Membahas sesuatu yang kita suka, "meskipun aku bukanlah seorang master yang tiada duanya dalam setiap pengetahuannya". Humaniora mungkin, filsafat, dan kehidupan paradoks modernitas yang selalu mengundang banyak pertanyaan, "aku sebagai manusia abad 21".
Jika teman diskusi itu tidak ada, aku ingin jadi kolumnis saja di surat kabar agar tulisanku dibaca. Tetapi memang tidak mudah tulisan masuk surat kabar harian. Semua tulisan-tulisan itu diseleksi. Katanya harus aktual, tajam dan mengacu data, ah, persetan dengan data, menulis suara jiwa lebih penting.
Kau tahu bagaimana wajah sebenarnya abad 21 ini? Ketika perkiraan data bermain, membuat orang semakin terganggu psikologisnya. Saya kira pemilu dalam "demokrasi" dapat menjadi bukti.Â
Tentu, hasil data dari masing-masing pihak yang berkepentinganlah yang membuat semua orang sakit akan psikologisnya. Semua orang ingin menang dan ingin menjadi pemenang.
Saya memang tidak peduli akan itu. Semua hanyalah upaya ekting manusia untuk segala macam bentuk perayaannya yang, "semakin merasa paling hebat dalam abad 21 ini". Saya hanya berharap, kelak yang akan menjadi istri saya tidak gumunan akan fenomena zaman.Â
Ketika ia gumunan dengan zaman, apapun akan dibelinya dengan realitas data teknologi yang terus menunujukan progresifitasnya. Bagiku ini memberatkan "aku" jika budaya patriarki berlanjut, di mana laki-laki yang harus semua mencukupi kebutuhan ekonomi.
Dalam abad ini menjadi manusia santai memang tidak dipikirkanya terlalu dalam kebutuhan ingin dalam merayakan Trend. Saya kira aku menjadi "aku" ketika istriku-pun tidak gumunan akan rupa-rupa fenomena abad 21 ini.
Tetapi tidak tahukah bagaimana aku memandang tulisan-tulisan media sana yang cenderung kaku dan alur berpikir tulisannya sangat klasik? Abad 21 bagiku abad awal menjadi romantic yang sesungguhnya.Â
Mengapa? Tentu perayaan sebagai manusia yang tidak ada henti-hentinya. Di era romatik ini mereka "media" tidak ubahnya harus mulai berbenah "setara" dengan penulis/jurnalis bodrex,"meminjam, kata komedian Soleh Solihun, ketika ia masih menjadi wartawan musik".
Bodrek menurut Soleh Soilihun seingat ingatan saya, yaitu jurnalis yang tidak mempunyai surat kabar. Mungkin sama seperti aku yang tulisannya ditolak melulu oleh media masa komersial lainnya.Â
Bisa dikatakan begitu? Tetapi inilah perbedaan, di mana aku harus membangun kualitasku terlebih dahulu dengan tulisanku yang, "suatu saat aku akan buat ini menjadi buku".