Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Desa, Kota, dan Manusia

22 Oktober 2019   17:20 Diperbarui: 29 Oktober 2019   09:21 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: mpi.muhammadiyah.or.id

Tentang yang banyak orang katakan sebagai: "Tidak pas dengan prinsip atau tujuan hidup yang mereka terapkan. Tetapi yang tergambar dalam angan, adakah mereka tahu secara pasti bahkan mungkin gamblang apa yang ditujunya sendiri?

Sesekali aku ingin menggambarkan, perubahan adalah waktu, dan saat; disanalah memanggil untuk dituju. Tempat-tempat yang terkujung, aku tidak ingin menetapkan untuk tetap terus aku kunjungi.

Namun, dengan berbagai sebab itu, apakah benar ada sesuatu yang harus manusia itu tolak dikala: ia " manusia" harus berjalan apa adanya sebagai manusia yang butuh akan kehidupan itu?

Wacana dan menjadi wacana; ia bukan saja dapat membuat manusia menjadi puyeng didalamnya. Mereka manusia berwacana terkadang bingung sendiri memandang dunianya. Bahkan jika mau untuk berpikir dan mengkaji lebih dalam kembali, mereka manusia pemikir: hidup akan terus didalam pemikirannya sendiri.

"Manusia pemikir: "berjalanlah tanpa sebab. Karena sebab tidak akan menunjukanmu bagaimana menjadi dirimu sendiri secara utuh. Perjalanan ibaratkan air dari sumber, biarkan ia berjalan bagaimana: ia sendiri ingin dan akan diarahakan untuk berjalan".

Tentang tujuan, bukankah hidup manusia ini dari kosong untuk di isi, dan sebagai isi itu sendiri; hanya saat dan waktu yang dapat menjawabnya? Ada saat; karena disana pula ada tujuan, tentu yang dapat menjawab tujuan hidup adalah saat: seperti yang katanya malam ini sembari berpikir dari Stasiun Purwokerto menuju Stasiun Gambir, Jakarta!

Seperti biasa, orang-orang berjejer dengan berbagai rasa. Bukan gelisah tetapi sedikit jengah dengan: tidak lebihnya karena mereka masuk dalam lingkungan tersebut. 

Untuk itu berbicara tentang kebutuhan, di sanalah ia "manusia" harus tetap menjemput apa yang harus terjemput dalam: "Ia "manusia" menjalani hidupnya sendiri sebagai bagian dalam kebersamaan menjadi masyarakat yang butuh".

Kota dan berbagai masa dari waktu itu membalasnya, bukan saja harus ternikmati sebagai bagian wadah manusia itu sendiri. Tetapi bagaimana dengan gerutuan orang-orang disana yang mempersepsikan bahwa: rumah di kota seperti Jakarta dan pinggirannya harganya bisa enam atau delapan rumah di kampung?

Tidak ubahnya, sistem produksi ini, tetap meskipun yang didalam kota menjadi ukuran dengan mengukur diluarnya. Pemenang dari hidup adalah orang-orang yang mempunyai uang di abad 21 ini, dan di manakah letak banyak uang tersebut? Tetap yakni didalam Kota!

Saat ini yang dikatakan abad 21. Tidak ada kampung atau desa berkumandang dalam hal ini. Semesta berpikir akan bagaimana hidup ini seharusnya seperti sudah mengglobal bahkan diruang sudut manapun sudah menjemput kenyataannya sendiri. 

Orang desa yang berkeinginan menjadi gelamor seperti Kota, dan yang di Kota-pun karena sudah gelamor; pengin semakin gelamor akhirnya ketika ia "manusia kota" bosan, ia akan menciptakan Desa dalam Kota itu sendiri apapun caranya termasuk; pergi ke desa hanya sebatas melepas penat kota.

sumber gambar: mpi.muhammadiyah.or.id
sumber gambar: mpi.muhammadiyah.or.id
Tetapi tetap; inilah hal yang mengganjal itu, karena hidup manusia kini berada didalam sirkulasi wacana berpikirnya sendiri. Mereka bahkan aku-pun sama, berkutat pada apa yang dinamakan berwacana, namun tidak ada satupun wacana itu menyadari kenyataan bahwa; sesuatu jika selangkah tidak ada modal dasar dari padanya: katakanlah usaha atau bakat untuk mencapainya itu, hanya akan menjadi sesuatu yang nihil!

Begitupun dengan suasana Kota yang ingin seperti desa, lain juga yang di Desa ingin menjadi kota itu. Tentu jika wacana ini dimungkinkan, menjadi sangat tidak mungkin! Desa tetap adalah desa dimana ia "desa" merupakan lahan yang murah bagi orang-orang Kota agar uangnya tidak terlalu jauh banyak untuk membeli kebutuhan.

Jalannya ekonomi menjadi sebab semua itu, tetapi ketika keinginan dalam aktivitas ekonomi kini menjadi sepadan antara manusia Desa dan Kota, mungkinkah tidak menjadi ketimpangan itu? Gaya hidup, sepertinya kini tengah menggeneralisir, tidak di Kota maupun di Desa dalam gaya hidup abad 21.

Semua orang berharsrat seperti apa yang tengah dilihatnya: menjadi hidup super muktahir dari media-media yang berkembang di Kota. Memang kini yang terjadi adalah semesta hidup yang sepadan menjadi manusia. Semua dilambangakan untuk konsumsi tentang apa yang membuat mereka senang.

Berbagai kesenangan, apakah semua itu tidak akan diukur? Memang keinginan tidak memilih siapapun sebagai, tetapi berbagai nilai itu yang ditetapakan, apakah kita "manusia" mutakhir tidak dapat memilihnya untuk senang tidak secara berlebih? Dalam hal ini berlebih berarti: "ingin senang tetapi memaksa diri padahal apa yang dihasilkan jauh tidak sepadan dengan hasil-hasil itu secara aktual".

Sebab itulah logika ini mulai untuk ditumbuhkan keberadaannya; berbagai media-media itu, sebenarnya didalam masyarakat keterbukaan akan informasi saat ini melalui jaringan internet sendiri telah mengaburkan persepsi bahwa; tidak ada lagi orang Desa maupun Kota, semua sama dimata hidup dalam moderitas informasi.

Di mana gaya hidup kota juga kini tengah berangsur-angsur menjadi gaya hidup di desa. Semua ingin menjadi menarik meskipun di desa ada keterbatasan dalam kantong-kantong hiburan seperti yang ada dikota. Namun yang dalam ideologi itu teryakini bahwa; semesta berpikir orang desa kini mengkota.

Gaya hidup itu sudah menjalar, seperti yang kita lihat, dari yang paling kecil sekalipun sebagai wadah persamaan itu; misalnya kartu kredit atau ungkapan sederhanannya kartu utang. 

Bukan saja menjadi wacana merambah ke desa-desa tetapi giuran akan gaya hidup yang lebih baik, masyarakat desa pun kini menunggunya untuk menopang gaya hidup mereka agar terfasilitasi.

 Meskipun realitasnya kini dari pendapatan kerja sendiri jelas, UMK atau upah minimum kabupaten sendiri masih sangat jauh dari kota-kota besar seperti Suarabaya dan Jakarta.

Tetapi dengan minat-minat untuk segala akomodasi gaya hidup mereka, bukankah akan menjadi sesuatu yang memberatkan nantinya, dimana harga kebutuhan untuk bergaya sendiri sudah me-nasional, tidak peduli harga desa dan kota seperti biaya makan dan sebagainya. 

Namun karena ekonomi yang cenderung menasional sendiri disetiap komoditasnya, harga makan saja di kota kecil dengan upah minimum kabupaten kecil harganya hampir sama dengan kota-kota besar kini yang upah minimum kotanya lebih besar.

Memang ini bukan saja menjadi polemik yang akan terjadi dalam semesta ekonomi dan gaya hidup manusia tetapi juga masalah-masalah baru kehidupan dimana, kebutuhan ingin merubah kebutuhan tenang sendiri tanpa sesuatu yang memberatkan hidup termasuk beban pikiran akan hutang itu sendiri.

"Dunia memang akan dibentuk sedemikian adanya, tidak ada kota dan desa, semua orang dipelihara untuk membeli, dan apa yang mereka beli adalah apa yang mereka ingini sebagai gaya hidup dari media kini yang semakin mengutamakan mode dalam menjalani hidup".

Tidak ada yang salah, juga aku tidak membenarkan akan ini, hidup seperti pilihan dan apa yang menjadi pilihan tersebut tetap mengandung berbagai konsekwensi di dalamnnya. 

Tetapi yang tidak akan diterima oleh diri manusia itu sendiri; adalah kehidupan rusak dirinya dimana ia bukan saja menggantungkan hidup kepada orang lain tetapi juga menggantungkan hidup pada lembaga-lembaga keuangan yang mereka anggap sebagai penyelamat hidup itu sendiri.

Terkadang yang tidak disadari itu, disamping jika kesadaran akan bagaimana mengendalikan diri tersebut  tidak disadari, bukan tidak mungkin gaya-gaya tersebut akan merusak dirinya dan orang lain. 

Tentu yang merusak diri: tidak mampunya diri mengatur dirinya sendiri agar tidak hutang dan dibawa hawa nafsu gaya hidup yang tidak mungkin akan berkesudahan. Karena ujung dari gaya hidup adalah hutang dan kemungkinan akan merepotkan manusia lain untuk dihutangi.

Jika memang sudah konsekwesi jaman berarti kini tidak ada manusia desa dan kota, desa yang identik dengan keterbelakangan bukan lagi menjadi ukuran. Mungkin benar insfrastrukture ekonomi di desa belum seperti kota, tetapi apakah dari gaya hidup tidak akan mempengaruhi gaya berpikir? 

Inilah sejatinya itu; gaya hidup desa sudah mengkota dengan kemudahan belanja, belum lagi ditambah dengan kemudahan pengajuan kredit akan terus berangsur-angsur merubah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun