Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Seorang Petualang Kesepian dan Jatiluhur

18 Juni 2011   18:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 615 3
Bermodalkan kenekatan. Seorang petualang menjalankan motornya. Bergerak dan terus bergerak, pikirnya. Seperti yang didengarnya dari seorang petinggi Toyota. Kita tidak akan pernah menemukan pengalaman baru, jika hanya diam. Entah benar atau salah apa yang ditangkap oleh otaknya. Namun intinya, dia harus mengikuti apa yang pernah dilontarkan oleh seorang yang pernah sukses di dunia ini. Dia yang telah menjadi panutan dari pekerja di banyak belahan dunia.

Akan aku buktikan. Bahwa perjalanan ini tidak sia-sia. Jatiluhur sepertinya tempat yang cocok untuk membuktikan kata-kata itu. Sekalian untuk melihat, bagaimana luas dan besarnya danau yang ada di Jawa Barat ini. Sepertinya sudah beberapa kali dilewati, namun tidak pernah disinggahi. Membuat penasaran saja.

Yang pertama kali dilakukan adalah mengajak teman-teman untuk bergabung. Namun sayang, teman-temannya sangat sibuk. Sehingga tidak ada satupun uluran tangannya yang menerima. Sehingga terpaksa, seperti kisah yang lalu. Sendiri dalam perjalanan adalah hal yang biasa.

Untuk bekal dalam perjalanan. Hanya tas yang berisi tangkai pancing dan pernak-perniknya. Tidak ada makanan atau minuman. Biarlah nanti dalam perjalanan saja untuk hal yang satu itu. Karena pasti banyak berjejer pedagang di sepanjang perjalanan.

Setelah segala macam persiapan beres. Akhirnya dengan mengucap Bismillah, dia berangkat. Hari itu pukul 10 pagi. Waktu yang lumayan nyaman untuk melakukan perjalanan. Dan kebetulan cuaca begitu terang. Hal yang sangat diidam-idamkan oleh biker tentunya.

Entah angin apa yang menerpa, di sepanjang perjalanan tidak terlalu macet. Biasanya, di Bekasi, banyak lalulintas yang saling bertindih. Antara persimpangan dengan angkutan umum yang saling mengisi. Sehingga di setiap pasar atau perempatan akan terjadi kemacetan. Suasana yang membuat kesal. Apalagi jika panasnya matahari tidak diiringi dinginnya angin.

Godaan untuk melarikan motor dalam kecepatan tinggi terkadang datang begitu saja menyeruak. Walau dalam hati, ada ketakutan. Jalanan terkadang ibarat ikan yang tersangkut di ujung kail, mencoba meronta-ronta. Selalu ada adrenalin yang meledak-ledak ketika menikmatinya.

Akhirnya tiba juga dengan selamat di tujuan setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan. Jatiluhur. Sebuah tempat yang asri dan unik. Di pintu gerbang, diapun mempersiapkan uang lima ribu rupiah untuk membayar biaya retribusi sambil menunggu giliran. Di depannya ada mobil. Tampak petugas sedang menghitung jumlah penumpang di dalamnya. Setelah mereka beres membayar. Tibalah gilirannya. Diberikannya uang itu kepada petugas.

Ruas jalan selepas loket masuk tampak lengang. Mungkin karena sudah sore. Tidak banyak pengunjung yang datang. Jalanan menurun dan menaik memaksa motor bergairah untuk menaklukannya. Terdengar raungan gas dan suara gesekan rem saling bersahutan.

Akhirnya tiba juga di pinggir danau Jatiluhur. Tampak air yang begitu luas di depan mata. Ujung dari danau itu adalah bukit-bukit. Terlihat dengan jelas dari tempat kita berdiri. Di sekeliling danau berbagai macam perilaku manusia. Ada yang memancing, ada yang sedang duduk-duduk bersama kekasih atau keluarga dan ada juga yang berjalan-jalan di atas air menggunakan perahu yang disewakan oleh penyedia jasa.

Saung-saung tampak berjejeran di sebelah kiri danau. Yang dia pikir itu adalah tempat nelayan membudidayakan ikan air tawar. Tampak bangunan tersebut mengambang di atas drum-drum kaleng yang disambung. Sedangkan di sela-selanya ada jaring. Hingga membuat penasaran untuk sekedar jalan-jalan atau mancing di sana. Sepertinya asyik.

Entah dia yang aneh atau keadaan yang aneh. Ternyata di sekeliling danau ada perkampungan. Dalam pikirannya, Jatiluhur adalah sebuah danau yang dikelilingi oleh hutan-hutan dan gunung. Ternyata benar kata Kato. Kita tidak akan pernah tahu suatu hal, jika kita tidak bergerak. Ini bisa dibuktikan dengan keadaan yang terlihat saat ini.

Orang ini ramah menyapa, ketika dia berhenti di ujung jalan karena terhalang portal. Dia menawari untuk memancing ke pulau. Biaya yang dikeluarkan 50 ribu untuk sekali jalan saja. Sungguh biaya yang sangat mahal. Setelah ditanya lebih jauh, karena dia sendiri saja, sedang jika dia datang bersama rombongan, bisa ditawar secukupnya.

Ragu-ragu pertamanya. Coba jangan, coba jangan. Akhirnya rasa penasaran mengalahkan mahalnya harga perahu. Namun dia meminta tarif itu disesuaikan saja. Pilih tempat yang mana saja yang tukang perahu tahu. Yang penting dengan uang segitu, dia bisa bolak-balik pergi memancing.

Akhirnya terjadi kesepakatan. Diapun diantarkan oleh tukang perahu ke tempat yang dituju. Perjalanannya kurang lebih 10 menit. Sebuah rakit di sisi danau. Namun tidak ada rumah di pinggir. Yang ada adalah bukit dengan pepohonan.

Nyaman juga rasanya duduk di sini, pikirnya. Melihat tenggelamnya matahari dan mendengarkan suara-suara yang berasal dari hutan. Cukup 15 menit, dia mempersiapkan peralatan. Setelah beres, dilemparkannya alat pancing. Sambil menunggu, matanya tampak berkeliling melihat pemancing lainnya. Tampak disebelah kiri dan kanan berjejeran mereka yang sedang mencoba meraih peruntungan. Di depan mereka, segala macam pancing tampak tergeletak di tempatnya tertata rapih.

Gugusan bukit di barat mulai meremang. Tampak matahari telah menempel di pucuk pepohonan. Tanda senja sebentar lagi akan menyapa. Ombak mulai kehitaman, walau derunya masih menerpa rakit tempat ia bernaung. Seakan menggoda, "Hai apakabar sobat. Kamu baru ke sinikah?"

Ketika kegelapan datang menghampiri, ia mulai jenuh. Tak satupun ikan menghampiri kailnya. Hal yang membuatnya resah. Diiringi dengan angin dingin yang mulai menusuk, mencoba menerobos di sela-sela jaket yang ia rapatkan, kebosanan sedikit demi sedikit tumbuh.

Orang-orang yang mengisi perahu dengan deru mesin diesel sudah mulai menghilang. Meninggalkan kesunyian. Sedangkan ia membutuhkan mereka. Karena tidak ada perbekalan yang cukup. Di dalam tasnya hanya ada air minum. Ini suatu kesalahan, melewati malam di tengah danau tanpa makanan.

Maka diapun mengambil handphonenya. Tampak ia melakukan panggilan. Tak lama kemudian terdengar suaranya "Mang, jemput saya kembali. Tidak betah". Ditutupnya kembali telepon itu ketika sudah mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya.

Perahu itu datang menjelang Isya. Ia tampak kesal dengan nelayan tersebut. "Ah kenapa kamu datang terlambat. Padahal aku sudah menunggu selama 2 jam. Memuakkan sekali," batinnya menggumam.  Kata-kata itu sebelumnya ingin ia ucapkan terhadap nelayan tersebut. Namun, ketika ia melihat perahu itu sudah datang, hilanglah amarahnya.

Akhirnya iapun mendarat. Sumringah tampak di raut mukanya. Tiba di tempat ia memarkirkan motor, bergegas ia membayar biaya parkir. Setelah dirasa beres, motorpun melaju dengan tenangnya. Jakarta, malam ini akan kedatangan seorang penghuninya.

Sepanjang perjalanan, motor dia pacu sampai mencapai limit. Ingin ia cepat-cepat untuk tiba di rumahnya. Melepaskan penat yang mendera seluruh tubuh. Keletihan yang terpancar dari ketidakpuasannya mendapatkan apa yang ia harapkan. Tangkapan ikan yang besar di danau itu.

Indahnya kota yang dilewati tidak terlihat, karena gelap telah menutupinya. Hanya deru mesin dan kilatan cahaya lampu yang melintas pandangannya. Sesekali kegelapan menyambut di jalanan yang tidak ada listriknya. Terpaksa ia kurangi kecepatan laju motornya, berhati-hati dari hal yang tidak diinginkan.

Akhirnya motor itu berhenti di depan rumahnya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Pas sekali dengan perkiraanya. Dengan langkah lesu iapun memasukkan tungganganya di garasi. Diangkutnya semua peralatan yang tadi menjadi beban sepanjang perjalanan hingga membuat pundaknya terasa sakit.

Niat untuk langsung tidur begitu kuat. Oleh karenanya ketika sudah mencuci muka, iapun membaringkan tubuhnya pada kasur. Sambil menunggu sang tidur datang menjemput, ia mengenang perjalanannya. Walau tak ada sesuatu yang istimewa baginya. Namun terbayar sudah rasa penasaran yang memenuhi hatinya.

Entah berapa lama dia menunggu, namun sang tidur belum juga menghampiri. Masih ada rasa menggumpal, yang berisi kekecewaan. "Besok aku harus ke laut", gumamnya. Diapun berpikir, hendak kemana. Akhirnya, Pelabuhan Tanjung Kait menjadi tujuannya esok hari.

Rasa kantuk mulai menggerayangi matanya. Tak lama iapun tertidur, diiringi dengan nyanyian dari radio kesayangannya. Seorang pria kesepian, terbaring dengan lelahnya di kota yang penuh dengan hiruk pikuk. Dimana keramaian ada di sekelilingnya, sungguh suatu ironi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun