Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Bangsa Munafik

22 Juli 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:28 2486 0
Kemunafikan orang Indonesia pernah dikemukakan oleh wartawan senior, Mochtar Lubis dalam pidatonya pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kala itu, Lubis mengemukakan tujuh ciri sifat buruk manusia Indonesia, yakni munafik, tidak mau bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya pada takhyul, bersifat artistik, dan ciri lainnya yang bersifat hedon dan instan.

Asal mula kemunafikan orang Indonesia menurut Lubis dimulai pada era feodalisme dan kolonialisme. Pada masa itu, manusia Indonesia kerap kali merasa dipaksa oleh kekuatan-kekuatan feodal dan kolonialis untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan, dipikirkan, maupun dikehendaki oleh dirinya, karena takut akan mendapat hukuman dan ganjaran buruk yang membawa bencana dari dirinya. Sistem feodal dan kolonialis pada masa lampau begitu menekan, menindas dan ekspoitatif pada rakyat.

Sehingga cara-cara kekerasan, paksaan, kekejaman atau malah pembunuhan tersebut membuat rakyat Indonesia kebanyakan menjadi manusia munafik, baik itu untuk tujuan menyelamatkan diri dari ancaman maupun mengahampa pada raja, penguasa atau penjajah pada masa itu. Proses kemunafikan tersebut berlangsung bertahun-tahun selama dua periode (feodalisme dan kolonialisme eropa) hingga akhirnya menjadi ciri khas manusia Indonesia.

Sifat munafik kata Lubis adalah perilaku berpura-pura , lain di muka, lain di belakang. Dalam dunia seks, misalnya, di hadapan umum orang Indonesia ramai-ramai mengecam perilaku seks yang terbuka atau setengah terbuka. Majalah porno atau video mesum dikecam. Tetapi di luar itu, banyak tempat prostitusi yang dibuka, dilindungi, serta digemari oleh sejumlah orang Indonesia.

Lubis mencotohkan, dalam lingkungannya, orang berpura-pura alim. Namun ketika bepergian ke Singapura, Hongkong, Paris, New York, Amsterdam, ia lantas mencari nightclub dan memesan perempuan-perempuan di sana.

Di level pemerintahan, semua orang mengutuk korupsi, baik di lingkaran penguasa maupun di luarnya. Tetapi, praktik korupsi dari rezim ke rezim, dari era ke era kian bertambah besar. Lihat saja di era reformasi sekarang, praktik korupsi makin menggila. Para elite politik yang duduk di pemerintahan mulai dari parlemen, eksekutif maupun yudikatif nyaris tidak ada yang bersih dari praktik korupsi.

Dari awal persaingan dan perebutan kursi kekuasaan dalam pemilu, misalnya, para elite politik sudah korup. Apalagi pada saat duduk menikmati kekuasaan, pencurian dan penggelapan uang negara pasti dilakukan untuk mengembalikan modal awal pemilu sekaligus untuk memperkaya diri melalui jabatan kuasa.

Pada saat pemilu, di hadapan publik para elite politik tersebut berjanji dengan muluk untuk membela dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun ketika terpilih dan menduduki jabatan empuk, mereka hanya bekerja dan berjuang untuk kepentingan pribadi dan kelompok partainya. Selama menjabat di pemerintahn kepentingan rakyat tidak pernah lagi disebut-sebut. Kalau pun disebut, tetapi perilaku dan kebijakannya tidak memihak pada rakyat.

Ketika dituding melakukan korupsi mereka mengelak dan membela diri habis-habisan dengan kebohongan dan kepura-puraannya. Padahal, tingkah serta mimiknya menimbulkan kecuringaan besar bahwa dirinya benar-benar korupsi. Kebohongan para elite politik akhirnya diumbar di depan publik bahwa mereka orang benar, adil dan bersih dari korupsi. Sehingga terkadang bentuk kebohongan dan kebenaran hari ini sangat sulit dibedakan.

Kasus M. Nazaruddin, misalnya, membuat kita bertanya-tanya, siapa sesungguhnya yang terlibat dalam praktik korupsi Wisma Atlet di Palembang. Kita pun bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang benar antara tudingan yang dilontarkan oleh M. Nazaruddin atau belaan yang diungkapkan oleh Anas Urbaningrum soal korupsi Wisma Atlet dan politik uang yang terjadi di pada saat Kongres Partai Demokrat.

Tanpa harus diinvestigasi lebih jauh kebenarannya, publik sudah tahu elite partai politik termasuk Partai Demokrat nyaris tidak ada yang bersih dari korupsi. Meskipun Anas Urbaningrum mengelak, orang sudah menilai, Anas diduga terlibat dalam praktik korupsi yang terjadi di internal Partai Demokrat.

Di hadapan umum, para penguasa negara ini seringkali juga mengatakan semua orang sama kedudukannya di depan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan hukum. Dalam praktiknya, hukum selalu berlaku tidak adil, tidak sama, serta diskriminatif pada rakyat. Pencuri ayam, pelaku judi, pelaku kriminal, misalnya, dihukum sesuai aturan. Namun, elite politik atau orang bermodal yang mengorupsi uang negara atau menyuap penguasa tidak dihukum sebagaimana aturan yang ada.

Malah, mereka yang terlibat korupsi selalu dibebaskan dari jerat hukum. Kalaupun dijerat, hukumannya tidak seberapa atau seberat kejahatan yang dilakukannya. Sementara kita tahu praktik korupsi adalah kejahatan extraordinary yang dapat memiskinkan jutaan manusia Indonesia dan merugikan negara itu sendiri.

Karena itu, tesis Mochtar Lubis yang dilontarkan pada empat dekade lalu rasanya masih relevan hingga hari ini. Sifat munafik seringkali diperagakan oleh manusia Indonesia khususnya di level elite politik dan penguasa pemerintahan.

Kemunafikan beragama

Biasanya kalau menjelang bulan ramadhan seperti sekarang, nuansa keislaman orang Indonesia tampak kental. Orang rame-rame mendadak relijius serta berperilaku ustadz. Nuansa keislaman tersebut makin nampak jelas saat hari berpuasa telah tiba. Para elite politik pun biasa berubah jadi ahli pencerah di lingkungannya. Setiap malamnya pada saat shalat Tarawih mereka berdakwah, menyerukan kebaikan amal di dunia dan kejelekan kemaksiatan serta dosa yang dilakukan dalam hidup. Para elite pun biasa berubah jadi dewa penyantun yang bersedekah serta berinfak jutaan rupiah.

Namun selepas ramadhan, penampakan ustadz, ahli pencerah, serta kemurahan hatinya membantu kaum miskin dan dhuafa hilang berangsur-angsur atau sekejab hilang. Malah, kepergian bulan ramadhan adalah babak baru bagi mereka untuk memulai tindakan korup atau politik untuk mempertahankan kekuasaan dan jabatannya.Di bulan ramadhan mereka kelihatan malaikat nan suci, tetapi begitu ramadhan selesai, mulut dan tangannya penuh dengan dusta dan darah karena selalu beretorika secara manipulatif serta mencuri uang rakyat di kas negara.

Praktik manipulatif serta sikap korup para elite politik ini di panggung politik atau pemerintahan telah menjadi ironi besar dalam konteks keberagamaan. Keberagamaan para elite sepertinya tidak berbanding lurus dengan praktik politik dan perilakunya dalam bernegara dan berbangsa. Seolah-olah sikap beragama hanya ada pada bulan ramadhan atau berlangsung di dalam mesjid saja. Di luar itu sikap keberagamaan tidak nampak menjadi way of life dan kebiasaan masing- masing dalam hidup. Apalagi dalam dunia politik, sikap keberagamaan para elite politik dan penguasa hilang ditelan oleh ambisi serta keserakahannya pada kuasa dan jabatan.

Padahal, perilaku beragama adalah bagian dari hidup keseharian yang dipraktikkan pada seluruh aspek kehidupan mulai ranah sosial, politik, hukum, maupun budaya. Sehingga kehidupan beragama bukan hanya pada saat melakukan ibadah-ibadah spiritual yang bersifat simbolis, tetapi menjadi way of life and habit dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa.

Kalau agama dimafhumi serta dijalankan demikian, percaya atau tidak kehidupan politik dan panggung pemerintahan bangsa akan berlangsung bersih, benar dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya saja, inilah yang menjadi tantangan dan persoalan bagi umat Islam di Indonesia. Ajaran Islam masih dijalankan secara parsial dan simbolis hanya untuk gugur kewajiban, pamer, atau untuk kepentingan politik.

Jumat, 22 Juli 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun