Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hikayat Kristen Kejawen

2 November 2019   14:08 Diperbarui: 3 November 2019   13:32 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti telah menjadi jalan dari suatu pencarian itu, apakah harus menjadi atheis untuk mengenal indahnya agama atau sebaliknya tidak mengenal agama untuk mengetahui indahnya atheisme?

Yang telah lelah untuk berjalan, adakalanya hidup tanpa beban kesalehan sangat memungkinkan bagi manusia. Tetapi jika dirasa, apakah tidak akan rindu juga melakukan ritual-ritual sebagai mana banyak manusia lakukan disana? Berkumpul dan menjadi suatu komunitas yang kita "manusia" memandang hidup ini secara bersama-sama dalam satu bingkai kepercayaan.

Malam yang indah tertelusuri di Kota Cilacap, namun disudut rumah ibadah itu tepat di pelataran bangunannya tertulis, Gereja Kristen Jawa tempat ibadah orang-orang kristiani bermazab kebudayaan Jawa.

"Aku iki Pepadhaning Jagad" atau: "Aku ini Penerang Dunia" merupakan tulisan besar yang  terdapat di tampak depan Gereja Kristen Jawa kota Cilacap . Bagi saya tulisan seperti ini bukan hanya membuat penasaran, tetapi juga ingin mengenal lebih jauh sejarah dan berbagai ide-ide kekristenan yang dipadukan dengan budaya Jawa (kejawen).

Tanah Jawa memang tempatnya berkumpul semua agama dunia. Meskipun Jawa sendiri sebelum datangnya berbagai ajaran agama dunia sudah memiliki sistem ajaran falsafah sendiri yakni; Kejewen Kapitayan (kepercayaan). Tetapi menjadi manusia Jawa sendiri berarti menjadi mengerti dan menerima ajaran apapun yang baik untuknya.

Manusia Jawa tidak kaku, mereka menerima apapun ajaran yang diajarkan oleh siapapun termasuk agama-agama yang masuk ke Tanah Jawa. Namun setiap perkembangannya di Jawa itu sendiri, agama-agama yang datang ke tanah Jawa tetap autentik Jawa. Maka tidak heran bila setiap agama dikemas juga dengan budaya Jawa (kejawen) misalnya; Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Bubdha Kejawen dan Kristen Kejawen.   

Tetapi dalam perkembangan budaya Jawa itu sendiri, juga dengan bagaimana moderenitas kini yang sedang melanda tanah Jawa. Tidak jarang karena terus melemahnya kebudayaan Jawa ditanah "Jawa" justru dari berbagai agama tersebut mengalami pemurnian-pemurnian yang kenyataannya semakin jauh dengan budaya Jawa itu sendiri.

Mereka "agama" cenderung berkiblat langsung pada asal-muasal daerah dimana ajaran  mereka dibawa pada awalnya; misalnya di Jawa kebudayaannya "Jawa" sudah banyak tergerus budaya-budaya dari luar Jawa sendiri yang berasaskan agama tertentu sebagai bawaan dari budaya-budaya daerah asal ajaran tersebut, bahkan tidak jarang budaya luar itu ditinggikan saat ini.

"Karena yang menjadi ukuran dalam menjadi beragama saat ini bagi manusia Jawa adalah menjadi berbudaya dari mana agama itu dibawa. Semakin mirip budaya dengan mereka semakin menjunjukan kesalehannya sebagai manusia beragama".     

Saya kira ini terjadi juga karena budaya Jawa dianggap kuno oleh mereka-mereka yang hidup dalam moderintas. Mereka cenderung tidak peduli dengan budaya leluhurnya sendiri. Oleh sebab itu justru: apa yang dianutnya sebagai agama oleh orang Jawa kini bertolak belakang dengan apa yang diajarkan leluhurnya sendiri sebagai suatu kearifan yang mereka harus jaga sebagai wadah bermasyarakat itu sendiri sesuai dengan keselarasan semesta di tanah Jawa. Sebab bagi manusia Jawa; bermasyarakat bukan hanya dengan manusia, tetapi alam, binatang dan semua mahkluk ciptaan-Nya

Memang berbagai pengetahuan termasuk ajaran agama sendiri akan terus berkembang. Karena sejatinya manusia adalah mahkluk pencari pengetahuan, tetapi yang patut untuk dipertanyakan itu, apakah sesuatu pengetahuan itu harus dicari keluar; dalam arti mempelajari budaya luar bukan budaya dalam yakni; berbagai ajaran leluhurnya sendiri terlebih dahulu untuk dipelajari sehingga kita tidak kehilangan akar kita sendiri sebagai manusia?

Inilah yang kini terjadi di tanah Jawa, tentang cara belajar manusia Jawa itu sendiri yang; mereka belajar jauh-jauh terlebih dahulu  tetapi berbagai kearifan dan nilai-nilai hidup (filsafat) berdasarkan kearifan leluhur mereka di kesampingkan, bahkan tidak jarang mereka juga menganggap bahwa; ajaran leluhur adalah sesat!

Tetapi apakah mungkin ketika manusia kehilangan budayanya sendiri yang leluhur itu turunkan menjadi warisan, kita sebagai yang kini terasing dari budaya leluhur, tidak ada daya upaya untuk mencarinya? Inilah mengapa: "Aku iki Pepadhanging Jagad" menarik sebagai nilai keagamaan sendiri yang masih eksis ditanah Jawa yakni; Kekristenan ala kejawen (budaya Jawa). Tentu sejarah dan ide-idenya selalu mengundang tanya bagi mereka yang ingin api budaya dalam hal ini "Jawa" menyala abadi sebagai warisan pengetahuan bagi manusia Jawa saat ini maupun dimasa depan.

Wewarah "Kiai Ibrahim Tunggul Wulung" dikembangkan "Kiai Sadrach"

 

img-20190224-wa0015-5dbd29b9d541df1c8941fb32.jpg
img-20190224-wa0015-5dbd29b9d541df1c8941fb32.jpg

Sumber gambar: "Kiai Ibrahim Tunggulwulung"  cakrawalacyber.blogspot.com

Dengan berbagai agama yang ada di dunia, saya yakin muara dari berbagai ajaran agama tersebut adalah untuk mencapai titik spiritualitas. Tentu titik spiritualitas tersebut agar manusia bukan hanya akan menjadi rahmat bagi pribadi, tetapi juga rahmat bagi keluarga, sesama manusia, dan alam semesta seperti ungkapan bahwa; manusia adalah cahaya "penerang" bagi semesta.

Kiai Sadrach tentu bukan satu-satunya orang dalam membakali cikal dari bakal Kristen Kejawen tersebut. Saya kira untuk menjadi cahaya bagi semseta manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia harus menyatu bahkan saling berbagi pengetahuan hidup antar sesama manusia agar dunia aman, tentram, dan damai seperti surga yang banyak manusia impikan.

Perjumpaan Kiai Sadrach dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung adalah tonggak dimana cahaya bagi semesta itu mulai timbul. Berbekal satu asal daerah yang sama, mereka bukan hanya berdebat tentang bagaimana sisi dari spiritual masing-masing, tetapi juga didalam diskusi perdebatan itu mencari jalan yang cocok untuk; bukan hanya dirinya tetapi juga umat manusia didalamnya yakni; "Manusia Jawa untuk melalui jalan sebagai kristus bagi dirinya sendiri yang akhirnya ketika dirinya sendiri sudah tercerahkan dapat pula mencerahkan orang lain".

Melalui katekisasi atau masa sebelum seorang umat Kristiani menerima baptisan. Kiai Sadrach mendapat bimbingan-bimbingan yang mendasar mengenai Kekristenan oleh pemimpin agamanya (biasanya seorang Pendeta atau Pastor) kala itu yaitu; Kiai Ibrahim Tunggul Wulung itu sendiri yang mem-baptis Kiai Sadrach.

"Katekisasi sendiri merupakan bentuk pembinaan iman dalam gereja yang memiliki latar belakang sejarah sangat kuat dalam tradisi keagamaan orang Israel dalam perjanjian lama maupun dalam hidup jemaat mula-mula di perjanjian baru".

Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dalam pengelanaannya mencari agama yang ideal bagi dirinya juga bukan tidak mudah dan begitu saja. Sejatinya Kiai Tunggul Wulung sendiri adalah seorang manusia kebatinan yang melalui jalan hidup sebagai seorang pertapa. Pada saat pertapaannya di Gunung Kelud, kiai Ibrahim Tunggul Wulung menemukan sepuluh potong kertas hukum allah.  Kiai Ibrahim Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen dengan cara yang tidak diketahui dengan pasti tetapi baik di Ngoro maupun Mojowarno letaknya tidak jauh dari Gunung Kelud dan pada tahun-tahun 1840-an agama Kristen sudah cukup terkenal di kalangan penganut kebatinan..

Berdasar dari seorang kebatinan Jawa; Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun menjadi pengikut utusan Injil Eropa. Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan bahwa lelagon (nyanyian), tata panembah (upacara), cara panganggo (cara berpakaian), nanggap lan nonton wayang (ikut serta dalam pertunjukkan wayang), bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menyebut tempat ibadahnya sebagai masjid dan menciptakan rapal baru yang bercorak Kristen.

Metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung adalah melalui jejagongan (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja) sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato-pidato ataupun ceramah seperti yang dilakukan oleh para penginjil Eropa.

Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui debat ngelmu. Metode-metode tersebut kemudian diadopsi oleh Kiai Sadrach yang adalah murid dari Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan bahkan mampu membangun jemaat yang lebih besar daripada yang dilakukan oleh Tunggul Wulung dan menamainya sebagai Golongan Wong Kristen Kang Mardika yang dapat diartikan sebagai kelompok orang-orang Kristen yang bebas.

50gkj-large-5dbd29f7d541df20997ba262.jpg
50gkj-large-5dbd29f7d541df20997ba262.jpg

Sumber gambar: "Kiai Sadrach" historia.id

Kebebasan dalam beragama, mungkin ini yang di idealkan keduannya antara Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan Kiai Sadrah. Jika Kiai Ibrahim Tunggul Wulung berdasar kebatinan berbeda dengan  Kiai Sadrah yang berdasar dari anak pesantren yang notabnenya muslim kejawen pada saat itu sebelum dirinya di baptis oleh Kiai Ibrahim Tunggul wulung.

Tetapi mengacu pada bagaimana di tahun-tahun tersebut sekitar abad ke-19 dimana diberbagai pokok Serat Wedhatama pemikiran Mangkunegara IV yang bukan saja kritis terhadap moralitas manusia tetapi juga kritis pada agama yang diantut keberagamaannya oleh manusia Jawa sendiri yang justru kebudayaan Jawa cenderung ditinggalkan.

"Jelaslah filsafat Jawa mengendalikan cara berfikir kebudayaan masyarakat Jawa. Di balik kebudayaan ditemukan filsafat. Perbedaan kebudayaan dikembalikan kepada perbedaan filsafat. Karena setiap manusia memiliki filsafat yang berbeda, apalagi kelompok atau masyarakat, tentunya akan berbeda filsafatnya".

Mungkin di abad-abad inilah "abad ke-19" seperti Kiai Ibrahim Tunggul wulung dan Kiai Sadrach bahkan Mangkunegara IV yang peduli akan kebudayaan Jawa bersama dengan filsafat-filsafatnya mengidealkan: "Kita manusia Jawa bebas beragama apapun tetapi perlu diingat kearifan kebudayaan dalam hal ini Jawa dengan berbagai nilai-nilai filsafatnya tetap menjadi sebuah pedoman, dimana saat kebudayaan hilang bersama nilai filosofinya manusia Jawa tidak akan dapat menjadi Jawa lagi karena mereka terlepas dari akarnya kebudayaannya sendiri".

Bersama dengan gelombang besar perkembangan agama seperti Islam dan Kristen yang masuk ke tanah Jawa di abad ke-19 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung serta Kiai Sadrach menyebar ajaran Kristus lewat jalan kebudayaan, ngelmu dan kearifan lokal yang justru membuat jemaat Kristen Jawa jauh lebih besar jumlahnya dibanding jemaat Kristen yang dihimpun oleh para penginjil Barat.

Tetapi dengan pemikiran yang terus berkembang dan moderitas saat ini di tanah Jawa. Kebudayaan, agama dan filsafat cenderung dibagi-bagi. Kini banyak orang menganggap bahwa mereka terpisah antara kebudayaan, agama dan filsafat. "Tuhan menentukan nilai melalui agama. Manusia menentukan nilai melalui filsafat. Kebudayaan berpangkal pada manusia, maka yang menentukan kebudayaan adalah filsafat".

Agama, Kebudayaan, dan filsafat merupakan ruang yang sama berpangkal untuk mencapai spiritualitas manusia. Seharusnya sebagai manusia Jawa memang harus beragama sekaligus berbudaya sebagai kejawen itu sendiri. Tentu supaya kearifan (filosofi) bagaimana harus memandang hidup bermasyarakat, berdampingan dengan alam, dan juga dengan mahluk-makluk ciptaan-Nya, tidak semakin jauh terdegradsi karena manusia Jawa semakin tersing dengan kebudayaannya sendiri, yang leluhur sudah bangun dikehidupan sebelumnya. 

"Manusia jawa memang harus beragama sekaligus berbudaya sehingga mereka tetap mengenal filosofi-filosofi kehidupan yang leluhur ciptakan untuk generasinya".

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun