemenuhan-pemenuhan ekonomi di sana, haruskah manusia "kuliah" untuk transaksi dalam negosiasi gaji mereka di perusahaan, tempat mereka akan bekerja nantinya?

Ataukah  manusia harus belajar sebagai manusia "kuliah" untuk memenuhi nasib mereka di masa depan agar lebih baik, dalam arti lebih terpadang di dunia masyarakat sosial mereka.

Tentu nasib baik bukan hanya akan menimbulkan ketertarikan semua orang, lebih dari itu; kamu sebagai manusia, juga akan menjadi manusia "pilihan" itu, bukan hanya dari sudut pandang wanita, tetapi orangtua wanita yakni; para calon mertua, yang mengidolakan anak-anaknya tidak hidup di bawah garis kemiskinan itu. Karena bagi manusia modern, kemiskinanan adalah neraka!

Memang tidak dapat disangkal, di negeri kapitalis seperti Indonesia ini, tidak peduli seorang manusia lahir di desa maupun di kota. Semua serba transaksional, tidak bebas rasanya orang mewujudkan cinta. 

Kalau mencintai itu urusan lain, apakah secara otomatis mencintai dapat diterima oleh yang dicintai? Tentu tidak, maka dari itu jika mencintai saja tidak bebas, hapuslah cinta dari muka bumi ini, supaya cinta juga tidak menjadi belenggu selanjutnya bagi manusia yang secara tidak sadar manusia saat ini juga terbelenggu kebahagaiaannya karena motif ekonomi yang harus mereka penuhi termasuk; memenuhkan cintanya sendiri lewat bangunan-bangunan karir yang cemerlang atau anak dari orang kaya yang tajir melintir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun