Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dijodohkan dengan Sepupu Sendiri

18 Mei 2019   12:41 Diperbarui: 18 Mei 2019   12:48 114 2
Empat tahun yang lalu, teman saya mendapat keajaiban. Yang tidak disangka-sangka. Entah bagaimana caranya, dia tidak jadi dijodohkan. Dengan sepupunya. Yang sudah direncanakan sejak umurnya baru 9 tahun.

Saya cuma geleng-geleng kepala. Tidak percaya. Akan keberuntungannya. Juga keberaniannya.

Karena persoalannya cukup rumit. Menyangkut adat. Dan gengsi. Yang hampir tidak mungkin dibatalkan.

Karena janji terlanjur dibuat. Kata tunangan sudah disepakati kedua keluarga.

Melanggar janji sama saja memutus hubungan keluarga. Dengan bibinya. Pamannya. Sepupunya. Bahkan keluarga besarnya.

Yang setiap lebaran, dia dan keluarganya selalu menginap di rumah bibinya. Yang juga rumah tunangannya itu. Karena di rumah itulah keluarga besarnya kumpul.

Teman saya itu bernama: Adi. Dan dia melawan. Tidak ingin dijodohkan. Semua cara coba Adi lakukan.

"Aku sampai sayang-sayangan sama pacarku. Di telepon. Di depan bibiku. Calon mertuaku itu.", kenang Adi.

Saya tanya: terus tanggapan bibimu?

"Cuma senyum-senyum. Sambil guyon sama Ibukku, bilang: Itu lho anakmu. Lagi seneng-senengnya pacaran. Hahaha", jawab Adi sambil meniru tawa bibinya.

Sebenarnya calon tunangannya gadis baik-baik. Dari keluarga berada. Malah lebih berada dari keluarganya Adi.

Saya juga sudah lihat fotonya. Wajahnya bulat. Putih. Tampak manis dengan kacamatanya. Enak dipandang.

"Lha gene, manis gitu. Kok bisa-bisanya nolak?", goda saya.

Jawab Adi: ya, karena tidak ada perasaan. Dia sudah aku anggap adik sendiri.

Namun, semua upayanya toh gagal. Semua anggota keluarga besarnya juga menentang Adi.

Dia pasrah..

Sampai hari itu tiba. Ketika keluarga Adi mengadakan hajat besar-besaran. Sebuah pesta. Untuk mengumumkan pertunangannya.

Pesta yang harus dilakukan. Karena tradisi di sana mengharuskan begitu. Yang undangannya saja sudah disebar 6 bulan sebelumnya. Dengan biaya yang tidak sedikit: 130 juta!

Itupun termasuk yang paling murah. Ada yang lebih dari itu. Sampai miliaran rupiah. Tergantung siapa yang mengadakan. Juga tamu undangan yang diharapkan.

Saking pasrahnya, Adi sampai bilang: ini bentuk takdhim saya ke orangtua. Saya tidak akan lari. Mungkin, memang begini takdir saya.

Dan ketika H-1 acara, pihak wanita beserta keluarga datang ke rumah Adi. Yang memang jadi tempat pertunangannya itu.

Tapi mereka datang sambil menangis. Meminta maaf berulang kali. Ternyata, mereka tidak bisa melanjutkan pertunangan. Karena kakek dari pihak wanita tidak setuju adanya hajatan itu.

Dan pada hari itu juga mereka kembali. Ke rumah mereka. Meninggalkan kemarahan di pihak keluarga Adi.

Sedang acara itu tidak mungkin batal. Malu. Gengsi. Sudah menyebar undangan ke mana-mana. Sampai mengundang dari pulau yang berbeda pula. Masa mau dibatalkan di detik terakhir?

Akhirnya, ada jalan keluar. Acara tetap bisa jalan. Hanya saja, adik perempuan Adi yang menggantikan. Menemani kakaknya di atas panggung. Dan melakukan semua prosesi.

Satu tahun kemudian. Ketika kemarahan sudah sedikit mereda. Pertunangan itu diputus.

Sekarang teman saya bebas. Ia juga sudah punya pacar. Yang kuliah di keperawatan. Orang Jawa Tengah. Tidak kalah manis dari mantan tunangannya itu.

Pun sudah bertemu ibu pacarnya. Juga ayah pacarnya yang berkumis tebal. Kata Adi: seram perawakannya. Tapi lembut di dalam hati.

Dia bertemu dua hari lalu. Ketika menjenguk pacarnya di rumah sakit. Karena kecelakaan. Dalam perjalanan pulang untuk ikut coblosan.

Alhamdulillah.. kemarin sudah boleh pulang. Tapi harus istirahat dulu.

Cerita itu mengingatkan saya dengan Kartini. Anak dari bupati Jepara itu. Yang tidak ingin dipanggil Raden Ajeng.

Dan berkat ayahnya yang bupati itulah ia bisa sekolah di ELS. Pendidikan setingkat SD di jaman Belanda.

Tapi hanya sampai umur 12 tahun. Karena setelah itu ia harus dipingit. Tidak boleh keluar rumah. Sama sekali. Sampai ada laki-laki yang meminangnya.

Begitulah adat di jaman itu..

Tapi toh, ia masih bisa belajar. Dari buku-buku yang dibawa kakaknya, Sosrokartono.

Ia pun rajin menulis surat kepada temannya. Orang Eropa. Yang kemudian dijadikan buku itu. Yang judulnya Anda pasti tahu: Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dari catatannya itu kita tahu pemikirannya. Cita-citanya. Mengenai keinginannya melanjutkan studi. Menjadi wanita bebas. Seperti teman wanita Eropanya itu.

Ia juga mencoba mengubah kebiasaan. Dari yang paling kecil: membiarkan adiknya duduk sama tinggi. Tidak harus beringsut di tanah bila bertemu.

Kartini juga berkeinginan mendirikan sekolah. Hanya sayang. Ia keburu meninggal. Diumurnya yang baru 25 tahun. Satu tahun setelah ia menikah. Dengan adipati Rembang. Yang juga dijodohkan itu. (wendra)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun