Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tinggal Kami Berdua, Aku dan Nuraniku...

4 Maret 2013   06:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:21 108 0
Hari-hari yang berlalu, tak mungkin tanpa makna.

Meski hilang sirna, takhayal sempat menginjaknya.

mereka hadir bagaikan notasi mayor dan minor,

Ya, bagaikan piano, bauran fred putih dan hitam...

Lihat!  Ada kesukaan yang kita harapkan jangan berakhir,

Namun ia pergi jua.

Tengok! Detik-detik kekesalan yang terkadang memancing emosi,

Bahkan sering kali memaksa air mata hampir mengering,

Kalau boleh memohon, janganlah datang,

Namun ia datang juga...

Banyak masa dimana air mata tak cukup tuk menjawab tanda tanya kehidupan.

Bercerita pun tak mampu mengangkat tema keterpurukan ke hadapan orang-orang yang senang hati, bukan?

Bahkan mungkin banyak kala dimana orang senang hati sering kali berpura-pura empati,

Seakan ikut merasakan susah hati..

Menguatkan, namun toh melupakan tanpa membawa dalam doa malamnya..

Padahal si susah hati sangat mengharapkan bimbingan doa darinya,

Dikala mereka enggan untuk berdekat pada-Nya,

dan hanya menangisi nasibnya..

Lalu muncul suara sayup entah siapa gerangan :

“Berdoalah tetap, dikala hati merasa sangat tak ingin berdoa, tetaplah berdoa”..

Rupanya bisikan miris nurani yang ikut pula menangis...

Kala malam itu, tinggal kami berdua..

Aku dan nuraniku..

Berdebat tentang hidup ini..

Duduk tertunduk ditemani gerhana bulan yang memerah..

Kataku : “Ah. Apa artinya menjadi manusia?

Apa artinya mempertahankan usia?

Mencari kaya? Atau bangga? Atau mungkin cinta?

Kalau toh akhirnya mati jua...

Hilang arah, miskin identitas, terpuruk...

Termakan emosi, tertekan, bimbang, curiga..

Rapuh...

Kalaupun ia sadar keadaannya, mungkin hanyalah usaha untuk tidak menjadi gila!

Dikala masa lalu memancing memori dan menekan rindu teramat sangat..

Di angan masa depan yang seakan menyambut suram..

Dan kini bagaikan berada di tengah kegelapan tanpa sinar, tanpa teman, kesepian..”

Nurani pun menjawab dengan teramat lembut: “Menengadahlah ke atas..

Siapa tahu masih ada secercah sinar harapan..

Meski kerap kali kembali patah arang dan tertunduk..

Setidaknya, berimanlah!"

"Beriman macam apa?! kepada siapa?! dan untuk apa lagi?!", teriakku dengan putus asa...

"Kau tahu, tak mungkin tiada entitas yang menguasai jalan hidup ini,

Yang tak memperhatikan jejakmu,

Dan mengembalikan arahmu yang tersesat.

Ia mengangkatmu ketika terjatuh,

dan menopangmu ketika kau tsk berdaya,

yang mengawasimu ketika kau ingin sama sekali bebas..

Ia menemanimu ketika kau merasa sangat tersendiri,

dan yang memperhatikanmu bahkan sebelum kau mengadu pada-Nya...

Dia, yang mengatur jejak hidup, masakan tidak Maha Mendengar jerit tangis umat-Nya?

Sekalipun kau nampak membuang-Nya dari hidupmu, Ia adalah setia.”

Akhirnya kami diam..

Dengan kepala yang tertunduk lesu,

Mencoba menatap ke langit gelap, memandang ke arah bulan kemerahan..

Kami pun bersamaan berbisik pelan:

“Ya, Engkau, Tuhan, pasti punya rancangan yang sempurna.”

Kamipun mengamini kesimpulan ini, dan terus berharap pada-Nya...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun