Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Yang Tersirat Dibalik Perayaan “Thanksgiving” di Amerika

27 November 2020   06:36 Diperbarui: 27 November 2020   07:05 335 46
Berkumpul bersama keluarga, menikmati sajian ayam kalkun yang diolah dengan berbagai macam cara, dilengkapi dengan gravy, cranberry salad dan sebagai penutupnya, tentu saja melahap pumpkin pie sambil menonton permainan Football atau Parade di TV.  Itulah kegiatan yang umumnya dilakukan oleh orang Amerika di hari Thanksgiving.

Tahun ini perayaan tersebut jatuh pada tanggal 26 November 2020, hari libur nasional yang satu ini memang selalu jatuh di hari kamis terakhir di bulan November, setiap tahunnya.

Hampir 400 tahun lalu tepatnya pada bulan September 1620, sebuah kapal kecil bernama Mayflower meninggalkan Plymouth- Inggris dengan membawa 102 penumpang, dari berbagai macam religius separatis, yang dikenal sebagai The Pilgrims untuk mencari tempat pemukiman baru. Mereka berharap dapat dengan bebas mempraktikkan keyakinan mereka dan mendapatkan kehidupan yang lebih makmur dan menjanjikan.

Sebetulnya The Pilgrims telah tinggal selama lebih dari satu dekade di Belanda, negara paling toleran di Eropa yang bebas dari campur tangan Gereja Inggris. Hanya saja mereka khawatir keturunan mereka akan dirusak oleh budaya materialistik Belanda.

Setelah menyebrangi lautan serta melalui berbagai macam rintangan  selama 66 hari, akhirnya angin dan gelonbang pasang raksasa menghembus kapal mereka ke dekat ujung Cape Cod (Massachusetts), kira-kira 250 mil sebelah utara lebih jauh dari tempat yang mereka tuju yaitu muara Sungai Hudson (New York).

Bagi The Pilgrims terdamparnya Mayflower dengan selamat adalah suatu keajaiban dan tempat mereka terdampar juga nerupakan suatu takdir yang telah ditentukan.

Selama musim dingin pertama yang brutal itu, sebagian besar The Pilgrims tetap berada di kapal, di mana mereka menderita penyakit kudis, dan wabah penyakit menular lainnya.

Pada bulan Maret, para pemukim yang tersisa pindah ke darat. Di sana, mereka menemukan lahan kosong, persediaan jagung yang tersimpan dengan sumber air tawar yang dapat diandalkan.

The Pilgrims ingin membeli persediaan jagung itu, sayangnya tidak ada satu orangpun di sana. Tampaknya semua mati, kemungkinan karena wabah penyakit cacar yang melanda tempat itu selama kurung waktu tiga tahun.

Lagi-lagi suatu keajaiban ketika beberapa bulan kemudian tiba-tiba seorang suku Indian Pawtuxet yang bernama Squanto muncul menyambut mereka dalam bahasa Inggris.

Squanto dibesarkan di desa itu sebelum seorang kapten laut yang kejam menculiknya saat masih kecil dan menjualnya sebagai budak di Spanyol. Setelah empat tahun, dia dibebaskan oleh para biarawan yang baik hati, kemudian pergi ke Inggris, dan akhirnya berlayar melintasi Atlantik, hanya untuk menemukan teman-teman dan keluarganya semua mati tersapu oleh wabah penyakit cacar.

Meski Squanto kecil diperlakukan sebagai budak, ia tidak menaruh dendam pada orang Eropa, bahkan selama beberapa bulan berikutnya, Squanto membantu The Pilgrims membangun pemukiman "Plymouth" bercocok tanam dan membantu mereka menegosiasikan perjanjian perdagangan yang bersahaja dengan kepala suku Indian yang sangat berpengaruh, Massasoit.

Jadi tidak heran pemimpin The Pilgrims William Bradford menyebut Squanto sebagai "Alat yang diciptakan Tuhan untuk kebaikan mereka".

Squanto mengajarkan mereka yang lemah karena kekurangan gizi dan penyakitan tentang bagaimana cara menanam jagung, mengambil getah dari pohon maple, menangkap ikan di sungai dan menghindari tanaman beracun.

Dia juga membantu The Pilgrims membentuk aliansi dengan suku Indian Wampanoag, yang akan bertahan selama lebih dari 50 tahun dan menjadi satu-satunya contoh harmoni antara pendatang Eropa dan penduduk asli Amerika.

Pada bukan November 1621, setelah panen jagung pertama The Pilgrims terbukti berhasil, William Bradford menyelenggarakan pesta perayaan bersama 53 orang pengikutnya yang masih hidup (hampir setengah dari mereka mati karena badai musim dingin yang brutal) dan mengundang 90 orang dari kelompok sekutu penduduk asli Amerika termasuk kepala suku Wampanoag, Massasoit.

Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai "Thanksgiving pertama" Amerika --- meskipun The Pilgrims sendiri mungkin belum menggunakan istilah tersebut pada saat itu --- festival tersebut berlangsung selama tiga hari, tak hanya ditujukan untuk menjalin erat tali persahabatan namun juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan akan keberhasilan panen mereka.

The Pilgrims menyediakan  sayuran, ikan, dan ayam kalkun, sementara penduduk asli Indian membawa lima rusa yang baru saja diburu sebagai hadiah.

Kalau jaman sekarang aktivitas di hari Thanksgiving identik dengan menonton football, olah raga pada saat itu sebetulnya adalah menembak dan memanah. The Pilgrims mengajarkan orang-orang Indian cara menggunakan senjata api, sebaliknya Indian mengajarkan mereka cara memanah.

Meski The Pilgrims yang tangguh ini tampak besar dalam sejarah Amerika, sebetulnya mereka tidak pernah membangun pemukiman Plymouth menjadi koloni besar. Di dekat Boston, koloni selanjutnya di Teluk Massachusetts justru tumbuh jauh lebih cepat sehingga  para Pilgrim tersingkir di tahun 1691.

The Pilgrims mempertahankan keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa Tuhan melindungi mereka, bukan untuk memberikan hak istimewa khusus, tetapi memberikan tanggung jawab khusus. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai alat ciptaanNya, dan bukan penulis, dari rencana misteriusNya.

Di masa pandemi perayaan Thanksgiving mungkin diadakan dengan cara berbeda. Banyak keluarga yang memilih berkumpul dengan keluarga secara virtual. Apapun cara yang akan dilakukan dalam perayaan Thanksgiving tahun ini, bangsa Amerika sebaiknya juga kembali merenungkan akan apa yang sebetulnya tersirat pada perayaan Thanksgiving itu sendiri.

Ketangguhan The Pilgrims dan suku Indian melalui masa sulit menghadapi wabah penyakit dan brutalnya musim dingin serta sikap toleransi dan hubungan baik kedua bangsa yang berbeda ras, agama dan kebudayaan itu, kiranya patut diteladani oleh bangsa Amerika bahkan bangsa manapun di dunia tidak hanya dalam menghadapi kesulitan dimasa pandemi juga krisis perbedaan ras atau pendapat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun