Sastra Indonesia yang Tak Melulu Prasangka dan Asmara
16 Juni 2017 22:51Diperbarui: 16 Juni 2017 23:003291
Entah sejak kapan teori mengenai sastra dipahami sebagai “karangan yang dibubuhi imajinasi”. Buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah telah mendoktrin siswa bahwa karya sastra adalah dongeng berbau fiktif, seolah sangat sedikit kenyataan yang ditambahkan di dalamnya. Akibatnya, sastra Indonesia dibanjiri prasangka. Vera Safitri sudah menuliskannya dua pekan lalu. Benar adanya jika bersastra tidak bisa dibilang belajar dalam cakupan yang berbau akademis. Bersastra adalah membaca dongeng bualan yang pada akhirnya hanya akan membentuk manusia imajinatif. Pendapat demikian seolah sudah menjadi sebuah keterlanjuran, sebab semasa sekolah dulu kita tidak pernah diajari menilik karya sastra secara sosiologis, paling mentok ya seputar tema, alur, penokohan, dan amanat. Objek yang digunakan pun kebanyakan cerpen-cerpen modern nan populer. Saya tidak tahu apakah saat ini karya Tetralogi Pulau Buru, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Para Priyayi dikenalkan secara utuh, selain disajikan dalam bentuk ringkasan di LKS bahasa Indonesia.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.