Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Catatan Romantisisme Sosial dan Politik

6 Mei 2019   10:09 Diperbarui: 16 Mei 2019   10:40 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri/ Pawai motor sebagai perayaan kelulusan anak SMA di Kota Pekalongan

"Untuk itu nikmatilah kebebasan sebagai manusia "abad 21" sebelum kebebasan itu dilarang oleh Negara". 

Tidak lelahnya hati ini terus meronta-ronta, tetapi bagaimana dari dalam luar diri itu sendiri? Petir masih menyambar, angin masih berhembus dan keengganan lautan untuk mengering menjadi pertanda bahwa; "kita "manusia" akan selalu digoda alam yang tidak lagi kita perhatikan"

Seakan waktu tidak bisa lagi aku sampaikan. Semenjak itu aku diam, bukan tidak mengerti, hanya saja aku si sesat yang baru saja akan membuka jalan baru untuk diriku sendiri. Pasti, "jalan di mana hanya ada aku, kamu juga mereka yang singgah di waktu terik menerjang dengan udara panasnya dalam Kota".

Rupanya aku dibuat tidak mengerti serperti Bulan dan Matahari yang tak pernah terlihat diwaktu yang sama. Dari semua itu akan terlihat, tetapi bergerak dalam diam. Sepertinya ia malu yang, tetap akan mengguncang relung kegelapan dengan sikap pemalunya itu. 

Lagi dan lagi, aku tidak dibuat mengerti oleh air laut yang terus pasang di pesisir utara Pantai Jawa, angin yang jumlahnya masih sedikit di tengah Kota, dan ramainya Toko-Toko kala akan masih bulan Ramadan.

Seperti kebingungan yang menyelip masuk di siang bolong dengan panas yang terik. Herannya tetapi rintik hujan terjadi kini. Aku rasa seperti air limpahan dari air terjun hangat di Guci, Tegal sana. 

Rasanya bagaimana memandang hari kedepan yang semakin tidak menentu ini? Aku pun masih bingung untuk memikirkan hal ini. Rasanya manusia hanyalah bagian kecil dari semesta yang lebih hebat kekuatannya.

Ketika saat-saat itu datang aku menjadi bosan, tiada semangat bahkan cenderung menjadi tidak bersyukur. Dasar jelas,"kejengahan pada rutinitas hari yang ada". 

Inginnya seakan aku ingin memeluk diriku bersama bintang, lalu menjadi diriku secara utuh bersama setiap lamunan-lamunanku diterik siang ini, sembari tetap bekerja walaupun ini hari libur.

Sebenarnya aku bisa bahagia hanya dengan adanya waktu sengang untuk menulis. Bahkan melupakan gelisahku seperti orang yang dikata tidak waras di sebrang lampu merah sana jika tulisanku dibaca banyak orang. Tulisan apapun sangat mengodaku untuk setiap jengkal berpikir dengan imajinasi.

Resah dan gelisah selsai dengan munulis, begitipun rasa cemas yang mendera siang hari ini, semua akan lebih baik dengam cara untuk ditulis. Apalagi ketika aku berdiskusi indah dengan energi sejenis.

Membahas sesuatu yang kita suka, "meskipun aku bukanlah seorang master yang tiada duanya dalam setiap pengetahuannya". Humaniora mungkin, filsafat, dan kehidupan paradoks modernitas yang selalu mengundang banyak pertanyaan, "aku sebagai manusia abad 21".

Jika teman diskusi itu tidak ada, aku ingin jadi kolumnis saja di surat kabar agar tulisanku dibaca. Tetapi memang tidak mudah tulisan masuk surat kabar harian. Semua tulisan-tulisan itu diseleksi. Katanya harus aktual, tajam dan mengacu data, ah, persetan dengan data, menulis suara jiwa lebih penting.

Kau tahu bagaimana wajah sebenarnya abad 21 ini? Ketika perkiraan data bermain, membuat orang semakin terganggu psikologisnya. Saya kira pemilu dalam "demokrasi" dapat menjadi bukti. 

Tentu, hasil data dari masing-masing pihak yang berkepentinganlah yang membuat semua orang sakit akan psikologisnya. Semua orang ingin menang dan ingin menjadi pemenang.

Saya memang tidak peduli akan itu. Semua hanyalah upaya ekting manusia untuk segala macam bentuk perayaannya yang, "semakin merasa paling hebat dalam abad 21 ini". Saya hanya berharap, kelak yang akan menjadi istri saya tidak gumunan akan fenomena zaman. 

Ketika ia gumunan dengan zaman, apapun akan dibelinya dengan realitas data teknologi yang terus menunujukan progresifitasnya. Bagiku ini memberatkan "aku" jika budaya patriarki berlanjut, di mana laki-laki yang harus semua mencukupi kebutuhan ekonomi.

Dalam abad ini menjadi manusia santai memang tidak dipikirkanya terlalu dalam kebutuhan ingin dalam merayakan Trend. Saya kira aku menjadi "aku" ketika istriku-pun tidak gumunan akan rupa-rupa fenomena abad 21 ini.

Tetapi tidak tahukah bagaimana aku memandang tulisan-tulisan media sana yang cenderung kaku dan alur berpikir tulisannya sangat klasik? Abad 21 bagiku abad awal menjadi romantic yang sesungguhnya. 

Mengapa? Tentu perayaan sebagai manusia yang tidak ada henti-hentinya. Di era romatik ini mereka "media" tidak ubahnya harus mulai berbenah "setara" dengan penulis/jurnalis bodrex,"meminjam, kata komedian Soleh Solihun, ketika ia masih menjadi wartawan musik".

Bodrek menurut Soleh Soilihun seingat ingatan saya, yaitu jurnalis yang tidak mempunyai surat kabar. Mungkin sama seperti aku yang tulisannya ditolak melulu oleh media masa komersial lainnya. 

Bisa dikatakan begitu? Tetapi inilah perbedaan, di mana aku harus membangun kualitasku terlebih dahulu dengan tulisanku yang, "suatu saat aku akan buat ini menjadi buku".

Satu manusia tidak akan sama dengan manusia lain. Semua punya khasnya sendiri menjadi aku, "dirinya sendiri", kharismanya sendiri, dan idealismenya sendiri, dan menjadi kerangka berpikir sebagai penulis romantik atau klasik di dalam setiap ideologi-ideolginya sendiri.

Justru menjadi pertanyaannya manusia kini adalah mengapa tidak "sama" semua preferensi manusia itu? Jika sama, "supaya tidak ada perbedaan diantara kita". Bisa bekerjasama dengan baik, berhubungan baik dan bersinergi dalam kehidupan. Tunggu, apakah dalam realitasnya sama adalah baik?

Tetapi akankah sama membuat indah pada akhirnya? Aku menjadi sangat curiga. Aku berpikir bagaimana kuatnya teologisasi yang terjadi di Indonesia saat kini, di mana Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Tidak dapat dipungkiri, Islam indonesai pun seakan mencari beda dalam identitasnya.

Mazab ajaran yang berbeda, organisasi masyarakat atas nama golongan yang dibedakan, juga bagaimana orang menyebut "tidak sama" dalam semesta beragama kita kali ini. 

Di sudut sana yang masih toleran dianggap sebagai Moderat, dan yang keras cenerung bersikap anarkis terhadap yang beda disebut dengan Radikal. Sayangnya sepertinya "sama" adalah suatu keniscayaan.

Memang benar tepat, yang membuat kita berhasil atau gagal menjalani hidup ini adalah diri kita sendiri, "bukan dalih preferensi kita akan teologis maupun ideologi". 

Tetapi apakah kegagalan menurut logika formal manusia bisa menjadi rujukan? Saya kira keadaan ini adalah keadaan bulan madu bagi para pemangku kepentingan teologis dari elit-elit negara di dalamnya.

Kita tahu bagaimana politik jika di bumbui dengan orentasi teologis membuat jualan politik sangat laku keras. Bahkan ungkapan elit politik seperti yang kita tahu baru-baru ini seperti ada deklarasi bahwa: "ide politik akal sehat yang justru paradoks, di mana akal sehat dijadikan jargon politik mengidentitaskan belaka".

Adanya ungkapan dari elit politik, di mana mereka membuat suatu konfrontasi antara partai politik Setan dan Tuhan jelas, ini sangatlah bertentangan dengan nalar manusia abad 21. 

Silahkan menjadi nalar mereka, tetapi tidak dapatkan politik yang sejatinya untuk kemaslahatan kemanusiaan untuk tidak di kotak-kan dengan jualan identitas?

Saya mengira, politik ketika dihadapkan menjadi pemikiran transendental akan menjadi agama baru. Ya, "aku" sebagai manusia abad 21 memang tidak peduli jika agama di politikan dan politik diagamakan. 

Saya hanya akan terusik kehidupannya jika negara dihadapkan pada warganya yang memaksakan kehendak, yang justru bertindak anarkis mencidrai hidup bersama yang telah dibangun indah ini.

Perbedaan bukanlah soal, lagi-lagi aku mengira, akarnya adalah dari kemaruknya manusia yang tergila-gila akan kuasa politik yang semakin menjadi "Tren" era demokrasi teknologis. 

Aku berpendapat, mengapa aku katakan ini, "sebagai demokrasi teknologis"? Tentu karena peran media sebagai tunggal dan berpengaruh pada citra "politikus" yang sebelumnya tidak terlihat dalam forum masyarakat, tiba-tiba ia dengan modalnya menjadi dasar untuk ikut dalam pemilihan umum sebagai wakil rakyat.

Menurut saya kegagalan demokrasi saat ini awalnya berasumsi dari logika formal yang memaksa. Salah satunya adalah mereka yang karena modal uang mengikuti kontestasi politik. Padahal mereka tidak mengerti apapun dan tidak membaca apapun tentang ide politik atau filsafat politik. 

Mereka "para politikus demokrasi" tidak ubahnya hanya manusia yang gila sandangan sebagai "wakil rakyat", di mana tujuan mereka hanyalah mencari kerja untuk mendapatkan uang.

Tidak heran jika mereka membuat suatu undang-undang ke tata negaraan yang diuntungkan pihak yang memberi insentif kapital pada mereka. Seperti yang kita tahu, di mana dikategorikannya Partai Setan dan Tuhan. Tetapi jika dihadapakan pada uang, identisas Setan dan Tuhan akan sama menjadi partai manusia dengan berbagai keserakahannya.

Korupsi masih merejalela bahkan tetap menggiring kader-kader partai yang berbasis teologis atau non teologis. Terbaru kemarin, di mana jual beli jabatan pada kader partai berbasis teologis terjadi dan pelakunya adalah ketua partai berbasis teologis itu sendiri.

Saya mengira ini adalah rasa tidak mampu politisi bahkan masyarakat yang melahirkan politikus itu sendiri. Bisa terjadi ini merupakan keputus asa-an mereka "politikus" akan kuatnya modal dalam demokrasi. Kini tanpa modal, untuk memobilisasi masyarakat dalam pemilu, politikus tidak akan laku dan terpilih dalam pemilu.

Ini yang menurut saya, "membuat mereka gagal pada pekerjaan mengabdi pada kepentingan rakyat". Sebab untuk menjadi pejabat publik sendiri mengandai kepentingan modal, "bentuk uang" mereka sendiri. 

Bukan hal yang salah jika mereka bekerja sebagai wakil rakyat untuk mengembalikan modal yang mereka telah keluarkan. Memang dalam hal ini membuat paradoks, tetapi? Begitulah politik, begitulah demokrasi kita.

Sebetulnya yang bisa menilai bahwa diri berhasil atau tidaknya bukanlah orang lain yang menilai. Yang bisa menilai diri manusia berhasil atau tidak adalah dirinya sendiri. 

Jika mereka "politikus menganggap berhasil karena modal yang mereka keluarkan dapat kembali, kita sebagai rakyat yang ikut menikmati politik uang mau dibilang apa?

Gagal menurut orang lain belum tentu gagal menurut diri sendiri. Saya ambil satu contoh misalnya dalam bekerja, seseorang tidak bahagia dengan pekerjaannya, tetapi harapan orang lain merupakan setiap dari titik keberhasilannya.

Bagaimana bisa berhasil ketika orang tidak bahagia dengan pekerjaannya? Saya kira sangat sulit merasa tidak bahagia lalu menikmati keberhasilnya. Begitupun dengan anak SMA kini, yang merayakan kelulusannya dengan hingar-bingar khas anak muda.

Tidak ada yang salah memang, tetapi bagaimana anggapan masyarakat yang terongrong kenyamanan di jalanan ketika mereka, "anak SMA pawai" melintas dengan sedikit jumawa lalu menggeber-geberkan motornya? 

Mereka memang berhasil untuk kali ini meluluskan diri dari belenggu sekolah yang membuat jenuh, tetapi, apakah mereka tidak akan jenuh juga selanjutnya? bagaimana mencapai titik harapan pada masa depannya sendiri?

Jelas menjadi pengangguran mengintai nasib mereka "baru lulus SMA", belum kejenuhan "kuliah" bagi yang lanjut, yang masa waktu belajarnya lebih lama. 

Tetapi itu adalah pilihan dari hidup itu sendiri. Nyatanya memang abad 21 merupakan abad dimana glamor, kebebasan dan perayaan menjadi coraknya. Stabilnya ekonomi yang dibangun para kapitalis kini menjadi gaya baru masyarakat abad 21 "dengan industerialisasinya".

Perang dan represi berangsur memudar pada abad 21 ini. Masyarakat pada setiap lapisannya mereyakan setiap kebebasan berekspresi, tetapi ada satu hal yang tidak harus dilupakan dalam abad 21 ini. 

Mereka dalam kebebasannya haruslah menjadi manusia pekerja yang harus siap, "justru dikekang oleh kepentingan kapital" untuk keberlagsungan kehidupan mereka.

Dimana kapital sebagai akses mereka menikmati kebebasan akan setiap perayaan-perayaan yang semakin diagungkan dan dijalankan oleh manusia kini. Tetapi dari semua itu kembali pada faktor manusia dan perayaannnya. 

Apakah perayaan kebebasan mereka dimaknai sebagai kebebasannya secara harfiah sebagai manusia atau hanya ingin dianggap sebagai manusia? 

Saya tidak peduli, tetapi udara panas ini dan suara kenalpot seakan membisingkan hati yang sedang gundah. Manusia yang sudah mengerti dirinya pasti, "tahu karakter dan nilai-nilai hidupnya sendiri" tidak perlu aku seperti motivator yang masyur itu di maya.

Tidak perlu dijelaskan lebih jauh tentang bagaimana harusnya menjadi manusia abad 21 ini, "hidup memang sebagai paradoks itu". Bagaimanapun kesenangan dan hidup tidak akan dapat dipisahakan. 

Mungkin "abad 21" ini adalah peradaban yang membangun kebebasan, karena untuk menghancurkan yang namanya "bebas" akan lebih mudah bila politikus congkak berkuasa. "Untuk itu nikmatilah kebebas sebagai manusia sebelum kebebasan itu dilarang oleh Negara" di waktu-waktu berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun