Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 27 – “Sunatan Masal”

25 Desember 2009   01:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47 465 0
Direncanakan, aku akan membuka acara sunatan masal yang memecahkan rekor MURI. Rekor yang dipecahkan adalah :

1. Jumlah peserta yang akan disunat (berarti juga jumlah "burung" yang akan dibantai, berarti juga jumlah "potongan dari burung" yang akan dikumpulkan).

2. Jumlah tenaga medis yang menyunat (termasuk jumlah alat-alat sunat yang digunakan)

3. Jumlah pihak-pihak yang terkait (jumlah sponsor), dan..

4. Satu-satunya sunatan masal terbesar yang dibuka oleh Presiden RI

"Karena ini acara yang penting sekali, Pak.. menyangkut kesinambungan sebuah generasi bangsa.." kata Panitia kepadaku. "Kami mohon dengan sangat amat sekali.. Bapak Presiden bisa hadir.. dan memberi support untuk anak-anak yang akan disunat itu, Pak.."

"Mm.. mm.. bagaimana ya.. mm mm.." aku ragu-ragu menjawabnya.

"Please Pak Presiden.. ini permohonan kami.. dan anak-anak yang akan disunat itu.. kelak dikemudian hari.. akan selalu ingat apa yang terjadi.. dan jika sudah besar.. pasti mereka akan mencentang Partai Pak Presiden.. begitu, Pak.." tambah Panitia lagi.

"Mm.. mm.. " aku belum menjawab dengan pasti.

"Sudahlah, Pak Presiden. Apapun yang Pak Presiden inginkan.. pasti akan kami turuti asalkan Pak Presiden mau datang pada acara ini, membukanya, dan memberikan support.. Termasuk jika Pak Presiden menginginkan semua potongan-potongan burung yang disunat.. kami akan berikan semua.." lanjut Panitia.

PANITIA SUNATAN GENDENG! UNTUK APA AKU MENGUMPULKAN POTONGAN-POTONGAN BURUNG ITU!!

**

Bukannya aku tak mau datang. Bukannya aku tak mendukung acara sunatan itu. Aku hanya trauma. Trauma terhadap masa ketika aku disunat. Aku tak ingin melihat para dokter menenteng alat potong burung dengan gaya dan jurus ala Jet Lee.. berperang melawan anak-anak kecil hingga mereka memenangkannya. Berhasil memotong ujung dari burung. Dan bahkan menjahit burung seenak mereka sendiri, dan para orang tua menjadi bangga dan memberi tepuk tangan, dan melirik-lirik saku baju anak-anak itu yang dipenuhi angpao.

**

"Dengan ini.. saya buka secara resmi.. acara sunatan masal.. semoga.. kalian.. anak-anakku.. menjadi generasi muda harapan bangsa..!" kataku disambut riuh rendah tepuk tangan dari anak-anak itu.

**

Seterusnya, wartawan mencegatku, dan menanyakan apa saja.

"Kalau boleh saya tahu, dulu Mr. President sunat umur berapa?" teriak salah satu dari mereka.

"Dulu.. ke dukun sunat apa ke dokter, Mr. President?"

"Bagaimana nasib potongan..?"

"Sembuhnya berapa hari..?"

"Angpaonya dapat berapa..?"

**

Banyak sekali pertanyaan. Aku harus menjawabnya.. Dan inilah kisahku..

Pada jaman dulu kala.. saat aku menjelang SMP..

Liburan panjang menjelang masuk SMP sudah tiba. Liburan yang amat bersejarah, karena aku akan disunat.

"Kamu akan disunat oleh seorang dokter. Namanya Dokter Noor." kata papiku serius. "Kamu tidak akan merasakan sakit karena Dokter Noor adalah dokter sunat yang modern. Jadi.. tenang sajalah."

Papi bermaksud membesarkan hatiku meski aku tetap cemas dan selalu berkeringat dingin hingga suatu sore yang bersejarah itu telah tiba. Aku sudah berada tepat di depan rumah praktek Dokter Noor setelah kurang lebih perjalanan memakai mobil sewaan sekitar ½ jam dari rumahku. Aku diantar sama papi dan Omku yang bernama Om Arip.

"Mm.. ini ya yang akan disunat." sapa Dokter Noor yang ramah. Aku dipersilakan masuk ke ruang prakteknya, dan aku disuruh berbaring.

Dokter Noor memang sudah paro baya dengan kacamata yang agak tebal. Namun, dandanan rambut dan bajunya amatlah rapi dan bersih. Di luar ruang prakteknya, tersedia kursi tunggu yang hanya diisi oleh beberapa orang saja yang mungkin hanya berobat biasa. Tidak sunat seperti aku.

"Tenang saja. Sebelum disunat, Saya akan menyuntikkan beberapa mili obat bius ke tititmu." kata Dokter Noor tenang dan datar. Tapi bagiku, itu adalah kata-kata layaknya ledakan bom atom Hiroshima. Jadi.. tititku.. mau disuntik dulu.. Busyeeet.

"Mm.. maaf Dokter." aku berusaha protes.

"Ya.. ada apa?" tanya Dokter Noor sembari melihat takaran milimeter di jarum suntiknya.

"Apakah tidak ada.. cara lain. Maksud Saya.. sunat dengan cepat dan tidak sakit sama sekali, dan satu hari bisa sembuh. Kalau bisa.. setengah harilah." aku mencoba meminta alternatif model sunat yang lain. Aku tahu jika usulku itu sangat tidak masuk akal.

Dokter Noor mendelik ketika mendengar usulku.

"Bisa saja. Asalkan tititmu terbuat dari besi. Tinggal di las pake las karbit, dibubut pake mesin bubut, dan terakhir diampelas supaya halus." jawab Dokter Noor tak mau kalah. Dokter ini.. kocak juga, pikirku.

Dan beberapa saat kemudian, setelah aku membuka sarungku, dan tititku nongol, sang dokter segera menusukkan tiga suntikan. Pluus.. Pluus.. Bluus.. Aku langsung berteriak,"Wadaaaauuu!!"

Aku merasa menjadi daging kambing yang ditusuk untuk dijadikan sate. Aku gemetaran bukan main. Aku merasa mau pingsan. Dan keringat dinginku bergulir deras. Mataku berkunang-kunang.

"Sudah. Tunggu di luar ruangan dulu sekitar 15 menit. Setelah itu, baru Saya sunatin." kata Dokter Noor lagi. Aku sempoyongan ketika keluar dari ruangan praktek Dokter Noor. Antara sadar dan tidak.

Begitu aku keluar dari ruangan Dokter Noor, aku melihat papi yang langsung memapahku.

"Naah. Cuman gitu aja, kan. Cepat dan tidak sakit. Oke. Ayo lekas pulang. Semua famili sedang menunggu di rumah untuk selamatan. Para tetangga juga sudah ngumpul. Mereka memang papi undang semua. He he he.." kata papi dengan nada seperti orang tak berdosa sambil memapahku.

Aku mau dibawa ke mobil sewaan. Kemudian, kudengar papi juga menyuruh Om Arip membereskan administrasinya dan mengambil resep dari Dokter Noor serta membeli obat di apotik.

Aku kaget bukan kepalang. Aku berkata sambil gemetaran. "Lho. Apaan sih, pi? Aku belum disunat. Aku cuman disuntik saja tadi."

Mendengar penjelasanku, papi tak kalah kaget. "Lho. Jadi belon disunat?? Gimana sih Dokter Noor. Katanya sunat modern. Kok malah lama, sih? Harusnya kan lebih cepat!"

Papi kelihatan uring-uringan.

"Kalau kejadiannya seperti ini, yaa mending ke dukun sunat saja." omel papi lagi. Tapi bagiku, yang penting apa yang dikatakan Dokter Noor bahwa tititku akan mati rasa karena dibius bisa menjadi kenyataan dalam 15 menit. Jika tidak, mungkin aku akan mengundurkan diri dari ajang ‘persunatan' ini.

Lima belas menit cepat berlalu dan aku merasa ada perubahan besar pada tititku. Pada lima menit pertama, aku merasakan kesemutan di titit. Lima menit berikutnya, aku merasa tititku menjadi ‘tebal' dan ‘besar'. Lima menit terakhir, aku sudah tidak merasakan apa-apa di tititku. Aku mencoba meraba-raba tititku berkali-kali dan ternyata tidak terasa sama sekali.

"Gimana.. sudah mati rasa, kan?" tanya Om Arip penasaran.

"Sepertinya memang begitu, oom." jawabku yakin.

"Wah. Enak dong. Nanti pas disunat, pasti tidak akan sakit." komentar Om Arip lagi. "Tapi harus dicek dulu."

"Dicek??" aku mengerutkan dahi.

Om Arip mencoba meraba tititku dan mencubitnya.

"Sakit apa tidak?" tanya Om Arip.

"Sama sekali tidak terasa." jawabku.

Om Arip mencoba menyentil tititku lagi.

"Terasa apa tidak?" tanyanya.

"Tidak sama sekali. Bener-bener mati rasa." jawabku puas.

Tapi.. aku langsung memelototi Om Arip manakala ia bersiap-siap menendang tititku dengan sepatunya.

"Ngetes ya ngetes. Tapi kalau ngetesnya ditendang.. itu sama dengan tidak berperiketititan." gumamku kalem sambil menghindar.

Seorang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu ruangan Dokter Noor memandangi gerak-gerik dan tingkah laku kami (aku dan Om Arip) dengan pandangan mata yang aneh. Maklum, tingkah kami berdua kelihatan sangat tidak beradab, tidak bersopan dan tidak bersantun.

**

"Nak.. Sudah waktunya." kata Dokter Noor mempersilakanku masuk lagi ke ruang prakteknya.

"Mohon didoakan supaya lancar.." tambah Dokter Noor meminta papi dan Om Arip untuk berkomat-kamit agar tititku tidak terpotong semua ketika disunat.

Keringat dingin mulai muncul dari tubuhku lagi. Hanya kondisi tititku yang tidak berasa itu saja yang sanggup membuatku benar-benar berani menghadapi even ini. Dokter Noor mengeluarkan alat-alat sunat berupa seperangkat gunting atau pisau sunat modern versi dokter.

Aku tidak melihat sama sekali pisau dari bambu atau golok sakti ala bromocorah, atau kapak sakti wirosableng. Apalagi samurai tentara Jepang. Ya tidak mungkinlah..

"Kamu diam saja. Tenang saja. Tidak lama, kok." kata Dokter Noor sembari mulai bekerja.

"Ngomong-omong, punya rencana masuk SMP mana? Saya dengar, tahun ini kamu sudah bersiap masuk SMP." tanya Dokter Noor.

"SMP 1, Dokter." jawabku sambil memperhatikan Dokter Noor yang sudah mulai bekerja. Aneh sekali. Sepertinya, tititku sudah dipotong.

"Mudah-mudahan diterima di sekolah favorit itu. Saya juga alumni sana, kok." kata Dokter Noor mulai bercerita lagi.

"Ngomong-ngomong, kamu punya cita-cita jadi dokter seperti Saya?" tanya Dokter Noor sembari tetap bekerja dan aku melihat dia mulai menjahit tititku.

"Tidak, dokter. Saya tidak ingin menjadi dokter." jawabku singkat. Aku jujur saja. Aku memang tidak ingin menjadi dokter. Tapi aku tidak mau mengungkapkan perihal alasanku mengapa tidak ingin menjadi dokter. Aku takut kalau alasanku akan membuat Dokter Noor marah dan memotong tititku sampai habis.

Akhir-akhir ini, menurutku, menjadi dokter sunat itu lebih kejam dari tukang jagal sapi. Dokter sunat adalah seorang pembantai titit yang kejam. Padahal, titit adalah makhluk lemah yang tidak melawan. Titit adalah makhluk yang mulia tanpa dosa. Titit adalah penerus generasi manusia. Coba bayangkan sebuah dunia tanpa titit. Pasti kehidupan manusia akan punah. Bener-bener alasan yang konyol, kan? Ah tidak tidak. Itu hanya guyonanku saja, kok.

Sejatinya, aku tidak pernah ingin menjadi dokter karena aku takut melihat darah. Tidak tegaan begitu. Jadi, kalau kupaksakan cita-citaku yang tidak suka menjadi dokter itu, dan kemudian aku menjadi dokter beneran, waah.. tentu keadaan akan menjadi runyam meskipun aku tidak kurang akal. Aku akan membuka praktek sendiri dan memasang tulisan di tempat praktekku,"Tidak menerima pasien yang terluka dan mengeluarkan darah. Tidak melayani pasien yang minta disuntik, karena meskipun sedikit, bekas suntikan juga ada darahnya. Hanya menerima konsultasi kesehatan bagi pasien yang benar-benar sehat."

"Sudah selesai." kata-kata Dokter Noor menyentak lamunanku.

"Benar-benar tidak terasa sakit. Terima kasih dokter." komentarku kemudian. Aku langsung menyalami Dokter Noor.

"Selamat. Selamat menjadi perjaka dewasa dengan senjata baru yang lebih tajam." kata Dokter Noor bergurau. Gila!!. Dokter ini bener-bener punya selera humor juga.

"Terima kasih dokter. Harapan saya.. mm.. " aku tidak jadi melanjutkan komentarku. Sedianya aku mau berkata ‘harapan saya.. dokter tidak memakan potongan titit saya.' tapi kutahan mulutku.

Kalau aku keceplosan mengungkapkan komentarku itu, Dokter Noor pasti marah dan akan menendang hasil karya terbarunya ini.

**

Ada beberapa hal yang harus menjadi catatanku. Pertama, Dokter Noor benar-benar dokter sunat profesional. Ia tahu bagaimana memperlakukan mental pasien sunat. Ia mengajak ngobrol pasien sunatnya agar konsentrasi pasien sunatnya tidak pada titit, tapi pada materi obrolannya. Manfaatnya jelas. Si pasien sunat akan respek dengan keramahannya dan lupa kalau sedang disunat. Artinya, sunat bener-bener menjadi tidak sakit dan nyaman. Yuk sunat lagi, yuuuk..

Catatan kedua, dan ini yang membuat aku penasaran, adalah perihal bentuk baru tititku. Karena bentuknya yang baru, namanya pun harusnya baru. Bukan titit lagi. Mungkin, sudah saatnya disebut dengan ‘titut'. Artinya, ‘titit tanpa buntut'. Atau mungkin bisa juga.. ‘tidul', artinya ‘titit yang gundul'. Bukan ‘tititnya si Dul' lho..

Mobil sewaan papi melaju kencang. Aku enjoy saja di dalam mobil. Malah aku sempat ngobrol sama Om Arip.

"Paling-paling luka bekas sunat sudah kering dalam tiga hari." kata Om Arip memberi harapan yang baik.

"Ya. Mudah-mudahan tidak bengkak." jawabku sekenanya. Om Arip tertawa saja. Papi hanya senyum-senyum karena mungkin saja beliau merasa tenang karena anak satu-satunya telah berani disunat setelah sekian kali bujukan agar mau disunat hampir tidak mempan.

Sayangnya, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang tidak nyaman setelah waktu berjalan kira-kira dua puluh menit setelah aku disunat. Terasa mulai perih di bekas luka di tititku. Aku mulai malas diajak ngobrol sama Om Arip di dalam mobil. Aku benar-benar mulai merasa kesakitan. Aku meringis dengan mulut meletot kesana kemari. Membetulkan letak duduk kekanan dan kekiri.

"Ada apa?" tanya Om Arip penasaran.

"Gak tahu Om. Tiba-tiba.. mulai ada perih di tititku." jawabku.

"Jangan-jangan.." kata Om Arip sembari menerawang.

"Ada apa, Om??" aku penasaran sambil memelototi Om Arip.

"Obat biusnya mulai hilang!" kata Om Arip yakin.

"APA??" aku lemas. Aku tahu kalau alasan Om Arip memang masuk akal.

Lima menit kemudian aku sudah merasa kalau bibir dan hidungku sudah tertukar posisinya di wajah. Aku pletat-pletot karena menahan sakit yang lumayan. Periih sekali. Biusnya sudah hilang.

Sesampai di rumah, aku disambut oleh mami dan semua famili-familiku, dan tetangga-tetanggaku. Mereka mau selamatan. Tapi, karena aku hampir pingsan karena sakit, aku melihat mereka seperti benda-benda aneh yang melayang-layang. Mataku berkunang-kunang sehingga penglihatanku makin kabur saja. Aku langsung dibopong ke kamar, diminumi obat dan pingsan.

**

"Mr. President !! Sudah waktunya meninggalkan acara..!!" teriak ajudanku. Aku kaget. Oh.. ya benar..

[ salam titit .. buat yang baca.. ]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun