Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masyarakat Bawah: Zonasi Pendidikan Memang Perlu

29 Juni 2019   17:16 Diperbarui: 9 Juli 2019   21:09 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi "zonasi" ini terkesan dipukul rata, masyarakat pun demikian, berasumi tentang penafsiran yang sama. Seakan-akan dia "masyarakat" tidak mampu mengkritisi kebijakan pemerintah dengan kapasitasnya "mampu" dimanapun sekolah anakanya.

Cerita seorang siswa dari dari Kajen, Kabupaten Pekalongan yang viral di media itu, membakar semua piagam prestasi disekolah sebelumnya adalah salah satu kegagalan pemerintah, lembaga sekolah dan masyarakat.

Mengapa kegagalan mereka? Tentu karena lemahnya memahami situasi. Mereka tidak mampu membaca bagaimana caranya tidak merusak mimpi anak agar tetap dapat sekolah sesuai dengan keinginannnya.

Bukankah zonasi itu tidak diperlukan dan tidak di implementasikan juga bisa asalkan masyarakat dan sekolah dapat bersinergi saling membantu dalam hal "mengakomodasi anak agar dapat tetap bersekolah"?

Disinilah seharusnya sinergitas antara ketiga elmen tersebut, "masyarakat, pemerintah, dan lembaga sekolah". Zonasi sebagai peraturan umum memang tidak perlu, zonasi perlu letika ada warga kurang mampu secara ekonomi yang hanya mampu menyekolahkan anak di dekat-dekat rumahnya.

Seperti cerita "Kirno" yang dulu putus sekolah ke jenjang SMA, karena orang tua yang kurang mampu jika harus membiyayai anak untuk sekolah secara rutin naik kendaraan umum sehari-hari, yang nilainya mencapai sepuluh ribu dengan uang saku.


Orang tua Kirno sendiri bekerja sebagai buruh tani yang setiap hari belum tentu ada pendapatan. Membuat keengganan jika untuk biaya trasportasi ke sekolah saja harus hutang-hutang ke sodara bahkan tetangga.

Pilihan orang tua terhadap "Kirno" juga mau bagaimana lagi, putus sekolah merupakan suatu solusi, tetapi orang tua Kirno menyanggupi jika "Kirno" sekolah dekat setiap hari naik sepeda, agar tidak terlalu berat di ongkos setiap harinya naik kendaraan umum.

Namun apa daya, sekolah dekat rumah menerapkan standart nilai yang tinggi, oleh sebab itu Kirno tidak dapat masuk sekolah tersebut yang berdekatan dengan rumah. Kasus seperti inilah yang harus terbaca semua elmen, mementingkan anak dapat terus bersekolah.

Perkara orang tua yang bersangkutan mampu menyekolahlan anak dimana pun itu bagus. Masalahnya adalah dari pemerintah, lembaga sekolah, dan masyarakat sendiri yang telat membaca.

Pemerintah lewat sekolah seharusnya tidak menerapkan masuk sekolah dengan standart yang tinggi asal masih masuk zonasi kepada masyarakat bawah yang lemah secara ekonomi dalam akomodasi biaya sekolah anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun