Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih

Pilkada Kota Semarang dan Potensi Kerugian Negara Rp 71,9 Miliar

5 September 2020   09:30 Diperbarui: 5 September 2020   09:23 147 5
Undang-undang pemilu memang mengatur tentang calon tunggal. Dengan segala pertimbangan yang diberikan dan syaratnya, daerah dengan calon tunggal tetap bisa menjalankan mekanisme pemilihan seperti biasanya.

Ada beberapa daerah dalam gelaran pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia tahun ini, yang hanya memiliki calon tunggal. Salah satunya Kota Semarang. Di kota yang menjadi jantung Provinsi Jawa Tengah itu, juga hanya ada satu pasangan calon yang akan bertarung dalam pemilihan Desember nanti, yakni petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryati Rahayu.

Dengan dukungan 100 persen partai politik pemilik kursi di gedung berlian Kota Semarang, musykil kemungkinan adanya kemunculan pasangan calon lain. Masih mungkin saja ada kejutan dengan munculnya calon independent, tapi sejauh ini, gerakan itu masih belum muncul di permukaan, sementara tahapan-tahapan penetapan calon sudah hampir finish.

Dengan hampir dipastikan hanya ada satu pasangan, maka patut dipertanyakan urgensi gelaran Pilkada di Kota Lunpia itu. Sebab hampir sudah dipastikan, pasangan Hendita, gabungan Hendi-Ita itu yang akan memenangkan pertarungan.

Bukan hanya andaian belaka, melihat track record kepemimpinan Hendi dan Ita, keduanya sampai akhir ini cukup sukses membawa Kota Semarang semakin maju. Dari infrastruktur, tata kelola pemerintahan hingga pelayanan masyarakat, semua sudah semakin maju. Apalagi, popularitas Hendi-Ita sangat moncer, sehingga tak ada orang yang tak kenal keduanya.

Jadi, kalau hanya untuk mendapatkan ambang batas minimal 50 persen suara, sudah pasti sangat mudah. Penulis yakin, tak akan ada cerita kotak kosong menang dalam Pilkada Kota Semarang 2020.

Apalagi, Hendi adalah sosok kader PDI Perjuangan yang cukup mumpuni. Dimana di Kota Semarang, mayoritas penduduknya adalah pendukung partai berlambang banteng moncong putih itu.

Lalu, mau apa lagi digelar pemilihan? Wong sudah pasti Hendita yang menang. Tanpa kampanye sekalipun, pasangan Hendita akan melaju mulus kembali menduduki singgasana Kota Semarang.

Disinilah keresahan penulis muncul, yang kemudian judul di atas selalu terngiang. Bukan bermaksud apa-apa, namun penulis menganggap, Pilkada Kota Semarang hanya menghambur-hamburkan uang negara belaka.

Dengan anggaran yang cukup fantastis, mencapai Rp71,9 miliar, tentu Pilkada Kota Semarang tidak ada faedahnya. Jika pemilu ditujukan untuk memilih siapa pemenang, maka pemenang itu sudah ditentukan sebelum proses dilakukan. Negara sebenarnya tidak perlu mengeluarkan anggaran sebesar itu, karena roda pemerintahan di Kota Semarang tetap akan berjalan.

Kalau tetap dilakukan, maka, seperti yang saya tulis di atas, negara mengalami kerugian sebesar Rp71,9 miliar. Belum lagi, dan semoga tidak terjadi, potensi adanya pahlawan demokrasi yang gugur dalam melaksanakan tugas, seperti gelaran Pemilu Serentak, 2019 lalu.

Kalaupun harus menggelar pemilu dengan mekanisme pemilihan langsung, seharusnya daerah dengan calon tunggal seperti Kota Semarang mendapatkan pengecualian. Bisa saja, mekanismenya disederhanakan dengan tidak mengurangi semangat demokrasi.

Tidak perlu ada anggaran kampanye, pembuatan alat peraga, pembentukan panitia pemilihan, penggerakan saksi-saksi, pembangunan TPS, pengadaan kotak suara, surat suara dan tetek bengeknya yang tentunya menelan biaya tidak sedikit. Cukup masyarakat, dengan sadar melakukan vote dengan cara yang sederhana untuk menyatakan sikap, apakah setuju Hendita kembali memimpin, atau tidak setuju

Bisa saja cara memberikan dukungan itu difasilitasi via aplikasi. Atau dengan cara manual, menggerakkan Ketua RT di seluruh wilayah, untuk datang ke rumah-rumah warga dan meminta tandatangan dukungan. Tentunya dengan didampingi tim pengawas, apakah dari KPU, Bawaslu hingga TNI/Polri untuk memastikan proses pemberian dukungan tanpa paksaan dan tekanan.

Pasti, usulan penulis ini banyak menuai pro dan kontra. Yang kontra biasanya beralasan, sudah ada aturan yang mengatur itu, kenapa harus reseh? Kenapa harus repot, toh itu sudah menjadi jalan demokrasi yang dipilih?atau ada juga yang mengatakan usulan penulis, adalah sebuah kemunduran dalam demokrasi.

Sementara yang sepemikiran, tentu memiliki alasan lain yang menurut penulis lebih dewasa dalam menentukan suatu kebijakan. Mungkin yang paling banyak, daripada untuk Pilkada, lebih baik anggaran Rp71,9 miliar itu untuk kepentingan yang lebih mendesak, misalnya penanganan pandemi covid-19.

Atau anggaran itu digelontorkan untuk membantu biaya pendidikan generasi penerus bangsa yang mengalami kesulitan ekonomi. Membuka lapangan kerja, pelatihan skill, modal usaha dan lain-lain, yang tentunya jauh lebih bermanfaat.

Tentu, analisa hukum tentang diperbolehkannya calon tunggal mengikuti Pilkada tidaklah seremeh itu. Banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk kepentingan-kepentingan politik yang berada di ruang gelap dan seabrek persoalannya.

Mungkin sudah terlambat untuk membatalkan Pilkada Kota Semarang dengan cara biasanya. Tapi alangkah baiknya, ke depan keresahan penulis ini bisa menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan untuk merevisi peraturan-peraturan yang kurang bijak itu. Karena sebenarnya, di atas semua kepentingan politik, adalah kemanusiaan. Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun