Mohon tunggu...
Nadia Lutfiana Mawarni
Nadia Lutfiana Mawarni Mohon Tunggu... Freelancer - Menulislah seperti dirimu sendiri

We don't know what we don't know

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sastra Indonesia yang Tak Melulu Prasangka dan Asmara

16 Juni 2017   22:51 Diperbarui: 16 Juni 2017   23:00 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah sejak kapan teori mengenai sastra dipahami sebagai “karangan yang dibubuhi imajinasi”. Buku-buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah telah mendoktrin siswa bahwa karya sastra adalah dongeng berbau fiktif, seolah sangat sedikit kenyataan yang ditambahkan di dalamnya. Akibatnya, sastra Indonesia dibanjiri prasangka. Vera Safitri sudah menuliskannya dua pekan lalu. Benar adanya jika bersastra tidak bisa dibilang belajar dalam cakupan yang berbau akademis. Bersastra adalah membaca dongeng bualan yang pada akhirnya hanya akan membentuk manusia imajinatif. Pendapat demikian seolah sudah menjadi sebuah keterlanjuran, sebab semasa sekolah dulu kita tidak pernah diajari menilik karya sastra secara sosiologis, paling mentok ya seputar tema, alur, penokohan, dan amanat. Objek yang digunakan pun kebanyakan cerpen-cerpen modern nan populer. Saya tidak tahu apakah saat ini karya Tetralogi Pulau Buru, Ronggeng Dukuh Paruk, dan Para Priyayi dikenalkan secara utuh, selain disajikan dalam bentuk ringkasan di LKS bahasa Indonesia.

Jika mau lebih mundur lagi, masih ada karya sastra Melayu Klasik yang seharusnya tidak boleh terlewat sebagai bagian dari proses belajar bersastra. Tentu, novel Tetralogi Pulau Burunya Pram –yang mungkin tidak disinggung di sekolah-sekolah- sudah kelewat modern dibandingkan karya abad ke-14 hingga 19 ini. Apalagi “sastra” populer berisi kisah cinta galau yang semakin banyak digandrungi itu. Tidak ada definisi “karangan yang dibubuhi imajinasi” ketika mendefinisikan sastra Melayu Klasik. Sebab, dalam ranah Melayu, penamaan karya sastra mengacu pada “semua bangunan bahasa yang tertulis” (Chamamah Soerratno, 1982). Agaknya sekarang kita perlu mengetahui terlebih dahulu soal budaya lisan di ranah Melayu. Sejarah mencatatkan bahwa budaya oral mendominasi kebiasaan masyarakat Melayu dalam bercerita. Mereka mendongengkan apa saja di depan banyak orang, dan orang yang mendengar secara otomatis akan mendongengkannya kepada orang lain lagi. Begitu seterusnya hingga sebuah cerita berkembang menjadi berbagai versi.

Tahun-tahun selanjutnya mulai timbul kesadaran untuk menuliskan apa yang pernah diceritakan secara lisan. Tidak hanya dongeng, namun juga peraturan perundang-undangan, dan tuntutan ajaran keagamaan. Karya-karya itulah yang kemudian disebut sebagai sastra dalam ranah Melayu. Sangat jauh dari kata fiktif dan imajinatif.

Beberapa Karya

Sedikit sekali sastra yang membahas cinta dalam kapasitasnya di dunia Melayu. Paling-paling ya hanya cinta Rama kepada Sinta yang diganjal Rahwana. Itupun saduran dari pewayangan Rama-Sinta yang dalam sastra Melayu dikenal dengan Hikayat Sri Rama. Sungguh, akan sangat merugi jika pembaca sastra Melayu Klasik hanya mengurusi soal cinta-cintaan, apalagi cinta di masa lalu.

Ada satu contoh “sastra” undang-undang dalam ranah Melayu yang dinamai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Karya “sastra” ini diklaim sebagai undang-undang Melayu paling tua. Ditulis sekitar abad ke-14 (Kozok, 2006). “Sastra” ini dituliskan untuk memberikan peraturan undang-undang bagi masyarakat Kerinci, Jambi. Selain itu diuraikan pula masalah kedudukan kerajaan Melayu dalam peta perpolitikan Sumatera di masa itu. Saat membaca Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sebagai sebuah karya sastra tidak akan ada lagi imajinasi. Apalagi kegalauan cinta dan prasangka “tidak belajar”. Justru lewat karya sastra ini kita dapat belajar sejarah dan kehidupan sosial-politik pada masanya.

Lain lagi jika membahas karya sastra Melayu berisi ajaran agama Islam yang lazim disebut Sastra Kitab. Seiring masifnya penyebaran Islam, berkembang pula karya sastra berbau Islam yang menjadi rujukan ajaran. Nama-nama seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Al-Sumatrani, dan Nuruddin Ar-Raniry tidak kalah kondang di masa itu dibandingkan dengan penulis buku dan pendakwah produktif masa kini, Felix Siaw. Hamzah Fansuri menulis Syarab al-‘Asyikin,karya sastra yang berisi jalan menuju Allah, tentang hakikat dan makrifat serta jalan menggapainya. Karya paling fenomenal Nurudin Ar-Raniry Bustanus Salatin adalah karya yang menjelaskan soal kejadian alam dan sejarah Nusantara. Kitab ini disalin menjadi beberapa versi dan berpengaruh sangat besar terhadap karya lain yang lahir sesudahnya. Dari sana, bukan semata-mata imajinasi yang didapat, namun juga ajaran agama, fikih, dan tahid.

Kesadaran Belajar

Sampai saat ini, penyempitan gagasan soal wujud sastra Indonesia menjadi perkara teramat bodoh. Sastra yang hanya dinilai dari kepopuleran membuat bahan bacaan bersastra menjadi sempit. Saya mafhum, sebab tak semua orang menggeluti sastra Indonesia sebagai bagian dari aktifitas akademis mereka. Atau jika saya boleh ber-suudzonkarena porsi pengajaran Sasra Melayu sebagai bagian dari karya sastra teramat kecil di sekolah-sekolah. Jika boleh segeralah move on-kan porsi yang amat kecil itu daripada sekadar membaca ringkasan Gurindam Duabelas-nya Raja Ali Haji atau biografi singkat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dua orang yang sejauh ini paling termasyur di telinga anak-anak sekolah. Sebab sastra Melayu Klasik tidak melulu soal dua orang itu. Semoga bacaan sastra Melayu Klasik segera berubah, jika memang benar-benar ingin membaca dan bersastra. Semoga..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun