Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Saatnya Sekolah Menggandeng Masyarakat dalam Mengimplementasikan Kurikulum Merdeka

18 Maret 2023   16:44 Diperbarui: 18 Maret 2023   16:47 290 11
Selama ini, rerata orangtua/wali murid jarang datang ke sekolah. Kecuali ada kepentingan yang mendesak, misalnya, untuk menemui anaknya. Atau, ada kepentingan administrasi sekolah.

Kenyataan ini sudah sejak lama terjadi. Yang, tentu saja tidak salah. Sebab, anak-anak sudah mendapat pendampingan dan bimbingan dari guru yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya.

Maka, wajar jika orangtua/wali murid jarang datang ke sekolah. Paling-paling kedatangan mereka ketika ada undangan dari sekolah untuk mengambil rapor anak.

Taruhlah, misalnya, mengambil rapor anak per akhir semester. Dengan demikian bisa dihitung jumlah mereka datang ke sekolah setiap tahunnya. Hanya dua kali. Tidak lebih.

Kecuali, anaknya memiliki masalah, yang mengharuskan mereka datang ke sekolah. Untuk mendiskusikan masalah anak. Yaitu, mencari solusi bersama agar anak dengan bantuan sekolah dan orangtua/wali murid dapat menyelesaikan masalahnya.

Berkaitan dengan hal ini sudah barang tentu orangtua/wali murid datang ke sekolah lebih dari dua kali dalam setahun. Bisa saja misalnya, 3, 4, 5, atau 6 kali dalam setahun. Tergantung masalahnya, ringan atau berat.

Hanya, dalam konteks seperti ini, kedatangan orangtua/wali murid tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Tetapi, sebaliknya dalam kondisi yang menyedihkan.

Dalam keadaan demikian, orangtua/wali murid sangat mungkin  kurang percaya diri memasuki lingkungan sekolah. Apalagi, misalnya, mereka harus menuju ke ruang Bimbingan dan Konseling (BK). Ini tentu merasa sangat terbeban.

Karena, selama ini, ruang BK dianggap tempat murid bermasalah. Padahal, sebetulnya tidak. Ruang BK seharusnya menjadi tempat untuk berkonsultasi dan berdiskusi bagi semua murid, tidak terkecuali.

Bisa saja yang berkonsultasi dan berdiskusi murid yang tidak bermasalah. Mereka murid yang malah berprestasi, juga berkarakter terpuji.

Guru BK dapat saja meminta masukan tentang cara belajarnya, mengelola waktunya, dan caranya menyikapi masalah, misalnya, untuk diinspirasikan terhadap murid lain. Dengan demikian, ruang BK tidak lagi memiliki kesan negatif.

Jarangnya orangtua/wali murid datang ke sekolah sangat mengesankan bahwa orangtua/wali murid tidak mengenal lingkungan sekolah. Padahal, lingkungan sekolah, tempat anak-anak mereka belajar.

Jadi sudah seharusnya mereka mengenal secara utuh dan menyeluruh. Memastikan bahwa sekolah aman dan nyaman bagi sang anak belajar.

Kalau pun pernah ada program orangtua/wali murid mengantar anak sekolah di hari pertama masuk sekolah, itu tidak signifikan untuk mereka mengenal lingkungan sekolah secara utuh dan menyeluruh.

Sedihnya, ada kesan yang sangat kentara (ini persepsi saya) bahwa sekarang orangtua/wali murid kalau bisa tidak datang ke sekolah. Ya, mungkin mereka memang sibuk bekerja. Sehingga  tidak ada waktu untuk sedikit agak lama mengobrol dengan guru di sekolah.

Ketika kebetulan berada di sekolah, mereka seakan buru-buru meninggalkan sekolah. Kalau karena sibuk bekerja, seperti sudah disebut di atas, itu baik saja. Tetapi, kalau karena takut diajak diskusi oleh sekolah (baca: guru) mengenai belajar anaknya, sungguh sangat menyedihkan.

Dan, semakin menyedihkan lagi jika tidak mau lama-lama berada di sekolah, misalnya, karena khawatir sekolah melibatkannya dalam pendanaan sebuah aktivitas sekolah.  

Indikasi ke arah ini beberapa tahun belakangan ini sepertinya memang ada. Karena, pada  beberapa kesempatan saya mendengar dan melihat sendiri --karena saya pun sebagai salah satu orangtua/wali murid di sekolah tempat si bungsu belajar-- ada pembicaraan seperti itu di antara orangtua/wali murid.

Setiap ada undangan pengambilan rapor anak, yang terbayang di pikiran orangtua/wali murid adalah uang. Sehingga, setiap ada kesempatan tersebut, mereka selalu menyiapkan uang dari rumah.

Momen penerapan Kurikulum Merdeka

Tentu hal itu menjadi preseden buruk ke depan jika sekolah tidak segera mengambil sikap. Dalam masa awal-awal implementasi Kurikulum Merdeka ini saat yang tepat bagi sekolah mengubah image orangtua/wali murid mengenai keterlibatannya di sekolah.

Orangtua/wali murid bagian dari masyarakat, sehingga mengubah image orangtua/wali murid berarti  mengubah image masyarakat. Ini penting dilakukan oleh sekolah karena sekolah hidup di tengah-tengah masyarakat.

Sekaligus sekolah perlu menyadari bahwa sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka, pembelajaran terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Adanya sekolah penggerak, guru penggerak, kepala sekolah penggerak, pengajar praktik, dan organisasi penggerak, juga adanya banyak fasilitas bagi guru di platform Merdeka Mengajar   menjadi bukti bahwa betapa pembelajaran di sekolah (baca: lembaga pendidikan) itu perlu dikembangkan.

Karenanya, sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan tidak akan mampu mengikuti perkembangan yang terus bergerak di masyarakat  jika tidak mengadakan relasi dengan masyarakat.

Sebab, pada era Kurikulum Merdeka ini sumber belajar agaknya banyak didapat dari masyarakat, lebih-lebih terkait dengan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Agar, output sekolah pun dapat menjawab kebutuhan masyarakat.

Relasi ini akan terbentuk (manis) dengan cara mengubah image orangtua/wali murid (baca: masyarakat), misalnya, seperti sudah disebut di atas, perihal pendanaan. Sekalipun hidup pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pendanaan. Ingat, mengubah "image" dalam konteks ini bukan berarti menghapus pendanaan.

Karena yang pertama-tama sejatinya bukan perihal  pendanaan, tetapi peran serta masyarakat dalam mengembangkan pendidikan agar murid memperoleh pengalaman belajar yang bermakna. Ini jauh lebih penting.

Sebagai contoh, saat sekolah kami mengadakan proyek penguatan profil pelajar Pancasila dengan tema Kearifan Lokal, yang bertopik Ampyang Maulid, tidak bisa lepas dari peran masyarakat setempat.

Sebab, tradisi Ampyang Maulid merupakan hasil budaya masyarakat, yang menjadi sumber belajar bagi murid. Masyarakat, dalam konteks ini, justru menjadi guru bagi murid kami.

Sekolah (dalam hal ini murid yang dibersamai guru) dapat terjun ke tengah-tengah masyarakat menggali informasi. Atau, sebaliknya, tokoh masyarakat hadir di sekolah membagi informasi.

Ini sebenarnya relasi yang harus dibangun dalam menopang keberlangsungan pembelajaran murid di era Kurikulum Merdeka. Peran serta masyarakat diyakini akan semakin meluas manakala efek pengalaman belajar murid dapat   dirasakan, baik oleh murid (sendiri), orangtua/wali murid, maupun masyarakat.

Kondisi ini sekaligus akan membuka peluang semakin besarnya peran serta masyarakat dalam proses pendidikan. Sehingga bukan mustahil masyarakat (baca: orangtua/wali murid) akhirnya tidak segan(-segan) mendukung penuh aktivitas pembelajaran anak, baik secara moral, spiritual, maupun material.

Bahkan bukan mustahil dunia usaha, industri, perbankan, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan akhirnya ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran (baca: pendidikan). Karena terbukti kemanfaatan output pendidikan dapat meningkatkan produktivitas masyarakat.

Mencapai merdeka belajar

Keterlibatan berbagai pihak dengan berbagai potensi yang dimiliki akan memunculkan beragam program pembelajaran di bidang pendidikan. Ini artinya menyediakan berbagai alternatif yang dapat dipilih oleh murid sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.

Dengan begitu, murid akan menemukan habitat belajarnya secara tepat. Sehingga, potensi yang dimiliki bisa bertumbuh kembang secara optimal. Inilah sebetulnya makna merdeka belajar yang sesungguhnya.

Sekolah, guru, dan masyarakat yang terlibat di dalamnya memiliki kebebasan merancang program pembelajaran sesuai dengan konteks yang dibutuhkan. Eksplorasi perencanaan berkembang di bagian ini.

Sementara itu, murid memiliki ruang ekspresi yang  tepat  dalam pengembangan potensi dirinya, sesuai bakat dan minat masing-masing. Ini artinya, karakteristik murid terwadahi secara baik demi pencapaian diri.

Dalam semuanya itu sesungguhnya sekaligus pembelajaran berdiferensiasi telah berlangsung. Sesuai bakat dan minatnya masing-masing, murid dapat tumbuh kembang secara optimal karena disediakan lingkungan belajar yang relevan oleh guru dan fasilitator yang memiliki semangat kreasi dan inovasi tinggi.

Jadi, implementasi Kurikulum Merdeka dapat memberi pengalaman belajar yang bermakna bagi murid ketika sekolah menggandeng masyarakat. Artinya, masyarakat diajak bersama ambil peran di dalam kelangsungan pendidikan untuk menyediakan lingkungan merdeka belajar bagi murid agar murid mencapai kemerdekaan belajarnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun