Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Catatan Romantisisme Sosial dan Politik

6 Mei 2019   10:09 Diperbarui: 16 Mei 2019   10:40 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri/ Pawai motor sebagai perayaan kelulusan anak SMA di Kota Pekalongan

Satu manusia tidak akan sama dengan manusia lain. Semua punya khasnya sendiri menjadi aku, "dirinya sendiri", kharismanya sendiri, dan idealismenya sendiri, dan menjadi kerangka berpikir sebagai penulis romantik atau klasik di dalam setiap ideologi-ideolginya sendiri.

Justru menjadi pertanyaannya manusia kini adalah mengapa tidak "sama" semua preferensi manusia itu? Jika sama, "supaya tidak ada perbedaan diantara kita". Bisa bekerjasama dengan baik, berhubungan baik dan bersinergi dalam kehidupan. Tunggu, apakah dalam realitasnya sama adalah baik?

Tetapi akankah sama membuat indah pada akhirnya? Aku menjadi sangat curiga. Aku berpikir bagaimana kuatnya teologisasi yang terjadi di Indonesia saat kini, di mana Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Tidak dapat dipungkiri, Islam indonesai pun seakan mencari beda dalam identitasnya.

Mazab ajaran yang berbeda, organisasi masyarakat atas nama golongan yang dibedakan, juga bagaimana orang menyebut "tidak sama" dalam semesta beragama kita kali ini. 

Di sudut sana yang masih toleran dianggap sebagai Moderat, dan yang keras cenerung bersikap anarkis terhadap yang beda disebut dengan Radikal. Sayangnya sepertinya "sama" adalah suatu keniscayaan.

Memang benar tepat, yang membuat kita berhasil atau gagal menjalani hidup ini adalah diri kita sendiri, "bukan dalih preferensi kita akan teologis maupun ideologi". 

Tetapi apakah kegagalan menurut logika formal manusia bisa menjadi rujukan? Saya kira keadaan ini adalah keadaan bulan madu bagi para pemangku kepentingan teologis dari elit-elit negara di dalamnya.

Kita tahu bagaimana politik jika di bumbui dengan orentasi teologis membuat jualan politik sangat laku keras. Bahkan ungkapan elit politik seperti yang kita tahu baru-baru ini seperti ada deklarasi bahwa: "ide politik akal sehat yang justru paradoks, di mana akal sehat dijadikan jargon politik mengidentitaskan belaka".

Adanya ungkapan dari elit politik, di mana mereka membuat suatu konfrontasi antara partai politik Setan dan Tuhan jelas, ini sangatlah bertentangan dengan nalar manusia abad 21. 

Silahkan menjadi nalar mereka, tetapi tidak dapatkan politik yang sejatinya untuk kemaslahatan kemanusiaan untuk tidak di kotak-kan dengan jualan identitas?

Saya mengira, politik ketika dihadapkan menjadi pemikiran transendental akan menjadi agama baru. Ya, "aku" sebagai manusia abad 21 memang tidak peduli jika agama di politikan dan politik diagamakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun