Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Omnibus Law Berpotensi Ancam Amdal

5 Februari 2020   14:29 Diperbarui: 1 Maret 2020   00:44 361 12
Karpet merah investasi dan bisnis yang digelar pemerintah bakal mendapat tempat sejuk jika Omnibus law di sahkan.

Seperti di ketahui Omnibus Law akan menyapu bersih sekitar 8451 Peraturan Pemerintah dan juga sekitar 15985 Peraturan Daerah dalam 1 Omnibus Law, termasuk kaitannya dengan investasi dan bisnis. Wauw, sungguh luar biasa sekali.

Melalui Omnibus Law terkait investasi dan bisnis pemerintah bertujuan, agar indeks kemudahan berinvestasi dan berbisnis (Easy of Doing Business/EDB) terwujud.

Tapi yang jelas, jangan karena hanya demi kemudahan investasi dan bisnis ini pemerintah abai pada dampak yang menyertainya.

Karena ada risiko kemudahan investasi dan bisnis yang diatur oleh Omnibus Law, justru menabrak dan mengesampingkan aspek Analisis Dampak Lingkungan atau Amdal.

Bahkan sekarang ini saja, meski ada syarat Amdal sekalipun, kerusakaan lingkungan akibat investasi dan bisnis telah banyak terjadi, apalagi jika nanti terlalu dibebaskan.

Dengan berlakunya Omnibus Law terkait investasi dan bisnis, kelak perusahaan/investor dapat memiliki kemudahan untuk tidak perlu membuat perhitungan terhadap dampak lingkungan dan dampak sosial untuk mendapat izin operasi investasi dan bisnis mereka.

Inilah yang patut dipertanyakan, ada Amdal saja ditabrak, apalagi dimudahkan dengan Omnibus Law?

Obsesi Omnibus Law pemerintah pada kemudahan iklim investasi dan bisnis ini diperkirakan bakal semakin memicu kerusakan alam lebih parah lagi, berikut bencana yang menyertainya seperti banjir, longsor, pencemaran, kekeringan, dan kerusakan alam lainnya yang dapat terjadi bila pemerintah tetap terkesan abai terhadap Amdal.

Ruwetnya izin proyek bisnis memang perlu disederhanakan. Tapi, seharusnya mengenai Amdal pemerintah agar dapatnya tetap perlu selektif dan ketat, untuk setidaknya tetap mempertimbangkan aspek Amdal dalam soal perizinan.

Setiap proyek bisnis dan investasi, jika memang itikadnya mulia, tetap harus mempertimbangkan terhadap dampaknya dari berbagai dimensi sosial, lingkungan, dsb.

Karena Amdal adalah alat bagi pemerintah/negara untuk melindungi kehidupan sosial rakyatnya serta menjaga kelestarian alam. Ini aspek perizinan yang tak boleh diabaikan, justru seharusnya diperkuat dan diperbaiki kualitasnya.

Sejatinya problem itu bukan karena terlalu banyaknya Amdal, tapi karena terlalu sedikitnya Amdal yang bermutu dan berkualitas.

Selama ini banyak Amdal untuk proyek bisnis dan investasi dibuat terkesan asal-asalan, meski dibuat dengan melibatkan ahli lingkungan, akademisi, intelektual kampus, dan ahli lainnya, tapi karena adanya tekanan tekanan kepentingan politis mereka jadi tidak bisa berbuat banyak karena kalah kekuatan dan posisi.

Seperti kita ambil pelajaran saja dari proyek revitalisasi Monas, ketika banyak warga yang memprotes penebangan ratusan pohon yang di nilai sebagai kejahatan lingkungan. Dan pada akhirnya akibat protes tersebut, proyek itu dihentikan.

Revitalisasi Monas tak boleh dilakukan seenaknya oleh Pemprov DKI Jakarta atau pemerintah kota karena menuntut kajian dampak lingkungan Amdal secara serius.

Kesadaran seperti inilah justru yang layak diperluas dan dipertajam didalam Omnibus Law bila dikaitkan dengan iklim bisnis dan investasi.

Begitu juga pada proyek mercusuar pemerintah yang lainnya seperti proyek ibukota baru yang pastinya akan mengubah dan membabat hutan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang menyulap kebun teh jadi kota, proyek jalan tol Trans Jawa dan Sumatra yang tak hanya menebang pohon saja tapi juga melancarkan eksploitasi hutan, proyek reklamasi teluk yang menghancurkan hutan mangrove di Jakarta dan Bali, proyek biofuel sawit yang akan potensial memperluas kebun sawit dengan mengorbankan hutan primer, dan proyek lainnya yang intinya terkesan abai terhadap Amdal.

Sehingga bila Omnibus Law justru nantinya banyak menabrak Amdal, maka hal ini jadi tak selaras dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan alam yang malah jadi kian terpuruk, karena yang terjadi justru obsesi pada investasi dan bisnis cenderung mengabaikan perlindungan sosial, hak asasi manusia dan kelestarian alam.

Disamping itu, kemudahan berbisnis dan berinvestasi jadi tidak selaras dengan mutu kesejahteraan warga negara (Indeks Pembangunan Manusia).

Padahal Indeks Pembangunan Manusia (IPM), termasuk ukuran makro ekonomi seperti GDP dan Foreign Direct Investment (FDI) adalah ukuran yang lebih menyeluruh untuk menakar suksesnya pembangunan.

Lalu, dari semua ini mungkinkah mencapai kesuksesan investasi dan bisnis tanpa merusak alam? Maka jawabannya bukan saja hanya sangat mungkin, tapi harus.

Pemerintah harus tetap komitmen pada kelestarian alam dalam iklim investasi dan bisnis, seperti yang diikrarkan bersama ketika Indonesia ikut menandatangani deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang sasaran pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), maka pembangunan ekonomi yang ramah sosial dan sekaligus ramah alam harus komit diutamakan.

Manifestasi kongkritnya adalah tetap komitmen dalam mengelola modal alam (natural capital) dengan lebih baik lagi tapi tetap ramah alam, membangun manusia (invest in people), memperkuat sektor investasi, bisnis dan industri yang tetap ramah alam.

Secara global, model pembangunan yang bertitik tumpu terhadap kemakmuran ekonomi semata sudah banyak ditinggalkan, banyak negara negara mencari ukuran baru untuk menakar suksesnya pembangunan.

Maka dalam hal ini, pemerintah agar kiranya perlu menengok ke alam lebih serius dan melihat potensinya secara holistik. Tak hanya melakukan riset yang relevan, tapi juga menjalankan program kebijakan pembangunan ekonomi yang ramah alam, maka pemerintah tetap perlu membatasi praktek ekonomi yang tidak ramah alam dan lingkungan.

Hutan dan alam Indonesia dihuni oleh ribuan jenis tanaman dan satwa, yang sebagian merupakan sumber ekonomi secara langsung, sebagian juga merupakan sumber protein potensial.

Kesemuanya itu, memiliki peran ekologis yang tak ternilai, sumber air dan udara bersih, mengendalikan banjir serta longsor dan sumber energi terbarukan (hidro, biogas, biomassa) serta juga punya peran lain yang tak ternilai melalui spiritualisme, inspirasi seni dan budaya.

Intinya sebenarnya bila pemerintah bisa menengok alam lebih serius, ada banyak potensi investasi dan bisnis yang tetap ramah alam dengan konsep hidup ramah menjaga keragaman hayati tanpa merusak alam.

Indonesia adalah salah satu Megadiversity dunia, negeri dengan keragaman hayati terbesar, superpower keanekaragaman hayati, maka sangat merugilah Indonesia bila pada akhirnya hanya karena investasi dan bisnis semata, semua itu jadi semakin habis dan punah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun