Fandi, selaku suaminya mendukung keputusan Marcella. Tapi itu juga tidak memaksa, kalau Marcella mengalami gejala yang mengkhawatirkan, ibadah puasa bisa dibatalkan.
Seminggu melaksanakan puasa, Marcella lancar-lancar saja. Namun hari-hari berikutnya Marcella sering mengeluh. Fandi pun turut prihatin. Dia merasa tak tega melihat istrinya seperti menahan rasa sakit.
Menjelang salat Ashar pukul 15.00, akhirnya Marcella curhat ke suaminya.
Marcella: Pah, puasa Mamah hari ini kayanya tidak tuntas.
Fandi: Kenapa, nggak kuat ya, sakit?
Marcella: Iya, Pah, perut Mamah seperti melilit.
Fandi: Padahal tanggung, jadwal buka puasa sebentar lagi.
Marcella: Cuma Mamah sudah tidak kuat, ada rasa sakit. Mamah mau buka puasa saja ya.
Fandi: Padahal Maghrib sebentar lagi. Ya sudah, Mamah pergi ke dokter Hidayat saja ya.
Marcella: Papah bagaimana sih, Mamah nggak kuat puasa malah disuruh ke dokter kandungan.
Fandi: Habis bagaimana lagi. Jadwal buka puasa pukul 17.55. Tapi kalau Mamah nggak kuat, lebih baik, pergi ke dokter Hidayat.
Marcella: Memangnya kenapa, Mamah harus pergi ke dokter Hidayat?
Fandi: Papah lihat di pelang praktik dokter Hidayat sih, tertulis BUKA pukul 16.00. Jadi lumayan lebih cepat.
Marcella: Papaaaaah, itu BUKA jam praktik, bukan BUKA jam puasa!!!