Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pernikahan", Kritik dan Rasionalisasi

25 Juni 2019   21:52 Diperbarui: 29 Juni 2019   06:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari; merdeka.com/Pernikahan

Pernikahan memang ibarat fiksi bagi seorang lajang, dimana ketika umur dalam pandangan sosial sudah mempuni untuk melangsungkan "pernikahan" itu. Tetapi apakah menikah hanya disandarkan pada umur saja? Tentu tidak semudah mengembalikan gedung yang hanya di buku gambar seorang anak sekolah dasar, menikah perlu kemapanan ekonomi, kempanan batin dan kemapanan akan komitmen yang akan di jalani dalam setiap bait resiko dari pernikahnnya.

Memang menikah juga adalah suatu janji yang di kontrak, jika mau tetap hidup bersama, ya selamanya sebagai gambaran kongsi dagang. Tetapi, jika ingin perpisahan tentu dapat juga seperti perceraiaan dari menikah yang di legalkan oleh hukum negara. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah tidak menjadi suatu ganjalan moral nantinya, akan ketidak siapan dan kondisi batin yang tidak setabil akan berkomitmen nanti? Yang diproduksi dalam berumah tangga, seperti akan hadirnya anak, atau sisi emosianal antara energi feminim juga maskulin, jika dihadapkan pada meja perceraian?

Ibarat yang tidak dapat premature hanya karena usia, ego sosial, atau dasar-dasar lain yang perlu tertunda terlebih dahulu, supaya preamatur dan berbuah buruk pada akhirnya akan terjadi dalam pernikahan. Dalam hal ini seperti ungkapan tulisan dalam Bus antar kota antar Provinsi itu, resiko ditangung sendiri. Riilnya menikah bukanlah membawa diri kita sendiri, ia membawa orang-orang terdekat kita, bahkan anak kita yang itu darah daging kita sendiri.

Sebenarnya tidak banyak juga yang menanyakan kapan saya akan menikah, tetapi ada saja yang menayakannya, karena "usia" dalam pandangan sosial memang tidak dapat membohonginya. Setidaknya ada yang mengingatkan, tentang pertanyaan mereka sendiri yang berulang kali dilontarkan oleh orang-orang disekitar. Untuk manusia yang kini dalam kelajangan, mungkinkah menikah di usia tua nantinya punya anak masih kecil dapat mengakomodasi kebutuhannya? Bukankah lebih enak jika menikah muda, lalu anak sudah besar kita masih kuat bekerja?

Itulah kebanyakan pertanyaan bagi seorang yang melajang kini, tetapi apakah angka kelahiran anak hanya akan dipandang seperti itu? Tidakah kita berpikir yang muda menikah dan itu akan berhasil? Menang tidak semua di persepsi secara rata disini, semua tergantung bagaimana manusianya, bukankah diatur saat menikah tua juga tetap akan sama saja, jika sudah menyiapakan akomodasi untuk anak di masa yang akan datangnya? Saya kira semua adalah bagaimana cara manusia mengatur hidupnya sendiri.

Tetapi apa boleh buat ketika seseorang yang menanyakan tentang "pernikahan" sedikit terheran dengan jalan pikiran: "sedikit manusia dari kebanyakan manusia yang ada". Mereka terheran karena jawaban sedikit manusia itu agak nyeleneh dan berbeda dengan jawaban-jawaban manusia kebanyakan lainnya.

Kapan akan melangsungkan pernikahan? Jawab: yang sedikit manusia dari kebanyakan; "santai saja, toh jika harus melajang sampai tua pun, bukan masalah bagi seorang yang belum menyiapkannya. Sesaat dalam hati yang sedikit jumlah manusianya berkata: "siapa yang meyuruh-nyuruh cepat menikah? Jika dari dalam dirinya sendiri belum, memastikan jawaban akan berbagai bentuk komitmen menikah?

Sebenarnya dalam pikiran sedikit manusia itu berkata "tidak ada". Sedikit manusia menduga, mungkin hanya ego sosial, yang menyuruh kita "manusia pada umunya" untuk cepat-cepat menikah karena pertimbangan usia dan angka kelahiran seorang anak. Di lain pendapat akan itu antara anak dan usia, memang ada benarnya juga, sudah tua dan belum menikah itu seperti terasing dilingkungan sosialnya sendiri.

Ada kecanggungan sosial, jika teman sudah membawa anak dalam acara reuni teman sekolah atau teman sebaya, dimana ketika teman kita tahu masih "lajang" pasti ditanyakan kapan menikah? Jika sudah menikah pertanyaan itu berganti pula: anaknya sudah berapa? Siapa pun manusia dengan berbagai latar belakang apa pun, pertanyaan seperti itu tidak akan pernah lepas dari narasi kehidupannya.

Bukan yang sedikit dari manusia umum tidak mau menikah, dia meresa; menikah itu perlu tetapi sebelum menikah haruslah tahu, apa tujuan menikah itu sendiri? Terkadang seorang yang terlalu sedikit manusia itu terlalu analitis, bahkan cenderung seorang "pemikir", jadi sebelum melakukan apa pun harus melalui pengkajian yang luar biasa, dan harus se-rasional mungkin jika itu bisa. Hal inilah yang mungkin membedakan manusia sedikit dan manusia umum yang lainnya.

Manusia yang sedikit itu cenderung seorang yang bebas, tidak mau diatur oleh siapapun termasuk egonya sosialnya sendiri. Kalau diatur atasan perusahaan tentu berbeda, karena ada kepentingan uang, jadi karena uang semua orang itu mau diatur-atur termasuk manusia sedikit dan banyak itu pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun